ads

Selasa, 16 Desember 2014

Singapura Penyebab Rupiah Terpuruk

JIKA nilai tukar rupiah selalu melemah, tentu akan berimbas ke sektor perbankan. Sebab, perbankan akan mengalami likuiditas semakin ketat. Pasalnya, Bank Indonesia (BI) pasti akan melakukan intervensi pasar untuk menjaga agar kurs rupiah tidak terus mengalami pelemahan. Tapi dampaknya, likuiditas perbankan menjadi berkurang. Terlebih dana pihak ketiga (DPK) dari masyarakat makin berkurang, sehingga perbankan kesulitan mendapatkan uang tunai dan harus meminjam dari BI dengan suku bunga yang makin tinggi. Bukan hanya bank kelas teri, bank-bank kelas besar pun, kabarnya, kini tengah mengalami kesulitan likuiditas.
Nah, di tengah cerita tidak sedap ini, justru perbankan di luar negeri mendapat limpahan DPK asal Indonesia dalam jumlah yang luar biasa. Salah satunya, perbankan di Singapura. Menurut Direktur Utama PT Bank Mandiri Budi G Sadikin, dalam suatu seminar di Jakarta Agustus lalu, uang asal Indonesia yang terparkir di Singapura jumlahnya mencapai 300 miliar dolar AS atau lebih dari Rp3.000 triliun. Separo dari jumlah itu, adalah uang orang perorang asal Indonesia, dan sisanya milik para korporasi Indonesia.
Seperti kata Budi, jumlah uang asal Indonesia itu setara dengan jumlah DPK yang ada di perbankan Indonesia. Hal ini jelas akan membuat ‘ngiler’ perbankan nasional yang saat ini tengah dihadapi masalah likuiditas. Jumlah itu juga hampir setara dengan jumlah utang luar negeri Indonesia yang telah nyaris mendekati angka Rp 3.000 triliun.
Mengapa bank di Singapura menjadi pilihan orang Indonesia untuk memarkirkan uangnya di sana? Hal ini kaitannya dengan masalah legalitas. Bagi perbankan Singapura, asal usul uang tak menjadi penting, dan hal ini berbeda dengan menyimpan uang di Indonesia lantaran asal usul uang menjadi pertanyaan pihak yang berwajib. Enaknya, perbankan Singapura hanya mengenakan pajak yang rendah atas uang yang disimpan.
Selain itu, meski dari sisi rate, kalah menarik (suku bunga sekitar 3,5% – 4%), namun bagi pebisnis yang aktivitas usahanya berorientasi ekspor, bisa mendapatkan bunga termurah dari peminjaman dolar melalui bank di Singapura. Untuk mendapat pinjaman, dengan syarat memang harus menyimpan dana di negeri tersebut, dan prosesnya tidak bertele-tele.
Jumlah uang asal Indonesia yang terparkir di luar negeri tersebut, tentu saja baru sebagian. Baru sebatas di Singapura. Kabarnya selain di Singapura, orang Indonesia juga gemar memarkirkan uangnya di Hong Kong dan juga di beberapa negara di Eropa, terutama Swiss, meski pamor Swiss sekarang mulai berkurang. Alhasil, bisa disimpulkan, jumlah uang asal Indonesia yang terparkir di luar negeri tentu akan sangat dahsyat jumlahnya.
Sekaligus juga membuktikan bahwa kita bukanlah bangsa yang miskin. Jumlah orang kaya kita tidak sedikit. Bahkan menurut majalah bisnis terkemuka dunia, Forbes, pada tahun lalu ada 50-an orang kaya asal Indonesia yang memiliki kekayaan mulai dari ratusan juta dollar hingga miliaran dolar AS.
Jumlah dana yang terparkir di luar negeri tersebut, pasti akan terus bertambah seiring makin naiknya jumlah orang kaya asal Indonesia. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebut, simpanan nasabah-nasabah kaya orang Indonesia di perbankan hingga akhir 2013 yang jumlahnya di atas Rp 5 miliar di perbankan jumlahnya mencapai Rp 1.555,4 triliun, dengan jumlah rekening 66.567. Adapun total jumlah dana nasabah perbankan per Desember 2013 tersebut mencapai Rp 3.706,609 triliun, naik dibanding Desember 2012 yang sebesar Rp 3.277,154 triliun.
Dari jumlah tersebut, simpanan nasabah murni perbankan adalah Rp 3.655,69 triliun, sementara sisanya adalah simpanan bank lain. Dari simpanan nasabah di bank Rp 3.655,69 triliun tersebut, Rp 3.025,707 triliun merupakan simpanan dalam bentuk rupiah, dan Rp 629,99 triliun merupakan simpanan valas. Nah, jika diakumulasi dengan simpanan orang Indonesia yang berada di luar negeri, tentu Anda bisa bayangkan jumlahnya menjadi berlipat-lipat.
MENARIK KEMBALI
Kalau saja duit yang terparkir itu bisa kembali ke Tanah Air, tentu perbankan nasional akan kelimpahan duit, dan likuiditas perbankan nasional menjadi semakin oke. Sayangnya, untuk menarik kembali uang yang terparkir itu bukan persoalan mudah. Menurut Budi, salah satu faktor yang membuat banyak orang Indonesia menyimpan uangnya di perbankan luar negeri karena kondisi politik suatu negara. Prinsip ini seperti investasi.
Dia memberi contoh di Eropa ketika terjadi perang dunia, orang-orang kaya di sana mengalihkan uangnya ke Bahrain dan Dubai. Ketika ada juga ketegangan di Korea Utara dan Korea Selatan, para pemilik uang mencari negara yang kondisi politiknya stabil. “Jadi kalau mau ngembangin uang ya harus politiknya baik dulu gitu, kita mesti hati-hati jangan terlalu naif. Kalau politik stabil harusnya uang (di luar negeri) balik. (tapi) Pajak juga harus dibikin lebih equal,” terang Budi di kesempatan yang lain.
Budi menilai, apapun yang dilakukan, jika negeri ini tidak memperbaiki sitem legal dan pajak, maka Indonesia menjadi tidak kompetitif, dan uang akan terbang ke luar dan mencari tempat yang aman. Kini, yang bisa dilakukan, Budi, hanyalah menghimbau agar para pemilik uang tidak lagi memarkirkan uangnya di luar negeri.
Dana orang Indonesia yang terparkir di luar negeri, memang, bukan isu baru. Sejak beberapa tahun lalu isu telah merebak, dan menjadi perbincangan para ekonom dan para pengambil kebijakan. Sebelumnya, Dirut Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito pernah mengatakan, masih banyaknya dana asing terparkir di luar negeri memang berseberangan dengan tingginya dana asing yang masuk ke pasar saham. Ia menyebut, pembelian bersih investor asing (foreign net buy) di bursa saham Indonesia tahun lalu senilai Rp55,9 triliun, dan merupakan rekor tertinggi. Sementara jika termasuk surat utang (obligasi korporasi), jumlahnya lebih dari Rp 100 triliun.
Kendati demikian, kata Ito, menarik kembali dana orang Indonesia dari luar negeri tidak bisa semata karena ada daya tarik dari pasar modal. Butuh upaya dari pemerintah dalam beragam kebijakan. Hal yang sederhana, misalnya, kepastian situasi kondusif di Indonesia baik itu dari sisi keamanan, sosial politik, dan kesempatan berinvestasi. “Orang akan berinvestasi kalau dia merasa aman. Jadi keamanan penting,” ujar Ito.
Selain itu, imbuhnya, bisa juga diberi bumbu berupa insentif dari investasi yang terjadi. Meskipun menurutnya, sebenarnya insentif itu plus minus. “Dalam arti kalau orang sudah melihat keuntungan dia akan cari. Prinsip uang kan seperti air mengalir, ke arah lebih rendah, artinya uang akan mengalir ke tempat keuntungan bisa diperoleh. Tapi persyaratannya kan rasa aman. Apakah dia merasa aman investasinya atau tidak,” katanya.
AMNESTI PAJAK
Sedangkan Menteri Keuangan Chatib Basri mengakui, di beberapa negara tersimpan banyak dana asal Indonesia, namun mekanisme untuk mengambilnya kembali diperlukan kehati-hatian dan memungkinkan secara politik maupun ekonomi. Dia mencotohkan Italia yang berhasil menarik US$ 130 miliar dana dari luar negeri. “Tapi saya ingatkan, ini secara ekonomi rasionalnya bisa. Tapi secara politis saya tidak yakin bahwa ini mungkin. Jangan kita tergoda melakukan langkah yang drastis,” ujarnya kepada wartawan dalam suatu forum tahun lalu.
Padahal, dana yang terparkir di luar negeri itu --dalam bentuk mata uang asing tentunya-- sejatinya bisa menggerakkan perekonomian Indonesia. Kalau bisa ditarik ‘pulang’, terlebih ketika perbankan nasional dihadapkan pada persoalan likuisitas, maka dana yang terparkir itu menjadi berkah yang sangat luar biasa. Sekaligus pula menjadi angin segar untuk memperkuat rupiah yang masih sempoyongan menghadapi dolar AS, dan neraca perdagangan yang masih saja defisit.
Mekanisme lain yang memungkinkan buat menarik dana yang parkir di negara lain, terang Chatib, melalui amnesti pajak. Yakni, dimana setiap perusahaan di Tanah Air dijanjikan tak akan dipungut pajak, bila duit mereka yang tersimpan di luar negeri bisa ditarik kembali. Hanya saja kebijakan ini, menurut Chatib, rentan merusak iklim perpajakan, sehingga tak direkomendasikan.
Chatib berpendapat, tax amnesty hanya bisa dilakukan jika semua (perusahaan) mendapat perlakuan sama. “Kalau ini tidak diamnesti, maka walaupun dilakukan, uangnya tidak bisa masuk ke sini. Itu yang menurut saya politically enggak mungkin, legally juga enggak mungkin,” imbuh Chatib.
Lalu cara lainnya yang bisa dilakukan, adalah menarik dana itu melalui peningkatan iklim investasi. Sehingga, investor menanamkan modal di Indonesia, yang sebagian dananya berasal dari dana parkir tersebut. Langkah ini menurutnya lebih rasional dibanding melakukan kebijakan radikal seperti amnesti pajak.
Memutus jaringan korporasi besar dengan cara berinvestasi langsung, dan tak sekadar mengimpor, sebagaimana kini pasar dalam negeri dibanjiri oleh produk-produk telekomunikasi brand global, memang bisa menjadi pilihan jitu dalam rangka menjaring masuknya dolar AS ke Tanah Air. Tapi masalahnya investasi langsung dalam jumlah besar, seperti yang dikatakan Ito Warsito, gampang-gampang susah. Selain negeri ini masih terbelenggu oleh persoalan pajak, ekonomi biaya tinggi, infrastruktur yang minim, juga dihadapkan pada persoalan kepastian hukum, dan jaminan keamanan.
Belum lagi ribetnya urusan birokrasi. Ini pula yang menjadi penyebab mengapa Foxconn, pemain besar di industri teknologi telekomunikasi asal Taiwan, selalu mengulur waktu, karena untuk melakukan investasi di Indonesia harus berurusan dengan empat kementerian. Kebingungan semakin menjadi-jadi karena keempat kementerian itu menyampaikan informasi yang berbeda-beda, sehingga pihak Foxconn bingung, siapa seungguhnya yang paling berwenang dalam urusan berinvestasi di Indonesia.
Inilah yang masih menjadi pe er pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla nantinya agar Indonesia tak cuma menjadi pasar, tapi juga sebagai negara tujuan investasi. Termasuk mengupayakan kembalinya aliran uang yang terparkir di luar negeri dengan memberi isentif bagi para pemilik uang. Jangan sampai, jumlah banknya saja yang banyak, tapi uangnya kosong

Zamir Alvi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar