JIKA nilai tukar rupiah selalu melemah, tentu akan berimbas ke
sektor perbankan. Sebab, perbankan akan mengalami likuiditas semakin
ketat. Pasalnya, Bank Indonesia (BI) pasti akan melakukan intervensi
pasar untuk menjaga agar kurs rupiah tidak terus mengalami pelemahan.
Tapi dampaknya, likuiditas perbankan menjadi berkurang. Terlebih dana
pihak ketiga (DPK) dari masyarakat makin berkurang, sehingga perbankan
kesulitan mendapatkan uang tunai dan harus meminjam dari BI dengan suku
bunga yang makin tinggi. Bukan hanya bank kelas teri, bank-bank kelas
besar pun, kabarnya, kini tengah mengalami kesulitan likuiditas.
Nah, di tengah cerita tidak sedap ini, justru perbankan di luar negeri
mendapat limpahan DPK asal Indonesia dalam jumlah yang luar biasa. Salah
satunya, perbankan di Singapura. Menurut Direktur Utama PT Bank Mandiri
Budi G Sadikin, dalam suatu seminar di Jakarta Agustus lalu, uang asal
Indonesia yang terparkir di Singapura jumlahnya mencapai 300 miliar
dolar AS atau lebih dari Rp3.000 triliun. Separo dari jumlah itu, adalah
uang orang perorang asal Indonesia, dan sisanya milik para korporasi
Indonesia.
Seperti kata Budi, jumlah uang asal Indonesia itu
setara dengan jumlah DPK yang ada di perbankan Indonesia. Hal ini jelas
akan membuat ‘ngiler’ perbankan nasional yang saat ini tengah dihadapi
masalah likuiditas. Jumlah itu juga hampir setara dengan jumlah utang
luar negeri Indonesia yang telah nyaris mendekati angka Rp 3.000
triliun.
Mengapa bank di Singapura menjadi pilihan orang
Indonesia untuk memarkirkan uangnya di sana? Hal ini kaitannya dengan
masalah legalitas. Bagi perbankan Singapura, asal usul uang tak menjadi
penting, dan hal ini berbeda dengan menyimpan uang di Indonesia lantaran
asal usul uang menjadi pertanyaan pihak yang berwajib. Enaknya,
perbankan Singapura hanya mengenakan pajak yang rendah atas uang yang
disimpan.
Selain itu, meski dari sisi rate, kalah menarik (suku
bunga sekitar 3,5% – 4%), namun bagi pebisnis yang aktivitas usahanya
berorientasi ekspor, bisa mendapatkan bunga termurah dari peminjaman
dolar melalui bank di Singapura. Untuk mendapat pinjaman, dengan syarat
memang harus menyimpan dana di negeri tersebut, dan prosesnya tidak
bertele-tele.
Jumlah uang asal Indonesia yang terparkir di luar
negeri tersebut, tentu saja baru sebagian. Baru sebatas di Singapura.
Kabarnya selain di Singapura, orang Indonesia juga gemar memarkirkan
uangnya di Hong Kong dan juga di beberapa negara di Eropa, terutama
Swiss, meski pamor Swiss sekarang mulai berkurang. Alhasil, bisa
disimpulkan, jumlah uang asal Indonesia yang terparkir di luar negeri
tentu akan sangat dahsyat jumlahnya.
Sekaligus juga membuktikan
bahwa kita bukanlah bangsa yang miskin. Jumlah orang kaya kita tidak
sedikit. Bahkan menurut majalah bisnis terkemuka dunia, Forbes, pada
tahun lalu ada 50-an orang kaya asal Indonesia yang memiliki kekayaan
mulai dari ratusan juta dollar hingga miliaran dolar AS.
Jumlah
dana yang terparkir di luar negeri tersebut, pasti akan terus bertambah
seiring makin naiknya jumlah orang kaya asal Indonesia. Data Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) menyebut, simpanan nasabah-nasabah kaya orang
Indonesia di perbankan hingga akhir 2013 yang jumlahnya di atas Rp 5
miliar di perbankan jumlahnya mencapai Rp 1.555,4 triliun, dengan jumlah
rekening 66.567. Adapun total jumlah dana nasabah perbankan per
Desember 2013 tersebut mencapai Rp 3.706,609 triliun, naik dibanding
Desember 2012 yang sebesar Rp 3.277,154 triliun.
Dari jumlah
tersebut, simpanan nasabah murni perbankan adalah Rp 3.655,69 triliun,
sementara sisanya adalah simpanan bank lain. Dari simpanan nasabah di
bank Rp 3.655,69 triliun tersebut, Rp 3.025,707 triliun merupakan
simpanan dalam bentuk rupiah, dan Rp 629,99 triliun merupakan simpanan
valas. Nah, jika diakumulasi dengan simpanan orang Indonesia yang berada
di luar negeri, tentu Anda bisa bayangkan jumlahnya menjadi
berlipat-lipat.
MENARIK KEMBALI
Kalau
saja duit yang terparkir itu bisa kembali ke Tanah Air, tentu perbankan
nasional akan kelimpahan duit, dan likuiditas perbankan nasional menjadi
semakin oke. Sayangnya, untuk menarik kembali uang yang terparkir itu
bukan persoalan mudah. Menurut Budi, salah satu faktor yang membuat
banyak orang Indonesia menyimpan uangnya di perbankan luar negeri karena
kondisi politik suatu negara. Prinsip ini seperti investasi.
Dia
memberi contoh di Eropa ketika terjadi perang dunia, orang-orang kaya
di sana mengalihkan uangnya ke Bahrain dan Dubai. Ketika ada juga
ketegangan di Korea Utara dan Korea Selatan, para pemilik uang mencari
negara yang kondisi politiknya stabil. “Jadi kalau mau ngembangin uang
ya harus politiknya baik dulu gitu, kita mesti hati-hati jangan terlalu
naif. Kalau politik stabil harusnya uang (di luar negeri) balik. (tapi)
Pajak juga harus dibikin lebih equal,” terang Budi di kesempatan yang
lain.
Budi menilai, apapun yang dilakukan, jika negeri ini tidak
memperbaiki sitem legal dan pajak, maka Indonesia menjadi tidak
kompetitif, dan uang akan terbang ke luar dan mencari tempat yang aman.
Kini, yang bisa dilakukan, Budi, hanyalah menghimbau agar para pemilik
uang tidak lagi memarkirkan uangnya di luar negeri.
Dana orang
Indonesia yang terparkir di luar negeri, memang, bukan isu baru. Sejak
beberapa tahun lalu isu telah merebak, dan menjadi perbincangan para
ekonom dan para pengambil kebijakan. Sebelumnya, Dirut Bursa Efek
Indonesia (BEI) Ito Warsito pernah mengatakan, masih banyaknya dana
asing terparkir di luar negeri memang berseberangan dengan tingginya
dana asing yang masuk ke pasar saham. Ia menyebut, pembelian bersih
investor asing (foreign net buy) di bursa saham Indonesia tahun lalu
senilai Rp55,9 triliun, dan merupakan rekor tertinggi. Sementara jika
termasuk surat utang (obligasi korporasi), jumlahnya lebih dari Rp 100
triliun.
Kendati demikian, kata Ito, menarik kembali dana orang
Indonesia dari luar negeri tidak bisa semata karena ada daya tarik dari
pasar modal. Butuh upaya dari pemerintah dalam beragam kebijakan. Hal
yang sederhana, misalnya, kepastian situasi kondusif di Indonesia baik
itu dari sisi keamanan, sosial politik, dan kesempatan berinvestasi.
“Orang akan berinvestasi kalau dia merasa aman. Jadi keamanan penting,”
ujar Ito.
Selain itu, imbuhnya, bisa juga diberi bumbu berupa
insentif dari investasi yang terjadi. Meskipun menurutnya, sebenarnya
insentif itu plus minus. “Dalam arti kalau orang sudah melihat
keuntungan dia akan cari. Prinsip uang kan seperti air mengalir, ke arah
lebih rendah, artinya uang akan mengalir ke tempat keuntungan bisa
diperoleh. Tapi persyaratannya kan rasa aman. Apakah dia merasa aman
investasinya atau tidak,” katanya.
AMNESTI PAJAK
Sedangkan Menteri Keuangan Chatib Basri mengakui, di beberapa negara
tersimpan banyak dana asal Indonesia, namun mekanisme untuk mengambilnya
kembali diperlukan kehati-hatian dan memungkinkan secara politik maupun
ekonomi. Dia mencotohkan Italia yang berhasil menarik US$ 130 miliar
dana dari luar negeri. “Tapi saya ingatkan, ini secara ekonomi
rasionalnya bisa. Tapi secara politis saya tidak yakin bahwa ini
mungkin. Jangan kita tergoda melakukan langkah yang drastis,” ujarnya
kepada wartawan dalam suatu forum tahun lalu.
Padahal, dana yang
terparkir di luar negeri itu --dalam bentuk mata uang asing tentunya--
sejatinya bisa menggerakkan perekonomian Indonesia. Kalau bisa ditarik
‘pulang’, terlebih ketika perbankan nasional dihadapkan pada persoalan
likuisitas, maka dana yang terparkir itu menjadi berkah yang sangat luar
biasa. Sekaligus pula menjadi angin segar untuk memperkuat rupiah yang
masih sempoyongan menghadapi dolar AS, dan neraca perdagangan yang masih
saja defisit.
Mekanisme lain yang memungkinkan buat menarik dana
yang parkir di negara lain, terang Chatib, melalui amnesti pajak.
Yakni, dimana setiap perusahaan di Tanah Air dijanjikan tak akan
dipungut pajak, bila duit mereka yang tersimpan di luar negeri bisa
ditarik kembali. Hanya saja kebijakan ini, menurut Chatib, rentan
merusak iklim perpajakan, sehingga tak direkomendasikan.
Chatib
berpendapat, tax amnesty hanya bisa dilakukan jika semua (perusahaan)
mendapat perlakuan sama. “Kalau ini tidak diamnesti, maka walaupun
dilakukan, uangnya tidak bisa masuk ke sini. Itu yang menurut saya
politically enggak mungkin, legally juga enggak mungkin,” imbuh Chatib.
Lalu cara lainnya yang bisa dilakukan, adalah menarik dana itu melalui
peningkatan iklim investasi. Sehingga, investor menanamkan modal di
Indonesia, yang sebagian dananya berasal dari dana parkir tersebut.
Langkah ini menurutnya lebih rasional dibanding melakukan kebijakan
radikal seperti amnesti pajak.
Memutus jaringan korporasi besar
dengan cara berinvestasi langsung, dan tak sekadar mengimpor,
sebagaimana kini pasar dalam negeri dibanjiri oleh produk-produk
telekomunikasi brand global, memang bisa menjadi pilihan jitu dalam
rangka menjaring masuknya dolar AS ke Tanah Air. Tapi masalahnya
investasi langsung dalam jumlah besar, seperti yang dikatakan Ito
Warsito, gampang-gampang susah. Selain negeri ini masih terbelenggu oleh
persoalan pajak, ekonomi biaya tinggi, infrastruktur yang minim, juga
dihadapkan pada persoalan kepastian hukum, dan jaminan keamanan.
Belum lagi ribetnya urusan birokrasi. Ini pula yang menjadi penyebab
mengapa Foxconn, pemain besar di industri teknologi telekomunikasi asal
Taiwan, selalu mengulur waktu, karena untuk melakukan investasi di
Indonesia harus berurusan dengan empat kementerian. Kebingungan semakin
menjadi-jadi karena keempat kementerian itu menyampaikan informasi yang
berbeda-beda, sehingga pihak Foxconn bingung, siapa seungguhnya yang
paling berwenang dalam urusan berinvestasi di Indonesia.
Inilah
yang masih menjadi pe er pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla
nantinya agar Indonesia tak cuma menjadi pasar, tapi juga sebagai negara
tujuan investasi. Termasuk mengupayakan kembalinya aliran uang yang
terparkir di luar negeri dengan memberi isentif bagi para pemilik uang.
Jangan sampai, jumlah banknya saja yang banyak, tapi uangnya kosong
Zamir Alvi
Zamir Alvi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar