“Kemenangan kita diperoleh dengan lebih mudah berdasarkan
kenyataan bahwa dalam hubungan dengan mereka yang kita inginkan, kita
selalu bekerja pada simpul-simpul yang paling peka pada pikiran manusia,
pada rekening tunai, pada nafsu manusia, pada ketidakpuasan manusia
akan kebutuhan materiel; pada setiap kelemahan manusiawi ini, ia sudah
cukup untuk melumpuhkan prakarsa, karena ia menyerahkan kemauan manusia
kepada disposisi dia yang telah membeli kegiatan-kegiatannya." -Protokol Zionis Pertama-
Bantuan Ekonomi Dan Kolonialisasi Gaya Baru
Di Asia Tengah, Balkan, dan Kaukasus, reformasi dan program
privatisasi dari IMF dan Bank Dunia berjalan bergandengan tangan bukan
hanya dengan agenda negara-negara Barat, tetapi juga dengan operasi
intelijen CIA, yang dilakukan secara tertutup. Pengelolaan lembaga
perang dan ekonomi dilakukan dengan interface satu dengan yang lain pada
peringkat global. Jadi pada saat ini berbagai negara dilemahkan dengan
konflik-konflik regional dan domestik yang dibiayai oleh dana keuangan
Barat, baik secara terbuka maupun secara tertutup. Kosovo Liberation
Army, Aliansi
Utara di Afghanistan, (GAM di Acheh?), hanyalah sekian contoh dari
beberapa kasus, bagaimana gerakan insurgensi di suatu negara dibiayai
oleh Barat.
Konflik-konflik yang dimanipulasi di Kosovo, Afghanistan, Acheh, dan
lain-lain, terjadi karena terdapat sumber daya alam dalam jumlah yang
strategis, minyak dan gas bumi, ladang ganja dan obat bius, yang oleh
CIA dikelola secara tertutup. Pada gilirannya kepentingan ekonomi ini
bermuara ke politik luar negeri resmi Amerika Serikat. Akhirnya
ujung-ujungnya ke IMF, Bank Dunia, dan bank-bank regional dan invesyor
swasta.
Perang Afghanistan adalah contoh nyata, adanya mata-rantai yang kuat
antara agenda untuk untuk menguasai minyak yang ada di perut bumi
Cekung Kaspia (Caspian Basin) dengan rancangan membangun hegemoni
politik di Asia Tengah dalam rangka mengamankan kepentingan minyak dan
gas bumi bumi tersebut.
Peristiwa serangan 11 September 2001 terhadap gedung-kembar WTC New
York yang menewaskan lebih-kurang 6.000 jiwa adalah suatu rekayasa
politik yang luar biasa kejamnya yang dilakukan oleh kelompok ‘rajawali’
Yahudi di bawah pimpinan Paul Wolfowitz di departemen pertahanan
Amerika Serikat, yang bekerja-sama erat dengan dinas rahasia Israel
Mossad, untuk mendapatkan dalih “menghukum” Afghanistan sebagai “kambing
hitam”-nya.
Semuanya berkaitan sebagai suatu mata rantai. Kecurigaan bahwa
serangan terhadap gedung-kembar itu merupakan sebuah rekayasa sangat
rahasia oleh pihak Amerika Serikat sendiri yang dibantu oleh badan
intelijen Israel Mossad, bukan hanya dikeluarkan oleh Alexander Gordon,
seorang analis keamanan Amerika Serikat, tetapi juga dari ulasan koran
the Guardian dan BBC London, kantor berita teve Amerika ‘Fox News’,
Vision TV Kanada, koran the Washington Post, bahkan datang dari
pemerintah Jerman, sekutu Amerika Serikat sendiri.
Mari dicermati institusi global ini: ada sistem PBB dengan missi
konon untuk “memelihara perdamaian” yang pembentukannya diprakarsai oleh
tokoh-tokoh Zionis; mereka memainkan perannya melalui negaranegara
Barat, khususnya Amerika Serikat. Dari situ ada IMF, Bank Dunia, dan
bank-bank pembangunan regional seperti ADB, Asian Development Bank, dan
sebagainya. Di Eropa ada the European Bank for Reconstruction and
Development, serta WTO. Lembaga-lembaga ini merupakan kekuatan utama
mereka. Kadangkala perang diperlukan untuk menciptakan suatu kondisi
yang
kondusif, dan kemudian lembaga-lembaga ekonomi produk kaum Zionis itu akan masuk untuk memberesi keadaan yang berantakan.
Sebagai misal, sesudah pemerintahan Taliban di Afghanistan jatuh, kelompok bankir Yahudi ini mengusulkan dibentuknya semacam ‘Marshall Plan’
untuk “membangun kembali” infra-struktur negeri itu yang sudah hancur
berantakan. Atau sebaliknya, IMF sendiri yang melakukan destabilisasi
ekonomi
seperti yang mereka lakukan di Indonesia. Mereka bersikeras menghapus
subsidi pada berbagai kebutuhan publik di negara ini. Kini kebijakan
itu berhasil melumpuhkan sebuah negara sebesar Indonesia yang terdiri
lebih dari 17.000 pulau, dan berakhir dengan keterpurukan ekonomi yang
kacau-balau. Keadaan geografinya dan persebaran sumber daya-alamnya yang
tidak merata membuat ekonomi nasionalnya bukan menjadi sumber
kesejahteraan, tetapi berubah menjadi suatu
malapetaka. IMF meninggalkan kondisi ekonomi-keuangan negara
kepulauan ini dalam keadaan berantakan dengan cara yang belum pernah
dihadapi oleh orang Indonesia.
Apa Yang Telah Diperbuat Oleh IMF Di Indonesia?
Mereka bersikeras memotong uang yang seharusnya ditujukan untuk
mensubsidi pemerintahan di daerah, misalnya di bidang pendidikan, dan
sebagainya. Kebetulan mereka melakukan hal yang serupa di Brazil. Mereka
mendestabilisasikan suatu negara, karena untuk menguasai suatu negara
harus ada kesamaan fiskal, suatu sistem untuk transfer fiskal.
Jadi di suatu tempat seperti di Indonesia, mereka mendorong
setiap daerah melalui kebijakan otonomi daerah yang infra-strukturnya
tidak disiapkan lebih dahulu, masing-masing akihirnya berperilaku
menjadi semacam negara bagian (dalih pemekaran daerah). Dan tentu saja
gagasan untuk masing-masing berdiri-sendiri menjadi sangat menarik bagi
berbagai kelompok etnik di daerah yang berbeda-beda .
Tentu saja mereka (yakni perancangnya di IMF) sadar sekali tentang
hal ini – mereka melakukannya berulangkali. Mereka hanya mendorong saja
gagasan yang sudah ada. Hal itu terjadi di Yugoslavia, terjadi di
Brazil; hal itu bahkan terjadi di bekas Uni Sovyet, dimana daerah-daerah
dilepaskan begitu saja, karena Moskow tidak mampu memberi mereka uang.
Kalau hal itu terjadi dimana rakyat dimelaratkan, mereka mulai saling
membunuh. Terjadi pada setiap kelompok, pada kelompok-kelompok etnik,
agama, dan kedaerahan, seperti di Indonesia.
Namun hal yang sama bisa saja terjadi, seperti di Somalia, dimana
tidak ada kelompok-kelompok etnik, tetapi skema IMF tetap berjalan.
Tidaklah diperlukan adanya masyarakat multi-etnik untuk agenda memecah
belah suatu bangsa, untuk melakukan Balkanisasi. Skema ini didasarkan
pada agenda ‘rekolonialisasi’.
Negara dan Teritori
Negara-negara diubah menjadi teritori-teritori, persisnya koloni gayabaru. Apa beda negara dengan teritori?
Negara memiliki suatu pemerintahan, memiliki
lembaga-lembaganya, ada anggaran, negara memiliki perbatasan ekonomi,
dan memiliki lembaga seperti bea-cukai.
Sebuah Teritori, hanya memiliki pemerintahan secara nominal
yang dikendalikan oleh IMF. Tidak ada lembaga-lembaga yang otonom dan
berdaulat, baik dari pemerintahan maupun swasta, karena telah
diperintahkan tutup oleh IMF dan Bank Dunia. Tidak ada perbatasan, karena WTO telah memerintahkan pasar-bebas.
Tidak ada industri atau pertanian, karena sektor-sektor ini telah
didestabilisasikan sebagai akibat meningkatnya suku-bunga sampai 60 %
per annum, dan hal itu
akibat dari program IMF juga. Angka 60% itu bukan mengada-ada; di Brazil angka itu lebih tinggi.
Pada tahun 1998 Indonesia mengalami hal serupa, Botswana menghadapi
hal yang sama. Suku-bunga seperti itu luar biasa tingginya. Untuk
mencapai hal itu IMF memasang batas ceiling kredit. Sehingga orang tidak
mungkin mendapatkan pinjaman bank; bank-bank tidak mampu menjalankan
peran intermediasi mereka keadaan suku-bunga meningkat, dan tentu saja
hal itu secara pasti membunuh ekonomi setempat. Di Indonesia, IMF
menuntut pelaksanaan kebijakan uang ketat (‘austerity program’)
dengan menaikkan suku-bunga obligasi bank sentral menjadi 17%, sehingga
mendorong bank-bank komersial menaikkan suku-bunga kredit mereka. Untuk
menambah keadaan menjadi lebih parah bank sentral Indonesia menuntut
tiap bank yang ingin tetap hidup harus memiliki CAR (capital adequacy
ratio) minimal 8%. Akibatnya bank-bank Indonesia berlomba-lomba mencari
dana masyarakat, ketimbang menjalankan peran intermediasi mereka untuk
mendorong kembali hidupnya ekonomi di sektor riel.
Untuk melawannya tidak mungkin dengan suatu gerakan topik tunggal.
Tidaklah mungkin memfokuskan semata-mata pada lembaga-lembaga Bretton
Woods, atau WTO, atau terhadap isu lingkungan, atau perekayasaan
genetik. Perjuangan melawan “kolonialisme gaya-baru” itu harus dalam
hubungan totalitas. Tatkala menggunakan totalitas orang akan mampu
melihat hubungan penggunaan kekuatan. Di bawah sistem ekonomi seperti
yang ada sekarang ini terhampar sendi sendi
orde kapitalis yang tertutup: industrial-military complex
(catat; embargo Amerika Serikat terhadap peralatan militer Indonesia),
kegiatan apparatus intelijen, dan kerja-sama dengan dan pengerahan
kejahatan terorganisasikan (organized crimes), termasuk
perdagangan narkotika untuk mendanai konflik-konflik internal di suatu
negara dalam rangka membukakan pintu negara-negara Dunia Ketiga tersebut
ke bawah kontrol komplotan Barat-Zionis.
Kini zamannya telah beralih dari gunboat diplomacy ke missile diplomacy.
Sebenarnya istilah missile diplomacy tidaklah tepat. Yang ada adalah
pemboman secara kasar dan primitif, seperti halnya ancaman dari utusan
presiden Bush kepada pemerintahan Emirat Islam Afghanistan pada tahun
1999, tatkala Bush menghendaki tampilnya kembali bekas raja Mohammad
Zahir Shah di Afghanistan sebagai tokoh pimpinan pemerintahan boneka,
dan konsesi eksploatasi atas minyak
dan gas bumi Afghanistan, serta pemasangan lintas pipa-minyak dari
Turkmenistan ke Pakistan melalui wilayah Afghanistan dengan ancaman
kasar, “Kalau anda setuju kami akan hamparkan ‘carpet of gold’, tetapi bilamana tidak, kami akan berikan anda ‘carpet-bombing’ “.
Taliban menolak, dan mereka mendapatkan ganjaran, ‘carpet-bombing’ yang dijanjikan itu.
Money-Politics dan Penguasaan Elit Politik
Sebagian dari birokrasi sipil dan aparat intelijen militer di Dunia
Ketiga terdiri dari para gangster dan kriminal. Namun keadaan yang
sebenarnya bila didalami jauh lebih rumit. Karena pada dasarnya para
gangster itu tidak lebih dari instrumen dalam jaringan-kerja dari
para pemodal besar internasional (baca: Yahudi). Mereka tidak
menghalanghalangi sistem yang ada. Para gangster itu adalah orang yang
dengan mudah dapat dipergunakan, karena mereka tidak bertanggung-jawab
kepada konstituensi mereka, atau kepada siapa pun. Karena itu penggunaan
mereka sangat bermanfaat.
Ambil misalnya ketika begara-negara Barat mendudukkan Hacim Thaci
(pemimpin ‘Tentara Pembebasan Kosovo’) dalam pemerintahan di Kosovo,
atau Abdul Hamid Karzai di Afghanistan, mantan employee Unocal di India,
yang ditempatkan sebagai perdana menteri Afghanistan untuk mengurus
kepentingan Amerika Serikat pada umumnya dan pemasangan pipa minyak
Unocal pada khususnya di Afghanistan. Jauh lebih mudah menempatkan
gangster semacam mereka untuk memerintah negeri Kososvo atau
Afghanistan, daripada mendudukkan seorang perdana menteri terpilih
dengan integritas pribadi yang tinggi, yang bertanggung-jawab kepada
konstituensinya. Yang terbaik adalah menempatkan seorang
gangster-terpilih, seperti Boris Yeltsin, karena
cara itu yang terbaik. Cari dan tempatkan seorang gangster-terpilih.
Di pemerintahan Amerika Serikat sudah beberapa kali menempatkan gangster
terpilih. Mengapa? Karena gangster-terpilih lebih mudah
dikendalikan daripada seorang bukan-gangster yang diangkat.
Tetapi harus dimaklumi, para gangster ini merupakan kaki-tangan yang
sangat menyolok – hal itu disebut sebagai kriminalisasi suatu negara.
Sudah dapat dipastikan akan ada inter-penetrasi perdagangan yang legal
maupun illegal. Dan perdagangan ilegal selalu berada dalam bisnis dan
keuangan berskala besar. Pemimpin yang mendapatkan dukungan luas dari
rakyat oleh negara-negara Barat tidak dikehendaki. Sebagai contoh
bekerjanya anasir Zionis melalui jaringan klandestin, baik melalui
partai-partai politik yang korup, badan-badan LSM kiri, kelompok
‘theologi pembebasan’ Katolik Jesuit yang kekiri-kirian, serta kaum
anarkis, telah berhasil menyingkirkan tokoh yang memiliki integritas dan
kompetensi. Pemimpin yang memiliki integritas dari segi kepentingan
Zionisme secara politik tidak-dikehendaki.
Itulah yang terjadi dengan nasib presiden B.J. Habibie dari Indonesia, yang ditendang keluar, bahkan oleh partainya sendiri.
Aspek penting dari kegiatan klandestin IMF adalah menciptakan kondisi
untuk membiakkan perdagangan ilegal dan untuk mencuci uang di seluruh
dunia. Hal itu sangat jelas, karena ketika ekonomi legal jatuh terpuruk
akibat reformasi IMF, lalu apa yang tersisa. Yang tersisa adalah
ekonomi-kelabu, ekonomi kriminal. Hal itu mendorong perkembangan
kekuatan ekonomi ilegal yang akan digunakan untuk menggantikan kekuatan
ekonomi legal yang secara potensial lebih bertanggung-jawab.
Keruntuhan sistem ekonomi yang legal di suatu negara menciptakan juga
kondisi untuk perkembangan insurjensi, destabilisasi pemerintah
terpilih, penutupan lembaga-lembaga, dan perubahan negara menjadi
sekedar sebuah teritori, yang kemudian dikendalikan layaknya sebuah
koloni. Indonesia dilihat dari berbagai indikasi obyektif, layak
untuk dimasukkan ke dalam kartegori ‘koloni gaya-baru’ dari
negara-negara Barat.
Kasus - “Suatu Model Membuka Kosovo untuk Modal Asing”.
Di daerah pendudukan Kosovo yang berada di bawah mandat pasukan
penjaga-keamanan PBB, “terorisme oleh negara” dan kaum pembela
“pasar-bebas”, berjalan bergandengan tangan. Kriminalisasi oleh
lembaga-lembaga negara yang terus berlangsung bukannya tidak sesuai
dengan sasaran-sasaran ekonomi dan strategi Barat di Balkan. Tanpa
memperhitungkan kejahatan pembantaian rakyat sipil, pemerintahan KLA
(Kosovo Liberation Army) yang memproklamasikan diri-sendiri telah
memberikan komitmennya untuk membentuk suatu “pemerintahan yang aman dan
stabil” bagi para investor asing dan lembaga-lembaga keuangan internasional Yahudi.
Yang didukung oleh negara-negara Barat, dan lembaga-lembaga keuangan
yang berbasis di New York dan London. Mereka telah melakukan analisis
tentang konsekwensi bila suatu intervensi militer terjadi dengan akibat
perlunya pendudukan Kosovo, hampir setahun sebelum terjadinya perang.
Konsep ini diulang kembali di Afghanistan pada tahun 2001. IMF dan
Bank Dunia telah melakukan suatu ‘simulasi’ yang ‘mengantisipasi
kemungkinan skenario darurat berlaku sebagai akibat
ketegangan-ketegangan yang ada di Kosovo’. Tatkala pemboman masih
berlangsung, Bank Dunia dan Komisi Eropa memperoleh sebuah mandat khusus
guna ‘mengkoordinasikan para donor’ untuk bantuan ekonomi di Balkan.
Muatan ‘terms of reference’ tidak mengeluarkan Yugoslavia dari daftar penerima bantuan donor
tersebut. Hal itu dengan jelas menegaskan bahwa Belgrado berhak untuk
mendapatkan pinjaman pembangunan “begitu keadaan politik disana
berubah”. Sehubungan dengan Kosovo, alih-alih memberikan pinjaman untuk
membangun kembali infra-struktur propinsi Kosovo, IMF dan Bank Dunia
malah lebih memusatkan intervensinya dengan pemberian ‘bantuan dalam
merancang rekonstruksi dan program recovery’ serta apa yang dinamakan
‘nasehat kebijakan dalam manajemen ekonomi’ dan ‘pembangunan
kelembagaan’ khususnya ‘pemerintahan’. Dengan kata lain, sepasukan ahli
hukum dan konsultan dikirimkan untuk menjamin transisi Kosovo ‘membangun
suatu ekonomi pasar yang hidup, terbuka, dan transparan’.
Bantuan yang diberikan kepada pemerintahan sementara Kosovo akan
diarahkan menuju ‘terbentuknya lembaga-lembaga yang transparan, efektif,
dan berkelanjutan’. ‘Pemberdayaan lingkungan’ bagi investasi modal
asing akan dibentuk sejajar dengan pembentukan ‘jaringan keselamatan
sosial’ dan ‘program pengentasan kemiskinan’.
Sementara itu bank-bank milik negara Yugoslavia yang beroperasi di
Pristina ditutup. Mata-uang Deutschmark ditetapkan sebagai alat tukar
yang sah, dan sistem perbankan dialihkan kepada Commerzbank AG Jerman,
yang menjadi pemegang saham tunggal swasta di dalam Micro Enterprise
Bank (MEB milik Kosovo) yang dibentuk pada awal tahun 2000 dengan
pemrakarsa International Finance Corporation (milik Bank Dunia), The
European Bank for Reconstruction and Development
(EBRD), bersama dengan Nederlandse Financierings-Maatschappij voor
Ontwikkelingslanden (FMO). Internationale Micro Investitionen (IMI milik
Jerman), dan Kredit Anstalt fuer Wiederaufbau (KW juga
milik Jerman).
Jadi pihak Jerman (Commerzbank AG, milik Yahudi) akan menjalankan
kontrol atas fungsi-fungsi perbankan untuk propinsi Kosovo termasuk
tranfer keuangan dan transaksi luar negeri. Dalam karakter yang sama
para komprador IMF di Indonesia tengah gencar-gencarnya menjual
aset-aset publik yang selama ini berperan sebagai money-machine bagi Indonesia dengan harga obral-obralan,
seperti BCA, Telkom, Semen Gresik, Indosat, perkebunan kelapa sawit
eks milik Salim Grup, dan lain-lain kepada pihak asing. Para bidder
domestik dalam proses tender itu tidak digubris.
Tidak salah bila Prof.Chossudovsky memasukkan Indonesia ke dalam kategori “teritori”
dari kekuatan keuangan Zionisme.
Sumber: Zionisme: Gerakan Menaklukkan Dunia. Z.A Maulani. 2002.
Apakah Anda membutuhkan pinjaman pribadi dari perusahaan yang dapat diandalkan pinjaman, Persetujuan Instan, Tidak ada jaminan, Low tarif, maka perusahaan pinjaman Hasan adalah tempat yang tepat, kami menyediakan semua jenis pinjaman sebesar 2%. Jika Anda tertarik, Anda dapat menghubungi kami melalui email di: hasanloancompany@gmail.com
BalasHapussalam,
Pak Hasan M