Benarkah pintu-pintu solusi sudah tertutup rapat? Tidak juga. Buktinya, banyak sekali kelompok masyarakat, termasuk ekonom, yang menawarkan solusi. Tetapi, pemerintah sengaja tidak mau mendengar solusi-solusi tersebut. Berikut langkah-langkah-langkah yang bisa diambil pemerintah terkait kebijakan mempertahankan subsidi BBM dan politik energi nasional:
SOLUSI MENGATASI DEFISIT APBN :A. PENYEHATAN APBN
- Politik
alokasi anggaran di APBN harus disehatkan. Belanja rutin yang mencapai
79% dari total APBN, yang sebagian besar dipakai membiayai aparatus
negara, sangat boros dan tidak efisien. Sedangkan belanja modal dan
belanja barang tidak mencapai seperempat dari total APBN. Belanja modal
harus diperkuat, terutama untuk membiayai pembangunan infrastruktur.
Termasuk pembangunan infrastruktur migas untuk meningkatkan produksi.
- Presiden
seharusnya bisa memangkas anggaran belanja birokrasinya, seperti
perjalanan dinas, pembelian mobil dinas/kantor, alokasi belanja rumah
tangga/listrik/telpon bagi pejabat, belanja pembangunan atau renovasi
bangunan kantor, dan lain-lain. Para pejabat negara, sebagai abdi negara
dan rakyat, harus rela hidup sederhana dan tak berjarak dengan
rakyatnya.
- Presiden juga harus memangkas anggaran
pemerintahannya, seperti biaya kunjungan ke luar negeri, biaya
penyusunan naskah pidato, biaya pengamanan, biaya staff khusus, dan
lain-lain.
- Pemerintahan joki harus berani menghentikan
pembayaran hutang dan cicilannya karena sudah sangat membebani APBN.
Prioritas pembayaran utang di APBN, yang porsinya mencapai 21% pada APBN
2015, telah membuat kemampuan APBN untuk membiayai pembangunan dan
belanja sosial (kesehatan, pendidikan, dll) makin berkurang.
- Terkait
soal utang luar negeri ini, pemerintah bisa mengajukan audit terhadap
utang-utang Indonesia. Audit ini diperlukan untuk menilai mana utang
yang sah dan tidak sah (illegitimate debt). Tentu saja, rakyat
Indonesia tidak punya kewajiban untuk membayar utang-utang yang tidak
sah. Bank Dunia sendiri pernah mengakui, sebanyak 30% utang di era
Megawati masuk ke kantong pribadinya.
- Pemerintah harus
berani menutup kebocoran APBN, yang jumlahnya mencapai 30% tiap
tahunnya. Untuk mengatasinya, pemerintah harus mendorong model anggaran
partisipatif. Artinya, rakyat harus dillibatkan langsung dalam
menentukan jumlah anggaran dan pengeluarannya, kemana anggaran itu
hendak dipergunakan, proyek mana yang mau didahulukan, dan bagaimana
pengontrolannya.
- Pemerintahan juga harus memerangi praktek penyalahgunaan uang negara. Untuk ini, setiap pejabat negara dari pusat hingga daerah harus melaporkan atau mendokumentasikan gaji dan kekayaannya secara reguler. Setiap pejabat yang diketahui memiliki kekayaan melebihi dari gaji dan tunjangan pokok harus melaporkan sumber-sumber pendapatannya yang lain. Jika tidak, itu patut diduga sebagai praktek korupsi.
B. SUMBER PENDAPATAN LAIN UNTUK MENUTUPI DEFISIT
- Presiden
harus berani memangkas gaji pejabat tinggi negara, termasuk Menteri,
Gubernur Bank Sentral, dan Direktur BUMN, dan lain-lain. Pemerintahan
Chavez pernah melakukan hal ini ketika negerinya menghadapi krisis. Saat
itu, Chavez memangkas 20% gaji pejabat senior untuk menyeimbangkan
anggaran.
- Negara tetangga kita, Malaysia, juga melakukan
hal yang sama: memangkas gaji menteri dan seluruh pejabat tingginya
sebesar 10% dan menghilangkan fasilitas untuk liburan pejabat ke luar
negeri.
- Presiden harus mencontohkan dirinya sebagai
pemimpin yang sederhana. Tidak etis menyerukan pejabat negara hidup
sederhana, sementara gaji sang Presiden tertinggi ketiga di dunia.
Presiden harus meniru Presiden Uruguay, Jose Mujica, yang menyumbangkan
90 persen gajinya untuk menambah anggaran sosial negerinya. Atau, meniru
mantan Presiden Paraguay, Fernando Lugo, yang menolak menerima gaji
sebagai Presiden sebesar 4.000 dollar AS (sekitar Rp 37 juta) per bulan.
- Pemerintahan joki harus berani menyita harta koruptor guna memperkuat anggaran negara untuk pembangunan dan anggaran sosial.
- Memberlakukan
pajak progressif terhadap kaum kaya di Indonesia. Di Perancis, Presiden
Francois Hollande sedang memperjuangkan pajak 75% untuk kekayaan di
atas 1,28 juta euro (sekitar Rp 16 milyar). Pajak progressif ini sejalan
dengan prinsip keadilan sosial sebagaimana dianut Pancasila.
- Meningkatkan
ketataatan pajak bagi badan dan korporasi. Presiden harus berani
menindak keras korporasi dan pengusaha yang sengaja mengemplang
pajaknya. Memberlakukan pajak untuk setiap uang yang mau keluar negeri
(capital outflow tax), kecuali untuk pembayaran impor bahan baku dan
barang modal. Pajak ini berkontribusi untuk mencegah kapital asing
seenaknya keluar masuk Indonesia dan sekaligus mendatangkan penerimaan
bagi negara.
- Memberlakukan “pajak hijau” kepada setiap
kendaraan pribadi yang melintas di jalan raya. Pajak hijau ini sebagai
kompensasi atas asap atau polusi yang mereka sebarkan oleh kendaraan
tersebut.
- Memberantas mafia migas, yang konon kabarnya
mendapat keuntungan Rp 10 triliun dari impor BBM. Petral, anak
perusahaan Pertamina yang selama ini menjadi sarang mafia minyak, harus
dibubarkan.
- Pertamina semestinya membeli langsung minyak mentah dari produsen, tidak lewat perantara atau trader. Jika Pertamina dapat membeli langsung, ada biaya pengeluaran yang bisa dihemat. Sekarang, misalnya, kita impor minyak Rp 350 triliun, kalau bisa efisien sekitar 2 persen saja sudah hemat Rp 7 tiliun.
C. SOLUSI UNTUK MENINGKATKAN PENERIMAAN MIGAS:
- Renegosiasi
ulang semua kontrak migas yang merugikan kepentingan nasional. Terkait
penerimaan migas, item yang harus diperjuangkan adalah pembagian
keuntungan dan royalti.
- Renegosiasi harga jual gas yang
merugikan negara, termasuk Gas Tangguh. Saat ini harga jual LNG Tangguh
ke Tiongkok cuma 3,35 dollar AS per per MMBTU. Padahal, harga normalnya
saat ini mencapai 18 dollar AS per MMBTU. Jika negosiasi berhasil,
pemerintah bisa menambah penerimaan negara sebesar Rp 30 triliun per
tahun.
- Menaikkan produksi minyak mentah siap jual
(lifting) hingga di atas 1 juta barrel per hari. Untuk ini, pemerintah
harus rela melakukan investasi dan mencari sumur-sumur baru. Menurut
Kurtubi, cadangan minyak kita masih berkisar 50 miliar hingga 80 miliar
barel.
- Meninjau ulang cost-recovery yang membebani
negara dan menggerus penerimaan migas. Saat ini negara harus
mengeluarkan Rp 120 triliun untuk membayar cost recovery. Jika biaya
cost recovery berhasil diefisienkan, maka penerimaan negara dari hasil
migas bisa dinaikkan.
- Memberlakukan windfall profit tax kepada para kontraktor migas. Menurut Marwan Batubara, jika windfall profit tax ditetapkan 50%, maka negara mendapat pemasukan Rp 20,36 triliun.
D. SOLUSI UNTUK MENEGAKKAN KEDAULATAN ENERGI:
- Cabut
UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas karena telah menjadi
biang kerok dominasi asing dalam tata-kelola migas nasional. UU ini juga
menyebabkan tata-kelola migas tidak memberi keuntungan bagi negara.
- Memulihkan
kontrol negara terhadap sumber daya alam. Ini menegaskan kontrol negara
dalam segala aspek industri pertambangan: eksplorasi dan prospeksi,
biaya, eksploitasi, ekstraksi, pemurnian, harga jual dan penjualan, dan
pemasaran produk tambang.
- Membuat UU Migas yang baru
yang sejalan dengan pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan kedaulatan negara
terhadap kekayaan migas dan pemanfaatannya untuk kemakmuran rakyat.
- Mengakhiri
model ekonomi yang berbasis ekspor bahan mentah, termasuk minyak dan
gas. Pemerintah harus membangun kilang-kilang minyak baru untuk
menghasilkan BBM. Selain menyerap tenaga kerja baru, ini juga mengurangi
ketergantungan terhadap impor BBM. Ini juga berlaku untuk pertambangan
mineral. Perusahaan asing harus didorong untuk membangun smelter atau
pabrik pemurnian dan pengolahan bahan mentah mineral.
- Perusahaan
migas asing yang masih beroperasi di Indonesia diwajibkan untuk
memenuhi kebutuhan domestik. Penjualan ke luar (ekspor) hanya
dimungkinkan jikalau kebutuhan domestik sudah terpenuhi.
- Melakukan
nasionalisasi terhadap perusahaan minyak dan gas asing. Nasionalisasi
di sini bukanlah pengambil-alihan secara membabi-buta. Bisa saja dengan
model ala Chavez di Venezuela: negara membeli kembali saham-sahamnya
dengan “harga pasar”. Ini menjelaskan mengapa tak banyak terjadi
resistensi terhadap kebijakan tersebut. ExxonMobil yang sempat
mempersoalkan hal ini terbukti kalah dalam arbitrase internasional di
London tahun 2008.
- Merevitalisasi perusahaan minyak dan
gas negara, dalam hal ini Pertamina, supaya bisa memaksimalkan
pengelolaan SDA yang sejalan dengan kepentingan nasional dan berkorelasi
dengan kemakmuran rakyat. Tentu saja, ini dilakukan dengan memperbaiki
manajemen Pertamina, memberantas korupsi dan praktek broker/insider
trading, dan penguatan kapasitas produktif pertamina.
- Memajukan
industri tambang negara dalam dua hal: (1) teknologi: semua perusahaan
asing wajib berbagi (alih-teknologi) dengan perusahaan negara dan
membantu meningkatkan kapasitas teknologinya di semua lapangan industri.
(2) pelatihan bagi koperasi penambang dan penambang tradisional.
- Membujuk
putra-putri Indonesia yang saat ini menjadi ahli-ahli migas di luar
negeri, khususnya di Timur Tengah dan Eropa, untuk kembali ke tanah air
dan membangun industri migas nasional. Konon kabarnya, ada 1.500 ahli
minyak Indonesia yang bekerja di Timur Tengah seperti Qatar, Uni Emirat
Arab, dan Arab Saudi. Ada juga yang bekerja di perusahaan migas di
Eropa.
- Mendorong partisipasi rakyat dalam pengelolaan
tambang. Ini termasuk pengembangan koperasi-koperasi rakyat dan
pengembangan pertambangan tradisional atau pertambangan rakyat.
- Mengupayakan
pengembangan energi alternatif untuk tidak bergantung lagi pada energi
fosil. Indonesia punya potensi energi alternatif yang juga melimpah: gas
alam, panas bumi, mikro hidro, energi angin, energi laut, energi
matahari, bioenergi, dan biomassa.
Oleh : Wawat Kurniawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar