Sejarah salah satu ladang minyak tertua di dunia ini sebetulnya dimulai saat Belanda bercokol di Indonesia sekitar tahun 1870. Setelah berbagai pemindahan kekuasaan Blok Cepu pertama kali dieksplorasi oleh perusahaan minyak Royal Dutch/Shell DPM (Dordtsche Petroleum Maatschappij) sebelum Perang Dunia II. Dulu konsesi minyak di daerah ini bernama Panolan. Sumur Ledok-1 dibor pada bulan Juli 1893 merupakan sumur pertama di daerah Cepu. Setelah sempat dijadikan tempat pendidikan Lemigas (Lembaga Minyak dan Gas Bumi) tahun 1965, drama ladang minyak yang termasuk dalam cekungan Jawa Timur-Laut itu dimulai –tepatnya setelah pemerintah memberikan ijin Technical Evaluation Study (TES) kepada Humpuss Patragas pada tahun 1990. Humpuss Patragas adalah perusahaan milik Tommy Soeharto, anak bungsu mantan Presiden Soeharto.( Kerajaan Bisnis TOMMY SOEHARTO - Grup Humpuss). Dalam perjanjian tersebut, Humpuss Patragas memiliki ijin untuk melakukan eksplorasi ulang di sumur-sumur tua yang sudah ditemukan minyaknya dan tempat-tempat baru yang belum ada sumur minyaknya. Namun karena keterbatasan dana dan teknologi saat itu, Humpuss Patragas tidak bisa melakukan penggalian lebih dalam, sehingga yang diambil adalah minyak-minyak yang berada di lapisan dangkal. Terbayang mendapatkan limpahan minyak, akhirnya Humpuss menggandeng Ampolex, perusahaan eksplorasi minyak dari Australia untuk bekerjasama –dengan perjanjian Ampolex mendapatkan 49 persen dan Humpuss masih menjadi operator Blok Cepu.
Pengeboran tidak juga dilakukan karena di tengah jalan Mobil Oil mengakuisisi Ampolex, sehingga sambil menunggu proses akuisisi rampung pengeboran pada tahun 1996 dihentikan. Drama berlanjut ketika Humpuss menjual seluruh sahamnya kepada Mobil Oil waktu krisis finansial melanda di tahun 1998.
Setelah kegagalan tersebut kemudian ExxonMobil membeli hak eksplorasi lapangan Cepu, lalu dengan menggunakan resolusi tinggi melakukan seismik 3-D untuk pemetaan lapisan bawah permukaan. Berita mengejutkan terdengar ketika pada Februari 2001 Mobil Cepu Ltd –anak perusahaan dari ExxonMobil yang bekerjasama dengan Pertamina menemukan sumber minyak mentah dengan kandungan 1,478 milyar barel dan gas mencapai 8,14 milyar kaki kubik di lapangan Banyu Urip. Ini merupakan penemuan sumber minyak paling signifikan dalam dekade terkahir.
Tak berapa lama masalah kemudian muncul. ExxonMobil dan Pertamina terlibat dalam negosiasi yang lama dan panjang untuk pembagian dan pengerjaannya. Pada tahun 2006 akhirnya presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono memecat dewan direksi Pertamina dan menunjuk ExxonMobil sebagai operator utama. Sebuah kontrak perjanjian pengelolaan Blok Cepu selama 30 tahun dibuat dan ditandatangani. Komposisi penyertaan saham masing-masing 45 persen untuk ExxonMobil dan Pertamina serta 10 persen untuk pemerintah setempat dengan perincian 4,48 persen Bojonegoro, 2,18 persen Blora, 2,24 persen Jawa Timur dan 1,09 persen Jawa Tengah.
Exxon sendiri dibentuk tahun 1800 dengan nama Exxon Company International (ECI). Data dari majalah Fortune tahun 1993, Exxon menduduki peringkat pertama perusahaan minyak dunia dengan penjualan 132.774 juta dollar AS, keuntungan 4.777 juta dollar AS, dan aset 85.030 juta dollar AS. Sedangkan Mobil Corporation berada di tingkat ke empat dengan penjualan 57.215 juta dollar AS, keuntungan 862 juta dollar AS, dan aset 40.561 juta dollar AS. Pada 30 Nopember 1999, Exxon Corporation resmi bergabung dengan Mobil Corporation menjadi ExxonMobil Corporation.
ExxonMobil memproduksi 4 - 4,5 juta barel minyak dan gas per hari, yang dihasilkan ladang minyak di 24 negara. Untuk eksplorasi ExxonMobil telah melakukan di 48 negara dan menjual minyak dan gas di 25 negara. Pada divisi pengembangan ExxonMobil memiliki 32 proyek di 15 negara yang memerlukan dana 33 milyar dollar AS untuk pembangunan seluruh proyek tersebut.
Di sisi lain, Exxon juga dituduh sebuah grup riset Council on Economic Priorities sebagai perusahaan nomor atas penyebab polusi sepanjang tahun 1994. Begitu juga kasus tumpahnya minyak dari tangker raksasa Exxon Valdez di Prince William Sound, pantai barat AS, pada Maret 1989 lalu yang menyebabkan lebih dari 11 juta gallon (41 juta liter) minyak mencemari perairan dan lingkungan di teluk Alaska.
Luas wilayah kerja pertambangan Blok Cepu keseluruhan adalah 919,19 km persegi –dengan perhitungan 624,64 km persegi di Kabupaten Bojonegoro, 255,60 km persegi di Kabupaten Blora dan 38,95 km persegi di Kabupaten Tuban. ExxonMobil memastikan Blok Cepu bisa menghasilkan minyak mentah 170.000 barel per hari, dan memberikan penghasilan 4 juta dollar AS per hari kepada pemerintah, dengan asumsi harga minyak mentah 35 dollar per barel.
Total cadangan minyak di Blok Cepu menurut konsultan dari Amerika mencapai 2 milyar barel. Perlu diketahui 25 persen sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui berupa minyak yang diambil dari bumi Indonesia adalah minyak-minyak yang berada di lapisan dangkal, salah satu ladang yang bernama Blok Cepu ini dilakukan pengeboran lebih dalam.
Pengembangan Blok Cepu
Mobil Cepu Ltd. (MCL) dan Ampolex (Cepu) Pte. Ltd., keduanya adalah anak perusahaan Exxon Mobil Corporation, adalah kontraktor untuk Kontrak Kerjasama Cepu bersama dengan PT Pertamina EP Cepu, anak perusahaan PT Pertamina dan 4 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sebagaimana disyaratkan dalam Kontrak Kerja Sama (KKS) tersebut.Peraturan Pemerintah No. 35 / 2004 menyebutkan bahwa prioritas dalam penawaran Penyertaan Modal (Participating Interest – PI) harus diberikan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Republik Indonesia Ke empat (4) BUMD tersebut adalah PT Sarana Patra Hulu Cepu (Provinsi Jawa Tengah), PT Asri Dharma Sejahtera (Kabupaten Bojonegoro), PT Blora Patragas Hulu (Kabupaten Blora), PT Petro Gas Jatum Utama Cendana (Provinsi Jawa Timur) Ke empat BUMD ini bekerja dibawah satu konsorsium yang dinamakan Badan Kerja Sama (BKS).
Blok Cepu DIHARAPKAN (dan pasti terjadi) dapat memberikan peningkatan yang signifikan terutama dalam pengganda bidang industri pendukung di pulau Jawa, yang dampaknya pada peningkatan ekonomi, bertambahnya lapangan pekerjaan dan peningkatan dalam program pengembangan masyarakat. Semua hal tersebut akan memberikan peningkatan pada dampak positif proyek bagi masyarakat sekitar lokasi.
Lapangan Banyu Urip
Kontrak Kerja Sama (KKS) Cepu ditandatangani pada 17 September 2005 dan meliputi wilayah Area Kontrak Cepu, di area Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mobil Cepu Ltd. (MCL), Ampolex (Cepu) Pte. Ltd. dan Pertamina EP Cepu bersama-sama merumuskan komposisi Kontraktor dibawah KKS Cepu. KKS Cepu ini memiliki kewenangan atas 10% modal serta keuntungan yang ditujukan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD. KKS Cepu akan berlaku selama 30 tahun.Berdasarkan Perjanjian Operasi Bersama – Joint Operating Agreement (JOA) yang dirumuskan oleh pihak Kontraktor, MCL bertindak sebagai operator dari KKS Cepu sebagai wakil dari para Kontraktor.
Proyek Banyu Urip adalah proyek pertama yang dikembangkan pada masa setelah penandatanganan KKS, yang termasuk didalamnya pengembangan lapangan minyak Banyu Urip. Penemuan Lapangan Minyak Banyu Urip diumumkan pada April 2001 dan diperkirakan memiliki kandungan minyak lebih dari 250 juta barel. Pada masa produksi puncak, lapangan minyak Banyu Urip memiliki desain kapasitas produksi hingga 165 ribu barel minyak per hari.
Keuntungan dari Proyek
- Pengembangan Proyek Banyu Urip akan memberikan sejumlah keuntungan yang signifikan bagi Indonesia.
- Sejumlah besar tenaga kerja yang akan dibutuhkan untuk pengembangan proyek ini adalah warga negara Indonesia.
- Proyek ini akan menjadi sarana pelatihan bagi warga negara Indonesia untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan, khususnya dalam bidang minyak dan gas, layanan pendukung serta industri lainnya.
- MCL akan bekerjasama dengan penyedia jasa layanan serta kontraktor untuk mendukung tujuan utama dalam keselamatan kerja, pengaturan biaya serta jadwal yang efektif, serta komitmen untuk memaksimalkan potensi lokal dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut.
- Pengembangan Proyek Banyu Urip akan memberikan kesempatan dalam bidang ekonomi kepada usaha lokal, termasuk pembuatan pipa, pemasangan pipa, jasa layanan industri serta lainnya. Selain itu, jasa layanan industri ini tidak hanya akan dibutuhkan pada masa pengembangan, namun sepanjang beroperasinya lapangan minyak ini,
- Banyak sekali warga Indonesia yang telah terlibat dalam perencanaan proyek serta usaha-usaha manajerial, termasuk di dalamnya para karyawan serta kontraktor. Dalam masa konstruksi proyek, ratusan warga negara Indonesia akan terlibat sebagai pekerja melalui kontraktor yang bertanggung jawab dalam pembangunan fasilitas tersebut..
SEBUAH CERITA:
Pertamina memang tak habis-habisnya dirundung masalah. Badan usaha milik negara yang paling gemuk itu, sejak berdirinya, telah jadi sumber korupsi dan sarat skandal. Kasus paling menghebohkan, misalnya, korupsi yang melibatkan Ahmad Taher, pejabat Pertamina tahun 1970-an. Selama puluhan tahun, kinerja Pertamina memang tak pernah baik dan malah makin tak efisien.
Sejak tahun 1980-an, setelah Ahmad Taher meninggal dunia, anak-anak Soeharto ganti menggerogoti Pertamina. Tommy Soeharto, Bambang Trihatmodjo, dan Sudwikatmono dengan Perta Oil Ltd. dan Permindo Trading Oil Co. Ltd. mengambil alih pengadaan impor minyak Pertamina. Sebanyak 70 persen saham Perta dimiliki Tommy Soeharto serta beberapa yayasan keluarga Soeharto. Akan halnya 65 persen saham Permindo dikuasai Bambang Trihatmodjo, Sudwikatmono, dan Nirwan Bakrie.
Puluhan bahkan ratusan perusahaan keluarga Soeharto dan kawan-kawannya mengambil proyek-proyek Pertamina hingga tak tersisa bagi perusahaan-perusahaan lain. Seharusnya Pertamina bisa langsung membeli minyak mentah ke produsennya, tapi karena harus melalui Perta dan Permindo, Pertamina mesti mengeluarkan biaya lebih untuk mereka.
Kerugian yang diderita Pertamina, karena rongrongan dari luar itu misalnya, pembangunan kilang minyak Exor (Export Oriented Refinery) I Balongan, di Indramayu, yang dibangun swasta itu ternyata sering rusak. Mutu kilang yang jelek tersebut menimbulkan dugaan telah terjadi praktik mark up (melipatgandakan biaya) dalam pembangunannya.
Kilang minyak itu diketahui mulai dibangun pada tahun 1990-an dan telah menghabiskan biaya sekitar US$ 2,4 miliar. Angka ini dianggap tak masuk akal, apalagi menurut berbagai kontraktor dari luar negeri, biaya pembangunan kilang tipe itu hanya menghabiskan uang US$ 1,9 miliar. Kalau hitungan ini benar, ada US$ 500 juta uang negara yang pindah ke kantung kontraktor.
Ini hanya beberapa contoh. Laksamana Sukardi, yang kini bekerja untuk Ekonomi ReForm, menyimpulkan, selama ini Pertamina dirugikan sekitar US$ 800 juta per hari atau US$ 2,4 miliar per bulan, karena proses mark-up tadi. "Hingga sekarang masih jalan terus," ujar Laksamana kepada D&R.
Laksamana tergerak hatinya melakukan penelitian proyek-proyek Pertamina karena prihatin pemerintah Habibie tak segera membersihkan korupsi di negeri ini. Dengan mengambil sejumlah sampel, mengecek ke sana-kemari, Laksamana mendapatkan angka yang menakjubkan itu. Hasil penelitian Laksamana ini dibantah Pertamina. Alasan Pertamina: pendapatan kotor seluruh kontraktor bagi hasil (KPS) yang berproduksi saat ini hanya berkisar antara US$ 12,3 hingga US$ 15,8 miliar per tahun.
"Jadi, angka itu sulit dipertanggungjawabkan. Bagaimana mungkin terjadi kebocoran sampai US$ 2,4 miliar per bulan atau sekitar US$ 28,8 miliar per tahun. Padahal, pendapatan kotor kegiatan para KPS tidak lebih dari US$ 16 miliar per tahun," ujar Kepala Badan Pembinaan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA), Gatot K. Wiroyudo seperti dikutip The Jakarta Post.
Angka yang diperoleh Laksamana bisa saja keliru. Namun, Pertamina mestinya juga menyadari, mark-up dan berbagai rongrongan di tubuhnya memang benar terjadi. Hanya angkanya memang mesti terus dicari. Menurut Mohamad Sadli, mantan Menteri Pertambangan dan Energi, mark-up dan korupsi di Pertamina makin menggila sejak tahun 1985, setelah anak-anak Soeharto mulai besar dan jadi pengusaha. "Apalagi waktu itu minyak tepat pada masa booming. Sebelumnya, walau masih di zamannya Soeharto pun, keadaannya wajar-wajar saja," ujar Sadli kepada D&R.
Ginandjar Kartasasmita
Menurut Sadli, ketika profesor itu menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, tahun 1973 hingga 1978, praktik mark-up belum ada. Menurut Sadli, ini karena anak-anak Soeharto masih kecil-kecil. "Yang bikin repot kan putra-putri presiden dan kawan-kawannya," ungkapnya. Sadli juga mencontohkan, Sempati, perusahaan penerbangan milik Tommy Soeharto dan Bob Hasan, tidak pernah bayar utangnya kepada Pertamina. Karena buruknya kultur manajemen Pertamina, Sadli mengusulkan ide berani. Jual saja Pertamina ke perusahaan asing, agar korupsi dan mark-up mundur teratur.
Pertamina, kata Sadli, tak hanya digerogoti anak-anak pejabat, tapi juga orang tua mereka. Sejak lama para menteri dan pejabat negara selalu minta dilayani oleh perusahaan-perusahaan negara, termasuk Pertamina dan Bank Indonesia. "Pertamina dan Bank Indonesia punya banyak perwakilan di luar negeri. Tugas perwakilan-perwakilan ini men-service para very important person dari Jakarta," ujarnya.
Praktik semacam itu masih ada hingga kini. Kasus terakhir, walaupun dibantah, Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Ginandjar Kartasasmita masih melakukannya. Pekan silam, muncul berita Ginandjar meminta uang dari Pertamina untuk membiayai asistensi, akomodasi, dan transportasi sang menteri selama berada di Amerika Serikat dan Jepang. Kabar ini muncul setelah Kepala Perwakilan Pertamina Wilayah Amerika di Houston, Amerika Serikat, mengirimkan surat tagihan ke kantor Ginandjar.
Karena diributkan, Kantor Menko Ekuin membantah menterinya telah "memeras" perwakilan Pertamina itu. Sekretaris Pribadi Menko Ekuin K. Inugroho mengatakan, pembayaran tagihan atas keperluan Ginandjar selama berada di Amerika dan Jepang tetap oleh Kantor Menko Ekuin.
Direktur Pertamina Soegianto mengatakan, bantuan seperti itu kepada pejabat negara yang berkunjung ke luar negeri adalah hal biasa. Menurut Soegianto, Pertamina semata-mata memenuhi permintaan bantuan. Misalnya, membantu mencarikan hotel di Amerika Serikat dan Jepang serta bantuan transportasi. "Ini untuk memudahkan akses, tetapi biayanya tetap ditanggung Kantor Menko Ekuin, booking-nya juga atas nama Pak Ginandjar," katanya kepada wartawan.
Jadi, Sadli benar. Untungnya, sekarang di zaman reformasi ini, para pejabat Pertamina sudah berani menagih para pejabat negara yang mereka service di luar negeri.
Irawan Saptono/Laporan Febrina M.S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar