ads

Selasa, 18 Februari 2014

Kadang Kala Perang Diperlukan Untuk Menciptakan Suatu Kondisi Yang Kondusif

“Kemenangan kita diperoleh dengan lebih mudah berdasarkan kenyataan bahwa dalam hubungan dengan mereka yang kita inginkan, kita selalu bekerja pada simpul-simpul yang paling peka pada pikiran manusia, pada rekening tunai, pada nafsu manusia, pada ketidakpuasan manusia akan kebutuhan materiel; pada setiap kelemahan manusiawi ini, ia sudah cukup untuk melumpuhkan prakarsa, karena ia menyerahkan kemauan manusia kepada disposisi dia yang telah membeli kegiatan-kegiatannya." -Protokol Zionis Pertama-

Bantuan Ekonomi Dan Kolonialisasi Gaya Baru
Di Asia Tengah, Balkan, dan Kaukasus, reformasi dan program privatisasi dari IMF dan Bank Dunia berjalan bergandengan tangan bukan hanya dengan agenda negara-negara Barat, tetapi juga dengan operasi intelijen CIA, yang dilakukan secara tertutup. Pengelolaan lembaga perang dan ekonomi dilakukan dengan interface satu dengan yang lain pada peringkat global. Jadi pada saat ini berbagai negara dilemahkan dengan konflik-konflik regional dan domestik yang dibiayai oleh dana keuangan Barat, baik secara terbuka maupun secara tertutup. Kosovo Liberation Army, Aliansi
Utara di Afghanistan, (GAM di Acheh?), hanyalah sekian contoh dari beberapa kasus, bagaimana gerakan insurgensi di suatu negara dibiayai oleh Barat.

Konflik-konflik yang dimanipulasi di Kosovo, Afghanistan, Acheh, dan lain-lain, terjadi karena terdapat sumber daya alam dalam jumlah yang strategis, minyak dan gas bumi, ladang ganja dan obat bius, yang oleh CIA dikelola secara tertutup. Pada gilirannya kepentingan ekonomi ini bermuara ke politik luar negeri resmi Amerika Serikat. Akhirnya ujung-ujungnya ke IMF, Bank Dunia, dan bank-bank regional dan invesyor swasta.

Perang Afghanistan adalah contoh nyata, adanya mata-rantai yang kuat antara agenda untuk untuk menguasai minyak yang ada di perut bumi Cekung Kaspia (Caspian Basin) dengan rancangan membangun hegemoni politik di Asia Tengah dalam rangka mengamankan kepentingan minyak dan gas bumi bumi tersebut.

Peristiwa serangan 11 September 2001 terhadap gedung-kembar WTC New York yang menewaskan lebih-kurang 6.000 jiwa adalah suatu rekayasa politik yang luar biasa kejamnya yang dilakukan oleh kelompok ‘rajawali’ Yahudi di bawah pimpinan Paul Wolfowitz di departemen pertahanan Amerika Serikat, yang bekerja-sama erat dengan dinas rahasia Israel Mossad, untuk mendapatkan dalih “menghukum” Afghanistan sebagai “kambing hitam”-nya.

Semuanya berkaitan sebagai suatu mata rantai. Kecurigaan bahwa serangan terhadap gedung-kembar itu merupakan sebuah rekayasa sangat rahasia oleh pihak Amerika Serikat sendiri yang dibantu oleh badan intelijen Israel Mossad, bukan hanya dikeluarkan oleh Alexander Gordon, seorang analis keamanan Amerika Serikat, tetapi juga dari ulasan koran the Guardian dan BBC London, kantor berita teve Amerika ‘Fox News’, Vision TV Kanada, koran the Washington Post, bahkan datang dari pemerintah Jerman, sekutu Amerika Serikat sendiri.

Mari dicermati institusi global ini: ada sistem PBB dengan missi konon untuk “memelihara perdamaian” yang pembentukannya diprakarsai oleh tokoh-tokoh Zionis; mereka memainkan perannya melalui negaranegara Barat, khususnya Amerika Serikat. Dari situ ada IMF, Bank Dunia, dan bank-bank pembangunan regional seperti ADB, Asian Development Bank, dan sebagainya. Di Eropa ada the European Bank for Reconstruction and Development, serta WTO. Lembaga-lembaga ini merupakan kekuatan utama mereka. Kadangkala perang diperlukan untuk menciptakan suatu kondisi yang
kondusif, dan kemudian lembaga-lembaga ekonomi produk kaum Zionis itu akan masuk untuk memberesi keadaan yang berantakan.

Sebagai misal, sesudah pemerintahan Taliban di Afghanistan jatuh, kelompok bankir Yahudi ini mengusulkan dibentuknya semacam ‘Marshall Plan’ untuk “membangun kembali” infra-struktur negeri itu yang sudah hancur berantakan. Atau sebaliknya, IMF sendiri yang melakukan destabilisasi ekonomi
seperti yang mereka lakukan di Indonesia. Mereka bersikeras menghapus subsidi pada berbagai kebutuhan publik di negara ini. Kini kebijakan itu berhasil melumpuhkan sebuah negara sebesar Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau, dan berakhir dengan keterpurukan ekonomi yang kacau-balau. Keadaan geografinya dan persebaran sumber daya-alamnya yang tidak merata membuat ekonomi nasionalnya bukan menjadi sumber kesejahteraan, tetapi berubah menjadi suatu
malapetaka. IMF meninggalkan kondisi ekonomi-keuangan negara kepulauan ini dalam keadaan berantakan dengan cara yang belum pernah dihadapi oleh orang Indonesia.

Apa Yang Telah Diperbuat Oleh IMF Di Indonesia?
Mereka bersikeras memotong uang yang seharusnya ditujukan untuk mensubsidi pemerintahan di daerah, misalnya di bidang pendidikan, dan sebagainya. Kebetulan mereka melakukan hal yang serupa di Brazil. Mereka mendestabilisasikan suatu negara, karena untuk menguasai suatu negara harus ada kesamaan fiskal, suatu sistem untuk transfer fiskal.

Jadi di suatu tempat seperti di Indonesia, mereka mendorong setiap daerah melalui kebijakan otonomi daerah yang infra-strukturnya tidak disiapkan lebih dahulu, masing-masing akihirnya berperilaku menjadi semacam negara bagian (dalih pemekaran daerah). Dan tentu saja gagasan untuk masing-masing berdiri-sendiri menjadi sangat menarik bagi berbagai kelompok etnik di daerah yang berbeda-beda .

Tentu saja mereka (yakni perancangnya di IMF) sadar sekali tentang hal ini – mereka melakukannya berulangkali. Mereka hanya mendorong saja gagasan yang sudah ada. Hal itu terjadi di Yugoslavia, terjadi di Brazil; hal itu bahkan terjadi di bekas Uni Sovyet, dimana daerah-daerah dilepaskan begitu saja, karena Moskow tidak mampu memberi mereka uang. Kalau hal itu terjadi dimana rakyat dimelaratkan, mereka mulai saling membunuh. Terjadi pada setiap kelompok, pada kelompok-kelompok etnik, agama, dan kedaerahan, seperti di Indonesia.

Namun hal yang sama bisa saja terjadi, seperti di Somalia, dimana tidak ada kelompok-kelompok etnik, tetapi skema IMF tetap berjalan. Tidaklah diperlukan adanya masyarakat multi-etnik untuk agenda memecah belah suatu bangsa, untuk melakukan Balkanisasi. Skema ini didasarkan pada agenda ‘rekolonialisasi’.

Negara dan Teritori
Negara-negara diubah menjadi teritori-teritori, persisnya koloni gayabaru. Apa beda negara dengan teritori?
Negara memiliki suatu pemerintahan, memiliki lembaga-lembaganya, ada anggaran, negara memiliki perbatasan ekonomi, dan memiliki lembaga seperti bea-cukai.

Sebuah Teritori, hanya memiliki pemerintahan secara nominal yang dikendalikan oleh IMF. Tidak ada lembaga-lembaga yang otonom dan berdaulat, baik dari pemerintahan maupun swasta, karena telah
diperintahkan tutup oleh IMF dan Bank Dunia. Tidak ada perbatasan, karena WTO telah memerintahkan pasar-bebas. Tidak ada industri atau pertanian, karena sektor-sektor ini telah didestabilisasikan sebagai akibat meningkatnya suku-bunga sampai 60 % per annum, dan hal itu
akibat dari program IMF juga. Angka 60% itu bukan mengada-ada; di Brazil angka itu lebih tinggi.

Pada tahun 1998 Indonesia mengalami hal serupa, Botswana menghadapi hal yang sama. Suku-bunga seperti itu luar biasa tingginya. Untuk mencapai hal itu IMF memasang batas ceiling kredit. Sehingga orang tidak mungkin mendapatkan pinjaman bank; bank-bank tidak mampu menjalankan peran intermediasi mereka keadaan suku-bunga meningkat, dan tentu saja hal itu secara pasti membunuh ekonomi setempat. Di Indonesia, IMF menuntut pelaksanaan kebijakan uang ketat (‘austerity program’) dengan menaikkan suku-bunga obligasi bank sentral menjadi 17%, sehingga mendorong bank-bank komersial menaikkan suku-bunga kredit mereka. Untuk menambah keadaan menjadi lebih parah bank sentral Indonesia menuntut tiap bank yang ingin tetap hidup harus memiliki CAR (capital adequacy ratio) minimal 8%. Akibatnya bank-bank Indonesia berlomba-lomba mencari dana masyarakat, ketimbang menjalankan peran intermediasi mereka untuk mendorong kembali hidupnya ekonomi di sektor riel.

Untuk melawannya tidak mungkin dengan suatu gerakan topik tunggal. Tidaklah mungkin memfokuskan semata-mata pada lembaga-lembaga Bretton Woods, atau WTO, atau terhadap isu lingkungan, atau perekayasaan genetik. Perjuangan melawan “kolonialisme gaya-baru” itu harus dalam hubungan totalitas. Tatkala menggunakan totalitas orang akan mampu melihat hubungan penggunaan kekuatan. Di bawah sistem ekonomi seperti yang ada sekarang ini terhampar sendi sendi
orde kapitalis yang tertutup: industrial-military complex (catat; embargo Amerika Serikat terhadap peralatan militer Indonesia), kegiatan apparatus intelijen, dan kerja-sama dengan dan pengerahan
kejahatan terorganisasikan (organized crimes), termasuk perdagangan narkotika untuk mendanai konflik-konflik internal di suatu negara dalam rangka membukakan pintu negara-negara Dunia Ketiga tersebut ke bawah kontrol komplotan Barat-Zionis.

Kini zamannya telah beralih dari gunboat diplomacy ke missile diplomacy. Sebenarnya istilah missile diplomacy tidaklah tepat. Yang ada adalah pemboman secara kasar dan primitif, seperti halnya ancaman dari utusan presiden Bush kepada pemerintahan Emirat Islam Afghanistan pada tahun 1999, tatkala Bush menghendaki tampilnya kembali bekas raja Mohammad Zahir Shah di Afghanistan sebagai tokoh pimpinan pemerintahan boneka, dan konsesi eksploatasi atas minyak
dan gas bumi Afghanistan, serta pemasangan lintas pipa-minyak dari Turkmenistan ke Pakistan melalui wilayah Afghanistan dengan ancaman kasar, “Kalau anda setuju kami akan hamparkan ‘carpet of gold’, tetapi bilamana tidak, kami akan berikan anda ‘carpet-bombing’ “.

Taliban menolak, dan mereka mendapatkan ganjaran, ‘carpet-bombing’ yang dijanjikan itu.

Money-Politics dan Penguasaan Elit Politik
Sebagian dari birokrasi sipil dan aparat intelijen militer di Dunia Ketiga terdiri dari para gangster dan kriminal. Namun keadaan yang sebenarnya bila didalami jauh lebih rumit. Karena pada dasarnya para
gangster itu tidak lebih dari instrumen dalam jaringan-kerja dari para pemodal besar internasional (baca: Yahudi). Mereka tidak menghalanghalangi sistem yang ada. Para gangster itu adalah orang yang dengan mudah dapat dipergunakan, karena mereka tidak bertanggung-jawab kepada konstituensi mereka, atau kepada siapa pun. Karena itu penggunaan mereka sangat bermanfaat.

Ambil misalnya ketika begara-negara Barat mendudukkan Hacim Thaci (pemimpin ‘Tentara Pembebasan Kosovo’) dalam pemerintahan di Kosovo, atau Abdul Hamid Karzai di Afghanistan, mantan employee Unocal di India, yang ditempatkan sebagai perdana menteri Afghanistan untuk mengurus kepentingan Amerika Serikat pada umumnya dan pemasangan pipa minyak Unocal pada khususnya di Afghanistan. Jauh lebih mudah menempatkan gangster semacam mereka untuk memerintah negeri Kososvo atau Afghanistan, daripada mendudukkan seorang perdana menteri terpilih dengan integritas pribadi yang tinggi, yang bertanggung-jawab kepada konstituensinya. Yang terbaik adalah menempatkan seorang gangster-terpilih, seperti Boris Yeltsin, karena
cara itu yang terbaik. Cari dan tempatkan seorang gangster-terpilih. Di pemerintahan Amerika Serikat sudah beberapa kali menempatkan gangster terpilih. Mengapa? Karena gangster-terpilih lebih mudah
dikendalikan daripada seorang bukan-gangster yang diangkat.

Tetapi harus dimaklumi, para gangster ini merupakan kaki-tangan yang sangat menyolok – hal itu disebut sebagai kriminalisasi suatu negara. Sudah dapat dipastikan akan ada inter-penetrasi perdagangan yang legal maupun illegal. Dan perdagangan ilegal selalu berada dalam bisnis dan
keuangan berskala besar. Pemimpin yang mendapatkan dukungan luas dari rakyat oleh negara-negara Barat tidak dikehendaki. Sebagai contoh bekerjanya anasir Zionis melalui jaringan klandestin, baik melalui partai-partai politik yang korup, badan-badan LSM kiri, kelompok ‘theologi pembebasan’ Katolik Jesuit yang kekiri-kirian, serta kaum anarkis, telah berhasil menyingkirkan tokoh yang memiliki integritas dan kompetensi. Pemimpin yang memiliki integritas dari segi kepentingan Zionisme secara politik tidak-dikehendaki.

Itulah yang terjadi dengan nasib presiden B.J. Habibie dari Indonesia, yang ditendang keluar, bahkan oleh partainya sendiri.

Aspek penting dari kegiatan klandestin IMF adalah menciptakan kondisi untuk membiakkan perdagangan ilegal dan untuk mencuci uang di seluruh dunia. Hal itu sangat jelas, karena ketika ekonomi legal jatuh terpuruk akibat reformasi IMF, lalu apa yang tersisa. Yang tersisa adalah
ekonomi-kelabu, ekonomi kriminal. Hal itu mendorong perkembangan kekuatan ekonomi ilegal yang akan digunakan untuk menggantikan kekuatan ekonomi legal yang secara potensial lebih bertanggung-jawab.

Keruntuhan sistem ekonomi yang legal di suatu negara menciptakan juga kondisi untuk perkembangan insurjensi, destabilisasi pemerintah terpilih, penutupan lembaga-lembaga, dan perubahan negara menjadi sekedar sebuah teritori, yang kemudian dikendalikan layaknya sebuah
koloni. Indonesia dilihat dari berbagai indikasi obyektif, layak untuk dimasukkan ke dalam kartegori ‘koloni gaya-baru’ dari negara-negara Barat.

Kasus - “Suatu Model Membuka Kosovo untuk Modal Asing”.
Di daerah pendudukan Kosovo yang berada di bawah mandat pasukan penjaga-keamanan PBB, “terorisme oleh negara” dan kaum pembela “pasar-bebas”, berjalan bergandengan tangan. Kriminalisasi oleh lembaga-lembaga negara yang terus berlangsung bukannya tidak sesuai dengan sasaran-sasaran ekonomi dan strategi Barat di Balkan. Tanpa memperhitungkan kejahatan pembantaian rakyat sipil, pemerintahan KLA (Kosovo Liberation Army) yang memproklamasikan diri-sendiri telah memberikan komitmennya untuk membentuk suatu “pemerintahan yang aman dan
stabil” bagi para investor asing dan lembaga-lembaga keuangan internasional Yahudi.

Yang didukung oleh negara-negara Barat, dan lembaga-lembaga keuangan yang berbasis di New York dan London. Mereka telah melakukan analisis tentang konsekwensi bila suatu intervensi militer terjadi dengan akibat perlunya pendudukan Kosovo, hampir setahun sebelum terjadinya perang.

Konsep ini diulang kembali di Afghanistan pada tahun 2001. IMF dan Bank Dunia telah melakukan suatu ‘simulasi’ yang ‘mengantisipasi kemungkinan skenario darurat berlaku sebagai akibat ketegangan-ketegangan yang ada di Kosovo’. Tatkala pemboman masih berlangsung, Bank Dunia dan Komisi Eropa memperoleh sebuah mandat khusus guna ‘mengkoordinasikan para donor’ untuk bantuan ekonomi di Balkan.

Muatan ‘terms of reference’ tidak mengeluarkan Yugoslavia dari daftar penerima bantuan donor
tersebut. Hal itu dengan jelas menegaskan bahwa Belgrado berhak untuk mendapatkan pinjaman pembangunan “begitu keadaan politik disana berubah”. Sehubungan dengan Kosovo, alih-alih memberikan pinjaman untuk membangun kembali infra-struktur propinsi Kosovo, IMF dan Bank Dunia malah lebih memusatkan intervensinya dengan pemberian ‘bantuan dalam merancang rekonstruksi dan program recovery’ serta apa yang dinamakan ‘nasehat kebijakan dalam manajemen ekonomi’ dan ‘pembangunan kelembagaan’ khususnya ‘pemerintahan’. Dengan kata lain, sepasukan ahli hukum dan konsultan dikirimkan untuk menjamin transisi Kosovo ‘membangun suatu ekonomi pasar yang hidup, terbuka, dan transparan’.

Bantuan yang diberikan kepada pemerintahan sementara Kosovo akan diarahkan menuju ‘terbentuknya lembaga-lembaga yang transparan, efektif, dan berkelanjutan’. ‘Pemberdayaan lingkungan’ bagi investasi modal asing akan dibentuk sejajar dengan pembentukan ‘jaringan keselamatan sosial’ dan ‘program pengentasan kemiskinan’.

Sementara itu bank-bank milik negara Yugoslavia yang beroperasi di Pristina ditutup. Mata-uang Deutschmark ditetapkan sebagai alat tukar yang sah, dan sistem perbankan dialihkan kepada Commerzbank AG Jerman, yang menjadi pemegang saham tunggal swasta di dalam Micro Enterprise Bank (MEB milik Kosovo) yang dibentuk pada awal tahun 2000 dengan pemrakarsa International Finance Corporation (milik Bank Dunia), The European Bank for Reconstruction and Development
(EBRD), bersama dengan Nederlandse Financierings-Maatschappij voor Ontwikkelingslanden (FMO). Internationale Micro Investitionen (IMI milik Jerman), dan Kredit Anstalt fuer Wiederaufbau (KW juga
milik Jerman).

Jadi pihak Jerman (Commerzbank AG, milik Yahudi) akan menjalankan kontrol atas fungsi-fungsi perbankan untuk propinsi Kosovo termasuk tranfer keuangan dan transaksi luar negeri. Dalam karakter yang sama para komprador IMF di Indonesia tengah gencar-gencarnya menjual aset-aset publik yang selama ini berperan sebagai money-machine bagi Indonesia dengan harga obral-obralan,
seperti BCA, Telkom, Semen Gresik, Indosat, perkebunan kelapa sawit eks milik Salim Grup, dan lain-lain kepada pihak asing. Para bidder domestik dalam proses tender itu tidak digubris.

Tidak salah bila Prof.Chossudovsky memasukkan Indonesia ke dalam kategori “teritori”
dari kekuatan keuangan Zionisme.

Sumber: Zionisme: Gerakan Menaklukkan Dunia. Z.A Maulani. 2002.

1 komentar:

  1. Apakah Anda membutuhkan pinjaman pribadi dari perusahaan yang dapat diandalkan pinjaman, Persetujuan Instan, Tidak ada jaminan, Low tarif, maka perusahaan pinjaman Hasan adalah tempat yang tepat, kami menyediakan semua jenis pinjaman sebesar 2%. Jika Anda tertarik, Anda dapat menghubungi kami melalui email di: hasanloancompany@gmail.com
    salam,
    Pak Hasan M

    BalasHapus