Kebutuhan
BBM Indonesia kurang lebih sebanyak 1,5 juta Barel Per Hari (BPH).
Volume impor BBM meningkat sejak 2010 dikarenakan produksi 79 Blok Migas
yang terus menurun. Sebagai latar belakang, Indonesia saat ini memiliki
263 blok minyak bumi dan gas bumi (migas). Jumlah ini akan terus
bertambah seiring dengan eksplorasi-eksplorasi baru. Dari 263 blok Migas
yang dimiliki Indonesia saat ini, sebanyak 79 Blok Migas sudah
produksi. Sedangkan sisanya 184 Blok Migas masih dalam tahap eksplorasi.
Dari
79 Blok Migas milik Indonesia yang sudah produksi, sekitar 55 Blok
Migas (70%) dikelola oleh perusahaan migas asing berskala global. Sebut
saja, Chevron, Total, Inpex, ExxonMobil, Petronas, Petrochina, CNOOC,
Santos, British Petroleum, Hess, Stat Oil, Eni dan sebagainya
Berikut daftar produksi 79 Blok Migas dan kekurangannya (impor) :
2010 : Produksi 954.000 Barel Per Hari (BPH). Impor 550.000 BPH.
2011 : Produksi 898.000 Barel Per Hari (BPH). Impor 600.000 BPH.
2012 : Produksi 861.000 Barel Per Hari (BPH). Impor 650.000 BPH.
2013 : Produksi 827.000 Barel Per Hari (BPH). Impor 700.000 BPH.
Faktanya,
peningkatan impor minyak / BBM dikarenakan menurunnya produksi 79 Blok
Migas. Bahwa importir diuntungkan karena adanya kenaikan permintaan
impor, itu benar. Tapi bukan seperti yang dituduhkan Jokowi – JK bahwa
impor minyak / BBM meningkat karena permainan importir. Justru yang
harus ditanyakan adalah kenapa produksi 79 Blok Migas itu menurun.
Apakah ada permainan para kontraktor migas asing yang sengaja menurunkan
produksinya untuk tujuan tertentu?
Jangan
lupa, pada 2015 – 2021 ada 28 Blok Migas yang akan habis kontrak.
Berikut daftar 28 Blok Migas yang akan habis masa kontraknya antara 2015
– 2021
2015
Pertamina – Costa di Blok Gabang
2017
Total EP – Inpex di Blok Mahakam
Pertamina di Blok Offshore North West Java (ONWJ)
Inpex di Blok Attaka
Medco di Blok Lematang
2018
Pertamina – Petrochina di Blok Tuban
Pertamina – Talisman di Blok Ogan Komering
ExxonMobil di Blok North Sumatera Offshore (NSO) B
ExxonMobil di Blok NSO Extension
CNOOC di Blok Sumatera Tenggara
Total EP di Blok Tengah
VICO di Blok Sanga-Sanga
Chevron di Blok Pasir Barat (West Pasir) dan Attaka
2019
Kalrez Petroleum di Blok Bula
Citic di Blok Seram Non Bula
Pertamina – Golden Spike di Blok Pendopo dan Raja
Pertamina – Hess di Blok Jambi Merang
2020
Conoco Phillips di Blok South Jambi B
Kondur Petroleum di Blok Malacca Strait
Lapindo di Blok Brantas
Pertamina – Petrochina di Blok Salawati
Petrochina di Blok Kepala Burung Blok A
Energy Equity di Blok Sengkang
Chevron di Blok Makassar Strait Offshore A
2021
CPI di Blok Rokan
Kalila di Blok Bentu Segat
Petronas di Blok Muriah
Petroselat di Blok Selat Panjang
Pemerintah RI tentu punya 2 pilihan menghadapi adanya 28 blok migas yang akan habis kontrak :
Tidak perpanjang dan harus segera siapkan kontraktor migas baru yang siap produksi penuhi kebutuhan BBM dalam negeri.
Perpanjang dan memberikan kontrak blok tambahan kepada kontraktor yang ada agar produksi terpenuhi.
Pemegang
konsesi 28 blok migas dimana lebih dari 20 blok migas itu adalah asing,
tentu berharap perpanjangan kontrak. Wajar apabila para kontraktor di
28 blok migas itu sengaja menurunkan produksinya. Penurunan produksi
migas yang disengaja, akan mendesak pemerintah perpanjang kontrak.
Faktanya, penurunan produksi migas hanya memiliki 2 solusi :
Penurunan produksi diselesaikan dengan tingkatkan impor.
Penurunan produksi diselesaikan dengan perpanjang kontrak migas yang ada dan berikan blok baru kepada kontraktor yang sudah ada.
Para
kontraktor di 28 blok migas yang akan habis kontrak tentu akan menyukai
opsi kedua. Wajar jika kemudian asing-asing ini sengaja menurunkan
produksi migas dan menyerang importir. Karena sasaran asing-asing ini
adalah memperpanjang kontrak.
Kira-kira begini alurnya :
Pada 2015 – 2021 ada 28 blok migas habis kontrak.
Para kontraktor turunkan produksi untuk tekan pemerintah soal perpanjangan kontrak dan dapatkan blok tambahan.
Solusi jangka pendek pemerintah hadapi penurunan produksi dengan tingkatkan impor.
Importir diserang isu mafia migas agar pemerintah tidak fokus impor, tapi perpanjang kontrak dan pemberian blok tambahan.
Pertanyaannya
kemudian, kenapa Jokowi – JK menyalahkan importir migas terkait
penurunan produksi migas? Apakah ada yang disembunyikan terkait 28 blok
migas yang akan habis kontrak?
Solusi
yang juga ditawarkan Jokowi – JK untuk menghadapi Mafia Migas adalah
mencabut Subsidi BBM. Benarkah pencabutan subsidi BBM semata-mata
bertujuan menghantam Mafia Migas? Ataukah ada motif bisnis juga di balik
pencabutan Subsidi BBM?
Perlu
diketahui, kebutuhan BBM Premium di Indonesia sebanyak 30 juta
Kiloliter (KL). Kemampuan produksi Pertamina untuk BBM Premium hanya 12
juta Kiloliter (KL). Kemampuan produksi Pertamina untuk BBM Pertamax
hanya 1 juta Kiloliter (KL).
Dan
perlu juga diketahui, tanpa subsidi, harga BBM Premium akan berkisar di
Rp 10.000/liter. Selisih harga BBM Premium dengan Pertamax jika tak ada
subsidi hanya berkisar Rp 300 – 500/liter. Artinya, sebagian pengguna
BBM Premium akan cenderung memilih BBM Pertamax jika tidak ada Subsidi.
Padahal,
kemampuan produksi Pertamina untuk BBM Pertamax hanya sebanyak 1 juta
Kiloliter (KL). Artinya, pencabutan subsidi BBM Premium adalah peluang
bagi BBM asing sekelas Pertamax. Anggap dari 30 juta Kiloliter konsumsi
BBM Premium, sebanyak 15 juta Kiloliter (50%) beralih ke Pertamax.
Pertamina tak akan mampu penuhi demand Pertamax sebanyak itu.
Merek-merek BBM asing seperti Shell, Total, Chevron, Petronas, dan
sebagainya akan sangat menyukainya. Merek-merek BBM asing akan sangat
diuntungkan jika subsidi BBM Premium dicabut dan terjadi migrasi
konsumsi ke Pertamax.
Saat
ini, sebanyak 40 perusahaan asing telah mengantongi izin mendirikan
SPBU merek asing di Indonesia. Masing-masing perusahaan asing itu
memiliki hak mendirikan 20.000 SPBU merek asing. Artinya, apabila
Subsidi BBM Premium dicabut, akan ada 800.000 SPBU merek asing siap
berdiri di Indonesia. Jumlah yang wajar untuk antisipasi migrasi
besar-besaran konsumsi BBM Premium ke BBM kelas Pertamax.
Dari
sini bisa kita lihat, bahwa di balik isu Mafia Migas ala Jokowi – JK,
ujung-ujungnya adalah membuka keran asing ke BBM dalam negeri.
Tuduhan
bahwa Petral memonopoli impor BBM yang menguntungkan importir hanyalah
cara lain mengembalikan Mafia Migas yang sesungguhnya. Faktanya,
pembubaran Petral akan sangat menguntungkan bagi kelompok mafia migas
Ari Soemarno, Raden Prijono dan politisi PDIP Effendi Simbolon.
Tuduhan
bahwa segelintir importir sangat diuntungkan dengan adanya Subsidi BBM
hanyalah cara lain membuka keran migas asing ke BBM dalam negeri.
Faktanya, pencabutan Subsidi BBM akan sangat menguntungkan bagi rencana
40 produsen migas asing buka 800.000 SPBU kelas Pertamax.
ads
Kamis, 20 November 2014
Kebohongan Istilah Subsidi BBM
KEBIJAKAN TENTANG BBM SUDAH SEJAK LAMA KACAU-BALAU : SUBSIDI BBM "BOHONG BESAR"
Hampir semua elit bangsa kita telah tersesat pikirannya selama berpuluh-puluh tahun tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan kebijakan dalam menentukan harga BBM.
Mereka mengatakan bahwa kalau harga minyak mentah di pasar internasional lebih tinggi dari harga minyak mentah yang terkandung dalam bensin premium, pemerintah Indonesia memberi subsidi kepada rakyatnya. “Subsidi” yang mereka artikan sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Karena jumlahnya besar, uang tunai ini tidak dimiliki oleh pemerintah, sehingga APBN jebol.
Dengan angka-angka dikatakan bahwa dalam hal :
Harga minyak Indonesia di pasar internasionl, Indonesian Crude Price (ICP) USD 105 per barrel;
Lifting minyak Indonesia 930.000 barrel per hari;
Konsumsi BBM rakyat Indonesia 63 juta kiloliter per tahun;
dan beberapa asumsi lainnya,
pemerintah Indonesia harus mengeluarkan subsidi dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 123,60 trilyun.
Uang tunai sebesar ini tidak dimiliki oleh pemerintah, sehingga APBN jebol. Maka pemerintah harus menaikkan harga BBM.
Pemerintah, para ilmuwan, pengamat, pers dan komponen elit bangsa lainnya meyakinkan rakyat Indonesia tentang pendapatnya yang sama sekali tidak benar, dan bahkan menyesatkan itu.
Pemerintah yang dalam berbagai pernyataan dan penjelasannya mengatakan harus mengeluarkan uang tunai untuk subsidi BBM, ternyata menulis yang bertentangan di dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan T
NOTA KEUANGAN TAHUN 2012
Angka subsidi sebesar Rp. 123,60 trilyun diperoleh dari empat angka yang terdapat dalam halaman-halaman dari Nota Keuangan yang dirinci sebagai berikut:
Halaman III-6 : Tabel III.3 – Penerimaan Perpajakan, 2011 dan 2012
Dalam Tabel ini terdapat pos “Pajak Penghasilan Migas” sebesar Rp. 60,9156 trilyun
Halaman III-12 : Tabel III.7 – Perkembangan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Tahun 2001 – 2012
Dalam Tabel ini terdapat pos “Penerimaan SDA Migas” sebesar Rp. 159,4719 trilyun.
Halaman IV-7 : Tabel IV.3 – Subsidi 2012
Dalam Tabel ini terdapat pos “Subsidi BBM dan LPG Tabung 3 Kg.” sebesar Rp. 123,5997 trilyun.
Halaman IV-43 : Tabel IV.5 – Transfer ke Daerah, 2012
Dalam Tabel ini terdapat pos “Sumber Daya Alam Migas” sebesar
Rp. 32,2762 trilyun. Ini adalah pemasukan uang tunai Pemerintah Pusat yang diteruskan kepada Pemerintah Daerah atas dasar Bagi Hasil dalam Otonomi Keuangan Daerah.
Keempat angka tersebut disusun dalam Tabel I terlampir.
Tabel I : Tidak ada subsidi yang sama dengan pengeluaran uang tunai
Kita lihat bahwa walaupun sudah memasukkan pos yang dinamakan “Subsidi” sebesar Rp. 123,5997 trilyun masih ada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 64,5116 trilyun.
Kelebihan uang dalam Kas Kementerian Keuangan lebih besar dari ini, namun uang tunai sejumlah Rp. 32,2762 trilyun diteruskan ke Pemerintah Daerah sebagai Dana Bagi Hasil dalam rangka otonomi keuangan.
Jelas angka ini adalah pemasukan uang. Maka kalau ditambahkan, kelebihan uang tunai menjadi Rp. 96,7878 trilyun.
Jadi kalau dikatakan Pemerintah mengeluarkan uang tunai sejumlah Rp. 123,5997 trilyun guna membayar “subsidi” BBM jelas ini tidak benar dan bohong.

FRAKSI-FRAKSI KOALISI DI DPR TIDAK PAHAM TENTANG APA YANG MEREKA LAKUKAN
Kesepakatan fraksi-fraksi koalisi di DPR tentang Pasal 7 ayat (6A) jelas berdasarkan kebingungan dan ketidak pahaman tentang apa yang mereka diskusikan dan putuskan. Mengapa memberikan hak kepada pemerintah dalam hal harga ICP mencapai 115% dari USD 105 per barrel ? Lagi-lagi karena keyakinan bahwa APBN akan jebol kalau harga mencapai 115% x USD 105 per barrel.
Bahwa keyakinan itu sama sekali keliru terlihat dari perhitungan di bawah, yang masih menghasilkan surplus sebesar Rp. 74,1915 triyun dalam hal harga ICP menjadi USD 120.75

Kesepakatan DPR mengatakan bahwa bilamana harga ICP mencapai 115% (atau plus 15%) dari USD 105 per barrel, Pemerintah boleh menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR, karena defisit yang diakibatkan oleh subsidi terlampau besar, sehingga tidak tertahankan lagi.
Dari susunan angka-angka di atas terlihat jelas bahwa Pemerintah masih kelebihan uang tunai sejumlah Rp. 74,1915 trilyun, walaupun harga ICP mencapai USD 120,75 per liter.
Mengapa dan bagaimana mungkin Pemerintah melakukan kesalahan pikir sampai demikian kacau balaunya. Subsidi yang tidak ada, ditulis beserta jumlahnya. Tetapi angka-angka yang riil tidak dapat disembunyikan, sehingga terpaksa harus menuliskan pos “PNBP Migas” dengan jumlah Rp. 159,4719 trilyun. Maka Tabel I memang memuat pos “Subsidi BBM” sebesar Rp. 123,5997 trilyun, tetapi ada pemasukan uang dengan sebutan pos “PNBP Migas” sebesar Rp. 159,4719 trilyun dan pos “DBH (Dana Bagi Hasil) Migas” sebesar Rp. 32,2762 trilyun, yang membuat tercantumnya kelebihan uang (surplus) dalam Nota Keuangan 2012.
ALASAN IDEOLOGIS
Secara ideologis, elit bangsa Indonesia telah berhasil di brain wash, sehingga mereka tidak bisa berpikir lain kecuali secara otomatis atau refleks merasa sudah seharusnya bahwa komponen minyak mentah dalam BBM harus dinilai dengan harga yang terbentuk oleh mekanisme pasar (dalam UU no. 22 tahun 2001 pasal 28 ayat 2 : “mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”.)
Harga pngadaan bensin
Harga pokok pengadaan bensin yang berasal dari minyak mentah milik sendiri, karena digali dari dalam perut bumi Indonesia terdiri pengeluaran-pengeluaran uang tunai untuk kegiatan-kegiatan penyedotan (lifting), pengilangan (refining) dan biaya pengangkutan rata-rata ke pompas-pompa bensin (transporting). Keseluruhan biaya-biaya ini sebesar USD 10 per barrel. 1 barrel = 159 liter dan dengan asumsi nilai tukar 1 USD = Rp. 9.000, maka biaya dalam bentuk uang tunai yang harus dikeluarkan sebesar (10 : 159) x Rp. 9.000 = Rp. 566.
Namun kita dicuci otak untuk berpikir bahwa seolah-olah semua minyak mentah harus dibeli dari pasar minyak internasional yang harganya ditentukan oleh mekanisme pasarnya New York Mercantile Exchange (NYMEX)
Dengan demikian kita harus berpikir bahwa harga pokok dari 1 liter bensin premium sebesar Rp. 6.509, yaitu atas dasar harga minyak mentah di pasar internasional sebesar USD 105 per barrel. 1 barrel = 159 liter, sehingga dengan asumsi 1 USD = Rp. 9.000 (yang diambil oleh APBN 2012), komponen minyak dalam 1 liter bensin premium adalah (105 : 159) x Rp. 9.000 = Rp. 5.934,30. Ditambah dengan biaya Lifting, Refining dan Transporting sebesar Rp. 566 per liter, menjadilah bensin premium dengan harga pokok sebesar Rp. 6.509 per liter.
Seperti kita ketahui, harga bensin premium Rp. 4.500 per liter, sehingga pemerintah merasa merugi sebesar Rp. 2.009 per liternya (Rp. 6.509 – Rp. 4.500). Dengan kata lain, pemerintah merasa memberikan subsidi kepada rakyat Indonesia yang membeli bensin premium sebesar Rp. 2.009 untuk setiap liternya.
Karena menurut pemerintah konsumsi bensin dengan harga Rp. 4.500 per liter itu seluruhnya 61,62 juta kiloliter atau 61,52 milyar liter, pemerintah merasa merugi, memberikan subsidi kepada rakyat pengguna bensin sejumlah Rp. 123,59 trilyun. Angka inilah yang tercantum dalam Nota Keuangan tahun 2015 (Tabel IV.3 : Subsidi – halaman IV.7).
Jelas bahwa pola pikir ini didasarkan atas ideologi fundalisme mekanisme pasar yang diterapkan pada minyak dan BBM, yaitu bahwa harga BBM harus ditentukan oleh mekanisme pasar; pemerintah tidak boleh ikut campur tangan dalam menentukan harga BBM yang diberlakukan buat rakyatnya, sedangkan minyak mentah yang diolah menjadi BBM adalah milik rakyat itu sendiri. Pemerintah yang mewakili rakyat pemilik minyak di bawah perut bumi tanah airnya tidak boleh menentukan harga yang diberlakukan buat rakyat. Dengan kata lain, hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri tentang bagaimana menggunakan minyak yang miliknya sendiri itu diingkari.
Harga yang dibayar untuk minyak miliknya sendiri haruslah harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar, mekanisme permintaan dan penawaran minyak dari seluruh dunia yang dikoordinasikan oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX).
Kalau harga minyak yang terkandung dalam BBM dijual dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditentukan oleh NYMEX, perbedaan ini disebut “subsidi” yang dianggap “rugi” dalam arti benar-benar kehilangan uang.
Pikiran yang menganut mekanisme pasar murni difanatisir, diradikalisir dan disesatkan dengan mengatakan bahwa subsidi BBM sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Jumlahnya sangat besar, pemerintah tidak memiliki uang itu, sehingga APBN jebol. Ini jelas tidak benar, jelas bohong. Toh dikatakan oleh praktis seluruh elit kekuasaan yang duduk dalam eksekutif maupun legislatif.
Penyesatan tersebut telah diperlihatkan pada awal paparan ini, yaitu angka-angka yang tercantum dalam Tabel I. Angka-angka ini ditulis oleh pemerintah sendiri yang dicantumkan dalam dokumen resmi, yaitu Nota Keuangan/APBN tahun 2012 yang dijadikan titik tolak diskusi dan penentuan kebijakan.
Demikianlah jauhnya indoktrinasi, brain washing yang berhasil tentang mutlaknya pemberlakuan mekanisme pasar, sehingga mulut pemerintah mengatakan memberi subsidi yang sama dengan uang tunai dalam jumlah besar yang harus dikeluarkan sehingga APBN jebol, tetapi tangannya menuliskan Tabel nomor I yang jelas memperlihatkan bahwa ada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878 trilyun.
APA TUJUAN DARI INDOKTRINASI DAN BRAIN WASHING ?
Secara logis, deduktif dan obyektif dapat dikenali bahwa pemberlakuan harga minyak di pasar dunia buat rakyat Indonesia yang membeli minyak miliknya sendiri, dimaksud untuk membuat rakyat Indonesia secara mendarah daging berkeyakinan, bahwa harga yang dibayar untuk BBM dengan sendirinya haruslah harga yang berlaku di pasar dunia.
Kalau ini sudah merasuk ke dalam otak dan darah dagingnya, perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia bisa menjual BBM di Indonesia dengan memperoleh laba besar.
Seperti kita ketahui, sekitar 90% dari minyak Indonesia dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing atas dasar kontrak bagi hasil. Pihak Indonesia memperoleh 85% dan asing 15%. Tetapi dalam kenyataannya, pembagiannya sekarang ini pihak Indonesia memperoleh 70% dan para kontraktor asing memperoleh 30%. Sebabnya yalah adanya ketentuan bahwa biaya eksplorasi harus dibayar kembali dalam natura atau dalam bentuk minyak mentah yang digali dari bumi Indonesia.
Para kontraktor asing menggelembungkan (mark up) biaya-biaya eksplorasinya, sehingga sampai saat ini, setelah sekian lamanya tidak ada eksplorasi lagi, biaya-biaya eksplorasi yang dinamakan recovery costs masih saja dibayar terus. Jumlahnya 15% dari minyak mentah yang digali. Maka kalau volume seluruh penggalian minyak sebanyak 930.000 barrel per hari, yang digali oleh kontraktor asing sebanyak 90% dari 930.000 barrel per hari, yang sama dengan 837.000 barrel per hari. Hak kontraktor asing 30%. Tetapi karena yang 15% dianggap sebagai penggantian biaya eksplorasi yang disebut cost recovery, kita anggap netonya memperoleh 15%. Ini berarti bahwa keseluruhan kontraktor asing yang beroperasi di Indonesia setiap harinya mendapat minyak sebanyak 15% x 837.000 barrel = 125.500 barrel per hari atau 19.954.500 liter per hari.
Kita saksikan bahwa Shell, Chevron, Petronas dll. sudah membuka pompa-pompa bensinnya. Mereka hanya menjual jenis bensin yang setara dengan Pertamax dengan harga sekitar Rp. 10.000 per liter. Apa artinya ini ? Artinya, mereka mempunyai hak memiliki 19.954.500 liter per hari. Biaya untuk melakukan pengedukan, pengilangan dan transportasi sampai ke pompa-pompa bensin mereka sebesar Rp. 566 per liter. Dijual dengan harga Rp. 10.000 per liter. Labanya Rp. 9.434 per liter. Volumenya 19.954.500 liter per hari. Maka labanya per hari dari konsumen Indonesia dengan menjual bensin yang minyak mentahnya dari perut bumi Indonesia sebesar Rp. 188.255.847.000 per hari, yaitu (19.954.500 x 10.000) – (19.954.500 x 566) = Rp. 188.255.847.000 per hari.
Dalam satu tahun laba keseluruhan kontraktor asing yang bekerja di Indonesia sebesar Rp. 68,71 trilyun.
Buat saya sangat jelas bahwa faktor inilah yang membuat para kontraktor asing itu melakukan apa saja untuk mencuci otak rakyat Indonesia bahwa bensin harus dibayar dengan harga New York beserta berbagai argumentasinya. Ternyata berhasil, karena dikumandangkan dengan demikian kerasnya oleh para elit kita, dari Presiden sampai pegawai negeri rendahan, dari mahasiswa sampai guru besar dan semua media massa.
Inlander
Sekarang setiap hari Chevron memasang iklan di berbagai surat kabar dan pemancar televisi Indonesia bahwa Chevron punya andil besar dalam membangun Indonesia, menggunakan wajah-wajah Indonesia yang mengangguk-ngangguk bagaikan inlander membenarkan peran besarnya Chevron dalam mengeduk kekayaan sumber daya alam Indonesia.
IDEOLOGI YANG MENYUSUP KE DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
Ideologi bahwa pemerintah tidak boleh campur tangan dalam menentukan harga BBM di Indonesia, walaupun minyak mentah milik bangsa Indonesia sendiri, telah berhasil disusupkan ke dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-undang inilah yang dijadikan landasan untuk memberlakukan harga di pasar internasional buat bangsa Indonesia. Kalau rakyat Indonesia belum mampu membayar harga internasional, dikatakan bahwa pemerintah harus memberikan subsidi untuk perbedaan harganya, dan dikatakan juga bahwa subsidi sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan, sehingga APBN jebol. Bahwa ini tidak benar telah dijelaskan.
HARGA BBM, UNDANG-UNDANG DASAR DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pasal 28 ayat (2) dari UU nomor 22 Tahun 2001 jelas bertentangan dengan UUD kita beserta tafsirannya.
UUD kita mengatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Karena itu harga BBM yang sesuai dengan ketentuan UUD tersebut ditentukan oleh hikmah kebijaksanaan yang didasarkan atas tiga prinsip, yaitu:
kepatutan,daya beli masyarakat,nilai strategis untuk keseluruhan sektor-sektor lainnya dalam pembangunan.Karena prinsip tersebut dilanggar, maka Mahkamah Konstitusi (MK) membuat Putusan yang menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Konstitusi. Putusannya adalah:
Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 yang berbunyi : “Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.”
KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DILECEHKAN OLEH SEBUAH PERATURAN PEMERINTAH
Keputusan MK tersebut disikapi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Pasal 72 ayat (1) berbunyi : “HARGA BAHAN BAKAR MINYAK DAN GAS BUMI, kecuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, DISERAHKAN PADA MEKANISME PERSAINGAN USAHA YANG WAJAR, SEHAT DAN TRANSPARAN”.
KONSTITUSI, MAHKAMAH KONSTITUSI DILECEHKAN OLEH PARA PENGUASA
Sejak lama para penguasa kita memberikan pernyataan-pernyataan yang sangat tegas dan jelas, yang mencerminkan keyakinannya tentang harga BBM yang diberlakukan buat rakyat Indonesia haruslah harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar yang dikoordinasikan oleh NYMEX.
Mereka mengatakan bahwa apabila harga BBM di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan harga BBM di luar negeri, perbedaan itu merupakan kerugian dalam keuangan negara.
Pemerintah harus menambal kerugian tersebut dengan uang tunai dalam jumlah sangat besar yang tidak dimilikinya. Maka kalau harga tidak disamakan dengan harga BBM internasional, APBN jebol. Bahwa ini jelas tidak benar telah diuraikan pada awal paparan ini.
Sekarang akan dikemukakan pikiran yang diucapkan, dituliskan, dipidatokan kepada rakyat dan DPR, beserta keinginan pemerintah memberlakukan harga BBM atas dasar harga minyak mentah yang ditentukan oleh NYMEX.
Mari kita simak pernyataan-pernyataan sebagai berikut:
Kompas tanggal 17 Mei 2008 mengutip Menko Boediono yang mengatakan : “Pemerintah akan menyamakan harga bahan bakar minyak atau BBM untuk umum di dalam negeri dengan harga minyak di pasar internasional secara bertahap mulai September 2008. Pemerintah ingin mengarahkan harga BBM pada mekanisme penyesuaian otomatis dengan harga dunia.”
Hal yang sama diulangi lagi oleh Boediono dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden dalam wawancaranya pada acara di Metro TV dengan Suryopratomo pada tanggal 26 Maret 2012.
Presiden SBY memberi pernyataan yang dikutip oleh Indopos tanggal 3 Juli 2008 sebagai berikut : “Jika harga minyak USD 150 per barrel, subsidi BBM dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp. 320 trilyun. Kalau harga minyak USD 160 gila lagi. Kita akan keluarkan (subsidi) Rp. 254 trilyun hanya untuk BBM”.
Sangat jelas, Presiden SBY berkeyakinan bahwa perbedaan harga antara pasar New York dengan harga BBM yang diberlakukan untuk rakyat Indonesia sama dengan uang tunai yang dikeluarkan. Seperti telah dijelaskan, ini tidak benar. Presiden SBY disesatkan oleh para menterinya sendiri.
Kompas tanggal 24 Mei 2008 mengutip Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro yang mengatakan : “dengan tingkat harga baru itu, pemerintah masih mensubsidi harga premium sebesar Rp. 3.000 per liter karena adaperbedaan harga antara harga baru Rp. 6.000 per liter dan harga di pasar dunia sebesar Rp. 9.000 per liter.”
Ketika itu, bensin premium dinaikkan harganya menjadi Rp. 6.000 per liter, harga minyak mentah di pasar internasional USD 133 per barrel dan kurs rupiah 1 USD = Rp. 10.000
Cara berpikir Menteri Purnomo sebagai berikut:
Harga minyak mentah USD 133 per barrel sama dengan USD 0,8365 per liter atau Rp. 8,364 per liter. Ditambah dengan LRT sebesar Rp. 630 menjadi harga pokok bensin premium sebesar Rp. 8,994. Angka ini dibulatkan menjadi Rp. 9,000 per liter.
Jadi sangat jelas pikiran Menteri Purnomo bahwa rakyat Indonesia seyogianya membayar BBM sesuai dengan harga minyak di pasar internasional (harga NYMEX).
Kompas tanggal 24 Mei 2008 mengutip Menteri Keuangan Sri Mulyani : “Sekarang memang dinaikkan menjadi Rp. 6.000 per liter. Tetapi ini untuk sementara. Jika harga minyak terus meningkat secara signifikan, pemerintah bisa melakukan tindakan untuk menekan harga subsidi BBM (baca : menaikkan harga BBM)”.
Lengkaplah sudah bukti-bukti bahwa sejak tahun 2008 sampai sekarang pikirannya, darah dagingnya, DNA-nya para penguasa kita berkeyakinan bahwa rakyat Indonesia yang memiliki minyak harus membayar minyaknya sendiri dengan harga yang ditentukan oleh NYMEX dalam memenuhi kebutuhan akan BBM.
LANDASAN TEORITIS YANG DIBUAT KEBLINGER
Metode replacement value
Apakah ada landasan teoretis tentang bagaimana menghitung harga pokok BBM yang bisa kita anut, dan nyatanya dianut oleh pemerintah ? Ada, yaitu menghitung harga pokok BBM atas dasar replacement value. Teori ini mengatakan bahwa harga pokok dari barang yang dijual adalah harga beli yang berlaku di pasar dari barang yang baru saja dijual.
Kalau saya sekarang menjual 1 liter premium dengan harga Rp. 4.500 per liter, harga pokok saya adalah harga yang harus saya bayar seandainya minyak mentah yang ada dalam 1 liter premium itu saya beli dari New York dengan harga yang berlaku di sana sekarang. Berapakah harga itu ? Tergantung. Kalau harganya USD 105 per barrel, maka per liternya USD 0,66. Dengan kurs 1 USD = Rp. 9.000 harga pokok minyak mentah per liternya 0,66 x Rp. 9.000 = Rp. 5.940. Ditambah dengan biaya LRT sebesar Rp. 566 per liter, harga pokok bensin premium per liternya menjadi Rp. 6.506. Atas dasar alur pikir ini, pemerintah merasa harga pokoknya Rp. 6.506, sehingga kalau dinaikkan menjadi Rp. 6.000 masih rugi sedikit.
Pemerintah terus mengatakan bahwa kalau dipaksa menjual premium dengan harga Rp. 4.500 per liter, setiap liternya akan merugi Rp. 1.500.
Benarkah ? Benar dalam konsep penghitungan harga pokok atas dasar metode replacement value. Tetapi kerugiannya tidak dalam bentuk uang tunai yang hilang. Kerugiannya dalam bentuk kesempatan memperoleh untung Rp. 1.500 per liternya yang hilang, karena tidak bisa menjual minyak di New York. Mengapa tidak bisa ? Karena minyak dibutuhkan oleh rakyat Indonesia sendiri. Yang hilang bukan uang tunai, tetapi kesempatan memperoleh untung besar. Kerugiannya dalam bentuk opportunity loss, bukan real cash money loss.
Karena itu, tidak ada kerugian dalam bentuk uang tunai yang membuat APBN jebol. Sebaliknya, pemerintah masih memperoleh kelebihan uang tunai yang ditulisnya sendiri dalam Nota Keuangan 2012, yang pada awal paparan ini sudah dikemukakan dalam bentuk tabel-tabel.
Dibuat keblingernya konsep penghitungan harga pokok atas dasar replacement value yalah karena opportunity loss dikatakan sebagai real cash money loss; kerugian dalam kesempatan yang hilang dikatakan sebagai kerugian dalam bentuk uang tunai yang hilang.
Maka mulut mengatakan “APBN jebol”, tetapi tangannya menulis dalam Nota Keuangan ada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878 trilyun.
Substansialisme
Mengapa ada konsep penghitungan harga pokok atas dasar replacement value ? Untuk memperoleh harga pokok yang menjamin bahwa substansi barangnya dipertahankan. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pedagang cabe mulai berdagang dengan Rp. 100.000 dibelikan 10 kg. cabe. Semuanya laku dijual dengan hasil penjualan Rp. 150.000. Ketika dia ingin membeli cabe untuk perputaran perdagangan selanjutnya, harga beli cabe sudah naik menjadi Rp. 12.000 per kg.
Mahasiswa A dan B ditanya berapa laba sang pedagang ? A mengatakan Rp. 50.000, karena kalau labanya yang Rp. 50.000 itu dikonsumsi, modal nominalnya dalam bentuk uang tunai masih utuh sebesar Rp. 100.000
B menjawab labanya Rp. 30.000, karena B ingin mempertahankan 10 kg. cabenya yang tidak boleh berkurang setelah laba dikonsumsi habis. Harga beli cabe buat pedagang naik menjadi Rp. 12.000 per kg, sehingga untuk mengganti jumlah kg. cabe yang harus tetap 10 kg., pedagang harus mengeluarkan uang Rp. 120.000
A ingin mempertahankan modal nominalnya sebesar Rp. 100.000. B ingin mempertahankan substansi dalam bentuk barang dagangannya (cabe) sebanyak 10 kg. Maka dia menganggap laba yang dapat dikonsumsi tanpa mengurangi volume cabe barang dagangannya (10 kg.) sebesar Rp. 30.000 saja, karena yang Rp. 120.000 dibutuhkan untuk membeli 10 kg. cabe lagi yang harganya sekarang sudah meningkat menjadi Rp. 12.000 per kg.
A menggunakan metode harga pokok cash basis. B menggunakan metode repalcement value basis. A disebut nominalis, B disebut substansialis. Landasan pikiran A adalah nominalisme, sedangkan B menganut aliran substansialisme.
Pemerintah yang mengambil harga pasar minyak di New York sebagai harga pokoknya menganut faham substansialisme. Konsekwensinya, kelebihan uang tunai harus dipakai untuk mempertahankan volume energi, yang bentuknya misalnya menggunakan kelebihan uangnya guna melakukan riset menemukan energi alternatif.
Seperti kita ketahui, pemerintah ingin menggunakannya untuk membagi-bagi uangnya kepada orang miskin, atau untuk infra struktur.
Jadi tujuan pemerintah menerapkan substansialisme dalam bidang minyak tidak untuk mempertahankan cadangan energi, tetapi untuk tujuan-tujuan lain.
Kalau memang itu tujuannya jangan mengatakan menderita kerugian, jangan menggunakan kata “subsidi”. Caranya merumuskan kebijakannya yalah dengan mengatakan:
“Pemerintah telah memperoleh kelebihan uang tunai sebanyak Rp. 96,78 trilyun dengan menjual bensin premium dengan harga Rp. 4.500 per liternya. Tetapi pemerintah ingin menaikannya menjadi Rp. 6.000 per liter supaya mendapat uang lebih banyak guna memberikan santunan kepada orang miskin, membangun jembatan dsb.”
Pemerintah menjadi bingung karena tidak berpikir sendiri, melainkan menjalankan bisikan atau bahkan pendiktean orang lain tanpa mengetahui apa maksud orang yang mendiktekannya, dan tanpa mengerti landasan falsafah dari penghitungan harga pokok atas dasar substansialisme. Karena bingungnya itu lantas menjadi ngawur dalam berargumentasi. Pemerintah menebar jejaring kebohongan yang akhirnya terjerat jejaring itu sendiri dengan akibat terlihat seperti orang yang selalu kebingungan.
METODE CASH BASIS ATAU HISTORICAL COST
Harga pokok atas dasar metode ini yalah uang tunai yang benar-benar dikeluarkan untuk memperoleh 1 liter bensin premium. Uang tunai harus dikeluarkan untuk membayar biaya-biaya penyedotan minyak dari bawah perut bumi (lifting), mengilangnya menjadi bensin (refining) dan mentransportasikannya ke pompa-pompa bensin (transporting). Tiga macam biaya ini (LRT) keseluruhannya USD 10 per barrel. Karena 1 barrel = 159 liter, dan kalau kurs 1 USD = Rp. 9.000, maka uang tunai yang harus dikeluarkan untuk memperoleh bensin premium pada pompa-pompa bensin rata-ratanya (10 : 159) x Rp. 9.000 = Rp. 566 per liter.
Karena uang tunai yang dikeluarkan hanya sebanyak Rp. 566 per liternya, harga pokok menurut metode ini Rp. 566 per liter. Kalau dijual Rp. 4.500 per liter, terjadi kelebihan uang tunai sebesar Rp. 3.934 per liternya.
Sistem pembukuan dan sistem kalkulasi harga pokok yang diterapkan oleh pemerintah adalah cash basis. Maka tidak bisa berbohong.
Keseluruhan sistem pembukuan dan metode penghitungan harga pokok yang melandasinya adalah yang cash basis atau yang historical cost. Maka tidak mungkin berbohong tanpa menyembunyikan kelebihan uangnya yang merupakan perbuatan kriminal berat.
Itulah sebabnya melalui jalan yang berliku, dalam Nota Keuangan 2012 terdapat kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878 trilyun, seperti yang telah dijelaskan berkali-kali.
Menjelaskan dengan perhitungan simulatif yang disederhanakan
Kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878 trilyun dihitung oleh pemerintah yang dituangkan dalam 4 buah tabel, yang letaknya dalam Nota Keuangan 2012 saling berjauhan urutan halamannya. Jadi yang saya lakukan hanya menulis dan menyusun apa adanya yang disajikan oleh pemerintah.
Sekarang saya akan menjelaskan keseluruhan alur pikir yang disederhanakan, tetapi dibuat selogis dan serealistis mungkin. Hasilnya hanya berbeda sekitar 1% saja.
Diasumsikan bahwa seluruh minyak mentah yang merupakan hak Indonesia dijadikan bensin premium semuanya.
Konsumsi lebih besar dari produksi minyak hak Indonesia, yaitu konsumsi sebesar 63.000.000.000 liter, sedangkan produksi hak Indonesia 37.780.800.000 liter. Maka harus diimpor sebanyak 25.219.200.000 liter yang benar-benar dibayar dengan harga internasional sebesar USD 105 per barrel.
Pertamina disuruh membeli minyak mentah hak Indonesia dengan harga internasional. Demikian juga dengan impor neto yang dengan sendirinya harus dibayar dengan harga internasional sebesar USD 105 per barrel.
Susunan angka-angkanya menjadi Tabel berikut.
Kita lihat bahwa Pertamina memang kekurangan uang tunai sebesar Rp. 126,63 trilyun. Ini yang disuarakan dengan keras oleh pemerintah sebagai subsidi yang sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan, dan dikatakan membuat APBN jebol.
Namun karena Pertamina disuruh membayar minyak mentah kepada pemerintah Indonesia untuk 37,7808 milyar liter dengan harga USD 105 per barrel, pemerintah kemasukan uang tunai dari Pertamina sebesar Rp. 224,569 trilyun (baris paling atas dengan angka-angka tebal). Defisit yang Rp. 126,63 trilyun ditambah dengan surplus yang Rp. 224,569 trilyun menjadikan surplus uang tunai pada pemerintah sebesar Rp. 97,939 trilyun.
Tabel di bawah dimaksud untuk menjelaskan alur pikir pemerintah dan dibuat secara simulatif yang disederhanakan, tetapi selogis dan serealistis mungkin, memperlihatkan surplus sebesar Rp. 97,939 trilyun. Angka surplus ini berbeda dengan yang tercantum dalam APBN tahun 2012 yang sebesar Rp. 96,788 trilyun. Selisihnya hanya Rp. 1,151 trilyun atau 1,19% saja. Maka perhitungan simulatif untuk menjelaskan alur pikir dapat dipertanggung jawabkan.

LOGIKA KEBUN CABE
Rakyat yang tidak berpendidikan tinggi dengan segera dapat menangkap konyolnya pikiran para elit kita dengan penjelasan sebagai berikut.
Rumah tempat tinggal keluarga pak Amad punya kebun kecil yang setiap harinya menghasilkan 1 kg. cabe. Keluarganya yang ditambah dengan staf pegawai/pembantu rumah tangga cukup besar. Keluarga ini membutuhkan 1 kg. cabe setiap harinya.
Seperti kita ketahui, kalau produksi cabe yang setiap harinya 1 kg. itu dijual, pak Amad akan mendapat uang sebesar Rp. 15.000 setiap harinya. Tetapi 1 kg. cabe itu dibutuhkan untuk konsumsi keluarganya sendiri.
Biaya dalam bentuk uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pak Amad untuk menyiram dan memberi pupuk sekedarnya setiap harinya Rp. 1.000.
Pak Amad setiap harinya ngomel, menggerutu mengatakan bahwa dia sangat sedih, karena harus mensubsidi keluarganya sebesar Rp. 14.000 per hari, karena harus memberi cabe hasil kebunnya kepada keluarganya.
Akhirnya seluruh keluarga sepakat megumpulkan uang (urunan) sebanyak Rp. 5.000 yang diberikan kepada pak Amad sebagai penggantian untuk cabenya yang tidak dijual di pasar. Pak Amad masih menggerutu mengatakan bahwa dia memberi subsidi untuk cabe sebesar Rp. 10.000 setiap hari.
Lantas tidak hanya menggerutu, dia menjadi sinting betreriak-teriak bahwa dompetnya akan jebol, karena uang tunai keluar terus sebanyak Rp. 10.000 setiap harinya. Dalam kenyataannya, dia keluar uang Rp. 1.000 dan memperoleh Rp. 5.000 setiap harinya.
Ketika saya menceriterakan ini, rakyat jelata yang minta penjelasan kepada saya mengatakan : “Iya pak, kok aneh ya, punya cabe di kebunnya sendiri, harganya meningkat tinggi kok sedih, ngamuk, mengatakan kantongnya jebol, uang mengalir keluar, padahal yang keluar hanya Rp. 1.000 per hari, dia memperoleh Rp. 5.000 per harinya.”
Saya katakan kepada rakyat jelata : “Ya itulah otak banyak sekali dari pemimpinmu yag sudah berhasil dicuci sampai menjadi gendeng seperti itu.”
http://kwikkiangie.com/v1/2012/04/kebijakan-tentang-bbm-yang-sejak-lama-sudah-kacau-balau/
Hampir semua elit bangsa kita telah tersesat pikirannya selama berpuluh-puluh tahun tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan kebijakan dalam menentukan harga BBM.
Mereka mengatakan bahwa kalau harga minyak mentah di pasar internasional lebih tinggi dari harga minyak mentah yang terkandung dalam bensin premium, pemerintah Indonesia memberi subsidi kepada rakyatnya. “Subsidi” yang mereka artikan sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Karena jumlahnya besar, uang tunai ini tidak dimiliki oleh pemerintah, sehingga APBN jebol.
Dengan angka-angka dikatakan bahwa dalam hal :
Harga minyak Indonesia di pasar internasionl, Indonesian Crude Price (ICP) USD 105 per barrel;
Lifting minyak Indonesia 930.000 barrel per hari;
Konsumsi BBM rakyat Indonesia 63 juta kiloliter per tahun;
dan beberapa asumsi lainnya,
pemerintah Indonesia harus mengeluarkan subsidi dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 123,60 trilyun.
Uang tunai sebesar ini tidak dimiliki oleh pemerintah, sehingga APBN jebol. Maka pemerintah harus menaikkan harga BBM.
Pemerintah, para ilmuwan, pengamat, pers dan komponen elit bangsa lainnya meyakinkan rakyat Indonesia tentang pendapatnya yang sama sekali tidak benar, dan bahkan menyesatkan itu.
Pemerintah yang dalam berbagai pernyataan dan penjelasannya mengatakan harus mengeluarkan uang tunai untuk subsidi BBM, ternyata menulis yang bertentangan di dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan T
NOTA KEUANGAN TAHUN 2012
Angka subsidi sebesar Rp. 123,60 trilyun diperoleh dari empat angka yang terdapat dalam halaman-halaman dari Nota Keuangan yang dirinci sebagai berikut:
Halaman III-6 : Tabel III.3 – Penerimaan Perpajakan, 2011 dan 2012
Dalam Tabel ini terdapat pos “Pajak Penghasilan Migas” sebesar Rp. 60,9156 trilyun
Halaman III-12 : Tabel III.7 – Perkembangan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Tahun 2001 – 2012
Dalam Tabel ini terdapat pos “Penerimaan SDA Migas” sebesar Rp. 159,4719 trilyun.
Halaman IV-7 : Tabel IV.3 – Subsidi 2012
Dalam Tabel ini terdapat pos “Subsidi BBM dan LPG Tabung 3 Kg.” sebesar Rp. 123,5997 trilyun.
Halaman IV-43 : Tabel IV.5 – Transfer ke Daerah, 2012
Dalam Tabel ini terdapat pos “Sumber Daya Alam Migas” sebesar
Rp. 32,2762 trilyun. Ini adalah pemasukan uang tunai Pemerintah Pusat yang diteruskan kepada Pemerintah Daerah atas dasar Bagi Hasil dalam Otonomi Keuangan Daerah.
Keempat angka tersebut disusun dalam Tabel I terlampir.
Tabel I : Tidak ada subsidi yang sama dengan pengeluaran uang tunai
Kita lihat bahwa walaupun sudah memasukkan pos yang dinamakan “Subsidi” sebesar Rp. 123,5997 trilyun masih ada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 64,5116 trilyun.
Kelebihan uang dalam Kas Kementerian Keuangan lebih besar dari ini, namun uang tunai sejumlah Rp. 32,2762 trilyun diteruskan ke Pemerintah Daerah sebagai Dana Bagi Hasil dalam rangka otonomi keuangan.
Jelas angka ini adalah pemasukan uang. Maka kalau ditambahkan, kelebihan uang tunai menjadi Rp. 96,7878 trilyun.
Jadi kalau dikatakan Pemerintah mengeluarkan uang tunai sejumlah Rp. 123,5997 trilyun guna membayar “subsidi” BBM jelas ini tidak benar dan bohong.

FRAKSI-FRAKSI KOALISI DI DPR TIDAK PAHAM TENTANG APA YANG MEREKA LAKUKAN
Kesepakatan fraksi-fraksi koalisi di DPR tentang Pasal 7 ayat (6A) jelas berdasarkan kebingungan dan ketidak pahaman tentang apa yang mereka diskusikan dan putuskan. Mengapa memberikan hak kepada pemerintah dalam hal harga ICP mencapai 115% dari USD 105 per barrel ? Lagi-lagi karena keyakinan bahwa APBN akan jebol kalau harga mencapai 115% x USD 105 per barrel.
Bahwa keyakinan itu sama sekali keliru terlihat dari perhitungan di bawah, yang masih menghasilkan surplus sebesar Rp. 74,1915 triyun dalam hal harga ICP menjadi USD 120.75

Kesepakatan DPR mengatakan bahwa bilamana harga ICP mencapai 115% (atau plus 15%) dari USD 105 per barrel, Pemerintah boleh menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR, karena defisit yang diakibatkan oleh subsidi terlampau besar, sehingga tidak tertahankan lagi.
Dari susunan angka-angka di atas terlihat jelas bahwa Pemerintah masih kelebihan uang tunai sejumlah Rp. 74,1915 trilyun, walaupun harga ICP mencapai USD 120,75 per liter.
Mengapa dan bagaimana mungkin Pemerintah melakukan kesalahan pikir sampai demikian kacau balaunya. Subsidi yang tidak ada, ditulis beserta jumlahnya. Tetapi angka-angka yang riil tidak dapat disembunyikan, sehingga terpaksa harus menuliskan pos “PNBP Migas” dengan jumlah Rp. 159,4719 trilyun. Maka Tabel I memang memuat pos “Subsidi BBM” sebesar Rp. 123,5997 trilyun, tetapi ada pemasukan uang dengan sebutan pos “PNBP Migas” sebesar Rp. 159,4719 trilyun dan pos “DBH (Dana Bagi Hasil) Migas” sebesar Rp. 32,2762 trilyun, yang membuat tercantumnya kelebihan uang (surplus) dalam Nota Keuangan 2012.
ALASAN IDEOLOGIS
Secara ideologis, elit bangsa Indonesia telah berhasil di brain wash, sehingga mereka tidak bisa berpikir lain kecuali secara otomatis atau refleks merasa sudah seharusnya bahwa komponen minyak mentah dalam BBM harus dinilai dengan harga yang terbentuk oleh mekanisme pasar (dalam UU no. 22 tahun 2001 pasal 28 ayat 2 : “mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”.)
Harga pngadaan bensin
Harga pokok pengadaan bensin yang berasal dari minyak mentah milik sendiri, karena digali dari dalam perut bumi Indonesia terdiri pengeluaran-pengeluaran uang tunai untuk kegiatan-kegiatan penyedotan (lifting), pengilangan (refining) dan biaya pengangkutan rata-rata ke pompas-pompa bensin (transporting). Keseluruhan biaya-biaya ini sebesar USD 10 per barrel. 1 barrel = 159 liter dan dengan asumsi nilai tukar 1 USD = Rp. 9.000, maka biaya dalam bentuk uang tunai yang harus dikeluarkan sebesar (10 : 159) x Rp. 9.000 = Rp. 566.
Namun kita dicuci otak untuk berpikir bahwa seolah-olah semua minyak mentah harus dibeli dari pasar minyak internasional yang harganya ditentukan oleh mekanisme pasarnya New York Mercantile Exchange (NYMEX)
Dengan demikian kita harus berpikir bahwa harga pokok dari 1 liter bensin premium sebesar Rp. 6.509, yaitu atas dasar harga minyak mentah di pasar internasional sebesar USD 105 per barrel. 1 barrel = 159 liter, sehingga dengan asumsi 1 USD = Rp. 9.000 (yang diambil oleh APBN 2012), komponen minyak dalam 1 liter bensin premium adalah (105 : 159) x Rp. 9.000 = Rp. 5.934,30. Ditambah dengan biaya Lifting, Refining dan Transporting sebesar Rp. 566 per liter, menjadilah bensin premium dengan harga pokok sebesar Rp. 6.509 per liter.
Seperti kita ketahui, harga bensin premium Rp. 4.500 per liter, sehingga pemerintah merasa merugi sebesar Rp. 2.009 per liternya (Rp. 6.509 – Rp. 4.500). Dengan kata lain, pemerintah merasa memberikan subsidi kepada rakyat Indonesia yang membeli bensin premium sebesar Rp. 2.009 untuk setiap liternya.
Karena menurut pemerintah konsumsi bensin dengan harga Rp. 4.500 per liter itu seluruhnya 61,62 juta kiloliter atau 61,52 milyar liter, pemerintah merasa merugi, memberikan subsidi kepada rakyat pengguna bensin sejumlah Rp. 123,59 trilyun. Angka inilah yang tercantum dalam Nota Keuangan tahun 2015 (Tabel IV.3 : Subsidi – halaman IV.7).
Jelas bahwa pola pikir ini didasarkan atas ideologi fundalisme mekanisme pasar yang diterapkan pada minyak dan BBM, yaitu bahwa harga BBM harus ditentukan oleh mekanisme pasar; pemerintah tidak boleh ikut campur tangan dalam menentukan harga BBM yang diberlakukan buat rakyatnya, sedangkan minyak mentah yang diolah menjadi BBM adalah milik rakyat itu sendiri. Pemerintah yang mewakili rakyat pemilik minyak di bawah perut bumi tanah airnya tidak boleh menentukan harga yang diberlakukan buat rakyat. Dengan kata lain, hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri tentang bagaimana menggunakan minyak yang miliknya sendiri itu diingkari.
Harga yang dibayar untuk minyak miliknya sendiri haruslah harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar, mekanisme permintaan dan penawaran minyak dari seluruh dunia yang dikoordinasikan oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX).
Kalau harga minyak yang terkandung dalam BBM dijual dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditentukan oleh NYMEX, perbedaan ini disebut “subsidi” yang dianggap “rugi” dalam arti benar-benar kehilangan uang.
Pikiran yang menganut mekanisme pasar murni difanatisir, diradikalisir dan disesatkan dengan mengatakan bahwa subsidi BBM sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Jumlahnya sangat besar, pemerintah tidak memiliki uang itu, sehingga APBN jebol. Ini jelas tidak benar, jelas bohong. Toh dikatakan oleh praktis seluruh elit kekuasaan yang duduk dalam eksekutif maupun legislatif.
Penyesatan tersebut telah diperlihatkan pada awal paparan ini, yaitu angka-angka yang tercantum dalam Tabel I. Angka-angka ini ditulis oleh pemerintah sendiri yang dicantumkan dalam dokumen resmi, yaitu Nota Keuangan/APBN tahun 2012 yang dijadikan titik tolak diskusi dan penentuan kebijakan.
Demikianlah jauhnya indoktrinasi, brain washing yang berhasil tentang mutlaknya pemberlakuan mekanisme pasar, sehingga mulut pemerintah mengatakan memberi subsidi yang sama dengan uang tunai dalam jumlah besar yang harus dikeluarkan sehingga APBN jebol, tetapi tangannya menuliskan Tabel nomor I yang jelas memperlihatkan bahwa ada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878 trilyun.
APA TUJUAN DARI INDOKTRINASI DAN BRAIN WASHING ?
Secara logis, deduktif dan obyektif dapat dikenali bahwa pemberlakuan harga minyak di pasar dunia buat rakyat Indonesia yang membeli minyak miliknya sendiri, dimaksud untuk membuat rakyat Indonesia secara mendarah daging berkeyakinan, bahwa harga yang dibayar untuk BBM dengan sendirinya haruslah harga yang berlaku di pasar dunia.
Kalau ini sudah merasuk ke dalam otak dan darah dagingnya, perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia bisa menjual BBM di Indonesia dengan memperoleh laba besar.
Seperti kita ketahui, sekitar 90% dari minyak Indonesia dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing atas dasar kontrak bagi hasil. Pihak Indonesia memperoleh 85% dan asing 15%. Tetapi dalam kenyataannya, pembagiannya sekarang ini pihak Indonesia memperoleh 70% dan para kontraktor asing memperoleh 30%. Sebabnya yalah adanya ketentuan bahwa biaya eksplorasi harus dibayar kembali dalam natura atau dalam bentuk minyak mentah yang digali dari bumi Indonesia.
Para kontraktor asing menggelembungkan (mark up) biaya-biaya eksplorasinya, sehingga sampai saat ini, setelah sekian lamanya tidak ada eksplorasi lagi, biaya-biaya eksplorasi yang dinamakan recovery costs masih saja dibayar terus. Jumlahnya 15% dari minyak mentah yang digali. Maka kalau volume seluruh penggalian minyak sebanyak 930.000 barrel per hari, yang digali oleh kontraktor asing sebanyak 90% dari 930.000 barrel per hari, yang sama dengan 837.000 barrel per hari. Hak kontraktor asing 30%. Tetapi karena yang 15% dianggap sebagai penggantian biaya eksplorasi yang disebut cost recovery, kita anggap netonya memperoleh 15%. Ini berarti bahwa keseluruhan kontraktor asing yang beroperasi di Indonesia setiap harinya mendapat minyak sebanyak 15% x 837.000 barrel = 125.500 barrel per hari atau 19.954.500 liter per hari.
Kita saksikan bahwa Shell, Chevron, Petronas dll. sudah membuka pompa-pompa bensinnya. Mereka hanya menjual jenis bensin yang setara dengan Pertamax dengan harga sekitar Rp. 10.000 per liter. Apa artinya ini ? Artinya, mereka mempunyai hak memiliki 19.954.500 liter per hari. Biaya untuk melakukan pengedukan, pengilangan dan transportasi sampai ke pompa-pompa bensin mereka sebesar Rp. 566 per liter. Dijual dengan harga Rp. 10.000 per liter. Labanya Rp. 9.434 per liter. Volumenya 19.954.500 liter per hari. Maka labanya per hari dari konsumen Indonesia dengan menjual bensin yang minyak mentahnya dari perut bumi Indonesia sebesar Rp. 188.255.847.000 per hari, yaitu (19.954.500 x 10.000) – (19.954.500 x 566) = Rp. 188.255.847.000 per hari.
Dalam satu tahun laba keseluruhan kontraktor asing yang bekerja di Indonesia sebesar Rp. 68,71 trilyun.
Buat saya sangat jelas bahwa faktor inilah yang membuat para kontraktor asing itu melakukan apa saja untuk mencuci otak rakyat Indonesia bahwa bensin harus dibayar dengan harga New York beserta berbagai argumentasinya. Ternyata berhasil, karena dikumandangkan dengan demikian kerasnya oleh para elit kita, dari Presiden sampai pegawai negeri rendahan, dari mahasiswa sampai guru besar dan semua media massa.
Inlander
Sekarang setiap hari Chevron memasang iklan di berbagai surat kabar dan pemancar televisi Indonesia bahwa Chevron punya andil besar dalam membangun Indonesia, menggunakan wajah-wajah Indonesia yang mengangguk-ngangguk bagaikan inlander membenarkan peran besarnya Chevron dalam mengeduk kekayaan sumber daya alam Indonesia.
IDEOLOGI YANG MENYUSUP KE DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
Ideologi bahwa pemerintah tidak boleh campur tangan dalam menentukan harga BBM di Indonesia, walaupun minyak mentah milik bangsa Indonesia sendiri, telah berhasil disusupkan ke dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-undang inilah yang dijadikan landasan untuk memberlakukan harga di pasar internasional buat bangsa Indonesia. Kalau rakyat Indonesia belum mampu membayar harga internasional, dikatakan bahwa pemerintah harus memberikan subsidi untuk perbedaan harganya, dan dikatakan juga bahwa subsidi sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan, sehingga APBN jebol. Bahwa ini tidak benar telah dijelaskan.
HARGA BBM, UNDANG-UNDANG DASAR DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pasal 28 ayat (2) dari UU nomor 22 Tahun 2001 jelas bertentangan dengan UUD kita beserta tafsirannya.
UUD kita mengatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Karena itu harga BBM yang sesuai dengan ketentuan UUD tersebut ditentukan oleh hikmah kebijaksanaan yang didasarkan atas tiga prinsip, yaitu:
kepatutan,daya beli masyarakat,nilai strategis untuk keseluruhan sektor-sektor lainnya dalam pembangunan.Karena prinsip tersebut dilanggar, maka Mahkamah Konstitusi (MK) membuat Putusan yang menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Konstitusi. Putusannya adalah:
Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 yang berbunyi : “Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.”
KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DILECEHKAN OLEH SEBUAH PERATURAN PEMERINTAH
Keputusan MK tersebut disikapi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Pasal 72 ayat (1) berbunyi : “HARGA BAHAN BAKAR MINYAK DAN GAS BUMI, kecuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, DISERAHKAN PADA MEKANISME PERSAINGAN USAHA YANG WAJAR, SEHAT DAN TRANSPARAN”.
KONSTITUSI, MAHKAMAH KONSTITUSI DILECEHKAN OLEH PARA PENGUASA
Sejak lama para penguasa kita memberikan pernyataan-pernyataan yang sangat tegas dan jelas, yang mencerminkan keyakinannya tentang harga BBM yang diberlakukan buat rakyat Indonesia haruslah harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar yang dikoordinasikan oleh NYMEX.
Mereka mengatakan bahwa apabila harga BBM di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan harga BBM di luar negeri, perbedaan itu merupakan kerugian dalam keuangan negara.
Pemerintah harus menambal kerugian tersebut dengan uang tunai dalam jumlah sangat besar yang tidak dimilikinya. Maka kalau harga tidak disamakan dengan harga BBM internasional, APBN jebol. Bahwa ini jelas tidak benar telah diuraikan pada awal paparan ini.
Sekarang akan dikemukakan pikiran yang diucapkan, dituliskan, dipidatokan kepada rakyat dan DPR, beserta keinginan pemerintah memberlakukan harga BBM atas dasar harga minyak mentah yang ditentukan oleh NYMEX.
Mari kita simak pernyataan-pernyataan sebagai berikut:
Kompas tanggal 17 Mei 2008 mengutip Menko Boediono yang mengatakan : “Pemerintah akan menyamakan harga bahan bakar minyak atau BBM untuk umum di dalam negeri dengan harga minyak di pasar internasional secara bertahap mulai September 2008. Pemerintah ingin mengarahkan harga BBM pada mekanisme penyesuaian otomatis dengan harga dunia.”
Hal yang sama diulangi lagi oleh Boediono dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden dalam wawancaranya pada acara di Metro TV dengan Suryopratomo pada tanggal 26 Maret 2012.
Presiden SBY memberi pernyataan yang dikutip oleh Indopos tanggal 3 Juli 2008 sebagai berikut : “Jika harga minyak USD 150 per barrel, subsidi BBM dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp. 320 trilyun. Kalau harga minyak USD 160 gila lagi. Kita akan keluarkan (subsidi) Rp. 254 trilyun hanya untuk BBM”.
Sangat jelas, Presiden SBY berkeyakinan bahwa perbedaan harga antara pasar New York dengan harga BBM yang diberlakukan untuk rakyat Indonesia sama dengan uang tunai yang dikeluarkan. Seperti telah dijelaskan, ini tidak benar. Presiden SBY disesatkan oleh para menterinya sendiri.
Kompas tanggal 24 Mei 2008 mengutip Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro yang mengatakan : “dengan tingkat harga baru itu, pemerintah masih mensubsidi harga premium sebesar Rp. 3.000 per liter karena adaperbedaan harga antara harga baru Rp. 6.000 per liter dan harga di pasar dunia sebesar Rp. 9.000 per liter.”
Ketika itu, bensin premium dinaikkan harganya menjadi Rp. 6.000 per liter, harga minyak mentah di pasar internasional USD 133 per barrel dan kurs rupiah 1 USD = Rp. 10.000
Cara berpikir Menteri Purnomo sebagai berikut:
Harga minyak mentah USD 133 per barrel sama dengan USD 0,8365 per liter atau Rp. 8,364 per liter. Ditambah dengan LRT sebesar Rp. 630 menjadi harga pokok bensin premium sebesar Rp. 8,994. Angka ini dibulatkan menjadi Rp. 9,000 per liter.
Jadi sangat jelas pikiran Menteri Purnomo bahwa rakyat Indonesia seyogianya membayar BBM sesuai dengan harga minyak di pasar internasional (harga NYMEX).
Kompas tanggal 24 Mei 2008 mengutip Menteri Keuangan Sri Mulyani : “Sekarang memang dinaikkan menjadi Rp. 6.000 per liter. Tetapi ini untuk sementara. Jika harga minyak terus meningkat secara signifikan, pemerintah bisa melakukan tindakan untuk menekan harga subsidi BBM (baca : menaikkan harga BBM)”.
Lengkaplah sudah bukti-bukti bahwa sejak tahun 2008 sampai sekarang pikirannya, darah dagingnya, DNA-nya para penguasa kita berkeyakinan bahwa rakyat Indonesia yang memiliki minyak harus membayar minyaknya sendiri dengan harga yang ditentukan oleh NYMEX dalam memenuhi kebutuhan akan BBM.
LANDASAN TEORITIS YANG DIBUAT KEBLINGER
Metode replacement value
Apakah ada landasan teoretis tentang bagaimana menghitung harga pokok BBM yang bisa kita anut, dan nyatanya dianut oleh pemerintah ? Ada, yaitu menghitung harga pokok BBM atas dasar replacement value. Teori ini mengatakan bahwa harga pokok dari barang yang dijual adalah harga beli yang berlaku di pasar dari barang yang baru saja dijual.
Kalau saya sekarang menjual 1 liter premium dengan harga Rp. 4.500 per liter, harga pokok saya adalah harga yang harus saya bayar seandainya minyak mentah yang ada dalam 1 liter premium itu saya beli dari New York dengan harga yang berlaku di sana sekarang. Berapakah harga itu ? Tergantung. Kalau harganya USD 105 per barrel, maka per liternya USD 0,66. Dengan kurs 1 USD = Rp. 9.000 harga pokok minyak mentah per liternya 0,66 x Rp. 9.000 = Rp. 5.940. Ditambah dengan biaya LRT sebesar Rp. 566 per liter, harga pokok bensin premium per liternya menjadi Rp. 6.506. Atas dasar alur pikir ini, pemerintah merasa harga pokoknya Rp. 6.506, sehingga kalau dinaikkan menjadi Rp. 6.000 masih rugi sedikit.
Pemerintah terus mengatakan bahwa kalau dipaksa menjual premium dengan harga Rp. 4.500 per liter, setiap liternya akan merugi Rp. 1.500.
Benarkah ? Benar dalam konsep penghitungan harga pokok atas dasar metode replacement value. Tetapi kerugiannya tidak dalam bentuk uang tunai yang hilang. Kerugiannya dalam bentuk kesempatan memperoleh untung Rp. 1.500 per liternya yang hilang, karena tidak bisa menjual minyak di New York. Mengapa tidak bisa ? Karena minyak dibutuhkan oleh rakyat Indonesia sendiri. Yang hilang bukan uang tunai, tetapi kesempatan memperoleh untung besar. Kerugiannya dalam bentuk opportunity loss, bukan real cash money loss.
Karena itu, tidak ada kerugian dalam bentuk uang tunai yang membuat APBN jebol. Sebaliknya, pemerintah masih memperoleh kelebihan uang tunai yang ditulisnya sendiri dalam Nota Keuangan 2012, yang pada awal paparan ini sudah dikemukakan dalam bentuk tabel-tabel.
Dibuat keblingernya konsep penghitungan harga pokok atas dasar replacement value yalah karena opportunity loss dikatakan sebagai real cash money loss; kerugian dalam kesempatan yang hilang dikatakan sebagai kerugian dalam bentuk uang tunai yang hilang.
Maka mulut mengatakan “APBN jebol”, tetapi tangannya menulis dalam Nota Keuangan ada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878 trilyun.
Substansialisme
Mengapa ada konsep penghitungan harga pokok atas dasar replacement value ? Untuk memperoleh harga pokok yang menjamin bahwa substansi barangnya dipertahankan. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pedagang cabe mulai berdagang dengan Rp. 100.000 dibelikan 10 kg. cabe. Semuanya laku dijual dengan hasil penjualan Rp. 150.000. Ketika dia ingin membeli cabe untuk perputaran perdagangan selanjutnya, harga beli cabe sudah naik menjadi Rp. 12.000 per kg.
Mahasiswa A dan B ditanya berapa laba sang pedagang ? A mengatakan Rp. 50.000, karena kalau labanya yang Rp. 50.000 itu dikonsumsi, modal nominalnya dalam bentuk uang tunai masih utuh sebesar Rp. 100.000
B menjawab labanya Rp. 30.000, karena B ingin mempertahankan 10 kg. cabenya yang tidak boleh berkurang setelah laba dikonsumsi habis. Harga beli cabe buat pedagang naik menjadi Rp. 12.000 per kg, sehingga untuk mengganti jumlah kg. cabe yang harus tetap 10 kg., pedagang harus mengeluarkan uang Rp. 120.000
A ingin mempertahankan modal nominalnya sebesar Rp. 100.000. B ingin mempertahankan substansi dalam bentuk barang dagangannya (cabe) sebanyak 10 kg. Maka dia menganggap laba yang dapat dikonsumsi tanpa mengurangi volume cabe barang dagangannya (10 kg.) sebesar Rp. 30.000 saja, karena yang Rp. 120.000 dibutuhkan untuk membeli 10 kg. cabe lagi yang harganya sekarang sudah meningkat menjadi Rp. 12.000 per kg.
A menggunakan metode harga pokok cash basis. B menggunakan metode repalcement value basis. A disebut nominalis, B disebut substansialis. Landasan pikiran A adalah nominalisme, sedangkan B menganut aliran substansialisme.
Pemerintah yang mengambil harga pasar minyak di New York sebagai harga pokoknya menganut faham substansialisme. Konsekwensinya, kelebihan uang tunai harus dipakai untuk mempertahankan volume energi, yang bentuknya misalnya menggunakan kelebihan uangnya guna melakukan riset menemukan energi alternatif.
Seperti kita ketahui, pemerintah ingin menggunakannya untuk membagi-bagi uangnya kepada orang miskin, atau untuk infra struktur.
Jadi tujuan pemerintah menerapkan substansialisme dalam bidang minyak tidak untuk mempertahankan cadangan energi, tetapi untuk tujuan-tujuan lain.
Kalau memang itu tujuannya jangan mengatakan menderita kerugian, jangan menggunakan kata “subsidi”. Caranya merumuskan kebijakannya yalah dengan mengatakan:
“Pemerintah telah memperoleh kelebihan uang tunai sebanyak Rp. 96,78 trilyun dengan menjual bensin premium dengan harga Rp. 4.500 per liternya. Tetapi pemerintah ingin menaikannya menjadi Rp. 6.000 per liter supaya mendapat uang lebih banyak guna memberikan santunan kepada orang miskin, membangun jembatan dsb.”
Pemerintah menjadi bingung karena tidak berpikir sendiri, melainkan menjalankan bisikan atau bahkan pendiktean orang lain tanpa mengetahui apa maksud orang yang mendiktekannya, dan tanpa mengerti landasan falsafah dari penghitungan harga pokok atas dasar substansialisme. Karena bingungnya itu lantas menjadi ngawur dalam berargumentasi. Pemerintah menebar jejaring kebohongan yang akhirnya terjerat jejaring itu sendiri dengan akibat terlihat seperti orang yang selalu kebingungan.
METODE CASH BASIS ATAU HISTORICAL COST
Harga pokok atas dasar metode ini yalah uang tunai yang benar-benar dikeluarkan untuk memperoleh 1 liter bensin premium. Uang tunai harus dikeluarkan untuk membayar biaya-biaya penyedotan minyak dari bawah perut bumi (lifting), mengilangnya menjadi bensin (refining) dan mentransportasikannya ke pompa-pompa bensin (transporting). Tiga macam biaya ini (LRT) keseluruhannya USD 10 per barrel. Karena 1 barrel = 159 liter, dan kalau kurs 1 USD = Rp. 9.000, maka uang tunai yang harus dikeluarkan untuk memperoleh bensin premium pada pompa-pompa bensin rata-ratanya (10 : 159) x Rp. 9.000 = Rp. 566 per liter.
Karena uang tunai yang dikeluarkan hanya sebanyak Rp. 566 per liternya, harga pokok menurut metode ini Rp. 566 per liter. Kalau dijual Rp. 4.500 per liter, terjadi kelebihan uang tunai sebesar Rp. 3.934 per liternya.
Sistem pembukuan dan sistem kalkulasi harga pokok yang diterapkan oleh pemerintah adalah cash basis. Maka tidak bisa berbohong.
Keseluruhan sistem pembukuan dan metode penghitungan harga pokok yang melandasinya adalah yang cash basis atau yang historical cost. Maka tidak mungkin berbohong tanpa menyembunyikan kelebihan uangnya yang merupakan perbuatan kriminal berat.
Itulah sebabnya melalui jalan yang berliku, dalam Nota Keuangan 2012 terdapat kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878 trilyun, seperti yang telah dijelaskan berkali-kali.
Menjelaskan dengan perhitungan simulatif yang disederhanakan
Kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878 trilyun dihitung oleh pemerintah yang dituangkan dalam 4 buah tabel, yang letaknya dalam Nota Keuangan 2012 saling berjauhan urutan halamannya. Jadi yang saya lakukan hanya menulis dan menyusun apa adanya yang disajikan oleh pemerintah.
Sekarang saya akan menjelaskan keseluruhan alur pikir yang disederhanakan, tetapi dibuat selogis dan serealistis mungkin. Hasilnya hanya berbeda sekitar 1% saja.
Diasumsikan bahwa seluruh minyak mentah yang merupakan hak Indonesia dijadikan bensin premium semuanya.
Konsumsi lebih besar dari produksi minyak hak Indonesia, yaitu konsumsi sebesar 63.000.000.000 liter, sedangkan produksi hak Indonesia 37.780.800.000 liter. Maka harus diimpor sebanyak 25.219.200.000 liter yang benar-benar dibayar dengan harga internasional sebesar USD 105 per barrel.
Pertamina disuruh membeli minyak mentah hak Indonesia dengan harga internasional. Demikian juga dengan impor neto yang dengan sendirinya harus dibayar dengan harga internasional sebesar USD 105 per barrel.
Susunan angka-angkanya menjadi Tabel berikut.
Kita lihat bahwa Pertamina memang kekurangan uang tunai sebesar Rp. 126,63 trilyun. Ini yang disuarakan dengan keras oleh pemerintah sebagai subsidi yang sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan, dan dikatakan membuat APBN jebol.
Namun karena Pertamina disuruh membayar minyak mentah kepada pemerintah Indonesia untuk 37,7808 milyar liter dengan harga USD 105 per barrel, pemerintah kemasukan uang tunai dari Pertamina sebesar Rp. 224,569 trilyun (baris paling atas dengan angka-angka tebal). Defisit yang Rp. 126,63 trilyun ditambah dengan surplus yang Rp. 224,569 trilyun menjadikan surplus uang tunai pada pemerintah sebesar Rp. 97,939 trilyun.
Tabel di bawah dimaksud untuk menjelaskan alur pikir pemerintah dan dibuat secara simulatif yang disederhanakan, tetapi selogis dan serealistis mungkin, memperlihatkan surplus sebesar Rp. 97,939 trilyun. Angka surplus ini berbeda dengan yang tercantum dalam APBN tahun 2012 yang sebesar Rp. 96,788 trilyun. Selisihnya hanya Rp. 1,151 trilyun atau 1,19% saja. Maka perhitungan simulatif untuk menjelaskan alur pikir dapat dipertanggung jawabkan.

LOGIKA KEBUN CABE
Rakyat yang tidak berpendidikan tinggi dengan segera dapat menangkap konyolnya pikiran para elit kita dengan penjelasan sebagai berikut.
Rumah tempat tinggal keluarga pak Amad punya kebun kecil yang setiap harinya menghasilkan 1 kg. cabe. Keluarganya yang ditambah dengan staf pegawai/pembantu rumah tangga cukup besar. Keluarga ini membutuhkan 1 kg. cabe setiap harinya.
Seperti kita ketahui, kalau produksi cabe yang setiap harinya 1 kg. itu dijual, pak Amad akan mendapat uang sebesar Rp. 15.000 setiap harinya. Tetapi 1 kg. cabe itu dibutuhkan untuk konsumsi keluarganya sendiri.
Biaya dalam bentuk uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pak Amad untuk menyiram dan memberi pupuk sekedarnya setiap harinya Rp. 1.000.
Pak Amad setiap harinya ngomel, menggerutu mengatakan bahwa dia sangat sedih, karena harus mensubsidi keluarganya sebesar Rp. 14.000 per hari, karena harus memberi cabe hasil kebunnya kepada keluarganya.
Akhirnya seluruh keluarga sepakat megumpulkan uang (urunan) sebanyak Rp. 5.000 yang diberikan kepada pak Amad sebagai penggantian untuk cabenya yang tidak dijual di pasar. Pak Amad masih menggerutu mengatakan bahwa dia memberi subsidi untuk cabe sebesar Rp. 10.000 setiap hari.
Lantas tidak hanya menggerutu, dia menjadi sinting betreriak-teriak bahwa dompetnya akan jebol, karena uang tunai keluar terus sebanyak Rp. 10.000 setiap harinya. Dalam kenyataannya, dia keluar uang Rp. 1.000 dan memperoleh Rp. 5.000 setiap harinya.
Ketika saya menceriterakan ini, rakyat jelata yang minta penjelasan kepada saya mengatakan : “Iya pak, kok aneh ya, punya cabe di kebunnya sendiri, harganya meningkat tinggi kok sedih, ngamuk, mengatakan kantongnya jebol, uang mengalir keluar, padahal yang keluar hanya Rp. 1.000 per hari, dia memperoleh Rp. 5.000 per harinya.”
Saya katakan kepada rakyat jelata : “Ya itulah otak banyak sekali dari pemimpinmu yag sudah berhasil dicuci sampai menjadi gendeng seperti itu.”
http://kwikkiangie.com/v1/2012/04/kebijakan-tentang-bbm-yang-sejak-lama-sudah-kacau-balau/
Rabu, 19 November 2014
Gurita Penguasaan Tambang Indonesia
PENGANTAR
• Sejak bulan Mei 2005, pengusaha asal Rote (NTT), Jusuf Merukh berusaha merintis pertambangan emas di Pulau Lembata, Flores Timur, melalui perusahaannya, PT Pukuafu Indah. Untuk itu, “raja kontrak karya pertambangan emas” yang memiliki saham di belasan perusahaan tambang yang beroperasi dari Aceh sampai ke Pulau Wetar, Maluku Tenggara, menggandeng beberapa mitra dari Jerman (Kupfer Produkte GmBH; Thyssen Krup Fordertechniek, dan Norddeutsche Affinerie AG), Polandia (KGHM Polska Meidz) dan Australia (OAM Australia). Hampir separuh dari luas Pulau Lembata yang 126.638 hektar direncanakan akan ditambang. Namun sejak Desember 2006, rakyat di berbagai desa menolak rencana pertambangan itu, yang dikhawatirkan akan menghancurkan alam dan lingkungan hidup mereka. Kekhawatiran ini antara lain didorong oleh pengalaman mereka dengan tambang baroid yang dilakukan oleh PT Baroid Indonesia dan PT Sumber Alam Lembata. Bertolak dari keprihatinan bersama rakyat di Pulau Lembata, pada tanggal 27 Agustus 2007 terbentuklah Koalisi Jakarta Untuk Tolak Tambang di Lembata, yang beranggotakan beberapa lembaga dan organisasi, yakni JPIC-OFM, PADMA Indonesia, Institute of Ecosoc Rights, PMKRI, Ikatan Mahasiswa Nusa Bunga Jakarta (IMNBJ) dan Keluarga Besar Lembata Jakarta (KBMJ).
• Dalam makalah singkat ini, penulis berusaha menempatkan dukungan dan penolakan terhadap rencana pertambangan emas di Pulau Lembata ini, dalam bingkai ekonomi politik, dibekali teori ketergantungan ilmuwan Brazil kelahiran Jerman, Andre Gunder Frank. Ada dua konsep yang akan dimanfaatkan secara khusus, yakni konsep “kelas komprador domestik” dari Thomas J. Biersteker (1981), yang telah dimodifikasi oleh penulis, serta konsep “de-linking” dari Marta Fuentes dan Andre Gunder Frank (1989).
ASAL USUL KONSEP KELAS KOMPRADOR DOMESTIK
• Dalam literatur teori ketergantungan dipakai istilah strata, kelaskelas, atau kelompok-kelompok “borjuis komprador”, yang kepentingan dan kegiatannya sejajar dengan kepentingan maskapai-maskapai transnasional yang menanamkan modalnya di negara-negara Dunia Ketiga.
• Istilah comprador, yang dalam bahasa Portugis berarti “pembeli”, awalnya digunakan dalam pembahasan tentang perdagangan, dan diterapkan terhadap para pedagang perantara, yang mengurus masuknya para pedagang asing ke pasaran setempat. Dalam kasus investasi masakapai-maskapai minyak asing ke Nigeria, negara kaya minyak di Afrika, ada hubungan segitiga antara maskapaimaskapai transnasional, komprador swasta, dan komprador negara, yakni birokrat-birokrat yang mengfasilitasi masuknya perusahaan-perusahaan asing itu. • (lihat Biersteker 1981).
Dominasi Maskapai-maskapai tambang AS di Nusantara, baik tambang mineral maupun tambang migas
Mulai dari perusahaan tambang tembaga-perak-emas Freeport McMoran di Papua Barat, perusahaan tambang emas Newmont di Minahasa (Sulut) & Sumbawa (NTB), perusahaan tambang migas ChevronTexaco (d/h Caltex) di Riau dan juga menguasai produksi geothermal di Jawa Barat (setelah Unocal lebur ke dalam ChevronTexaco), s/d perusahaan tambang migas ExxonMobile yang sudah menguras Aceh kini diizinkan menghisap kekayaan Blok Cepu. Kegiatan eksplorasi perusahaan-perusahaan tambang itu didukung oleh perusahaan-perusahaan jasa konstruksi industri migas AS, seperti kelompok Halliburton (Kellog, Brown & Root) yang bermitra dengan PT PP Berdikari milik yayasan-yayasan Soeharto, dan McDermott, yang bermitra dengan Bob Hasan, seorang kroni Soeharto.
Kelas Komprador Pertambangan di Nusantara
• • • • Orang-orang Kunci di bidang Pertambangan, di luar Menteri Pertambangan dan aparat formalnya, adalah: – Seksi Ekonomi Kedubes AS, yang merupakan pelobi kepentingan perusahaan-perusahaan migas AS, yang berperan dalam alokasi konsesi migas ConocoPhillips di Celah Timor; – IMA (Indonesian Mining Association), lama dikuasai oleh Benny Wahyu dari INCO; – Jantje Lim Poo Hien (Yani Haryanto), pemimpin Harita Group, kroni mendiang Presiden Soeharto (tetangga di seberang rumah Soeharto di Jl. Cendana), pemilik 10% saham dalam PT Kelian Equatorial Mining (KEM), mitra Rio Tinto & penyandang dana bagi Kent Bruce Crane, bekas operator CIA dan pemasok senjata api kecil bagi pemerintah AS dan negara-negara lain; – Jusuf Merukh, bergelar “Raja Kontrak Karya Emas”, pemegang saham minoritas dalam belasan kontrak karya tambang emas dari Aceh s/d Maluku Tenggara; pernah dekat dengan Megawati Soekarnoputri. – James Riady, boss Lippo Group yang mengfasilitasi masuknya pompa bensin Shell pertama di kompleks Lippo Karawaci.
• •KABINET INDONESIA BERSATU = KABINET PEDAGANG MIGAS BERSATU
Paling tidak tiga orang di antara segelintir decision maker ekonomi Indonesia atau keluarga dekat mereka ikut mengeruk rezeki berlimpah dari minyak dan gas bumi, sebelum mereka bergabung ke dalam Kabinet ‘Indonesia Bersatu’ pimpinan SBY. Di puncak anak tangga tentunya perlu disebutkan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla sendiri, yang keluarganya adalah pemilik Nuansa Group. Menantu JK, Soesanto (“Tono”) Soepardjo, yang menikah dengan putri tertua Jusuf Kalla, Muchlisah Kalla, diserahi memimpin PT Kalla Inti Kalla Nuansa Group, salah satu investor yang tertarik menggarap sumur minyak di Blora, Jawa Tengah. – Di luar urusan Blok Cepu, kelompok Bukaka yang dipimpin oleh Ahmad Kalla, adik kandung sang Wakil Presiden, punya hubungan bisnis dengan salah satu raksasa migas dari AS, ConocoPhillips. Berkongsi dengan perusahaan daerah Batam, PT Bukaka Barelang Energy sedang membangun pipa gas alam senilai 750 juta dollar AS – setara Rp. 7,5 trilyun – untuk menyalurkan gas alam dari Pagar Dewa, Sumatera Selatan, ke Batam. Nama perusahaannya, PT Bukaka Barelang Energy. Gas alamnya sendiri berasal dari ladang ConocoPhillips di Sumatera Selatan.
•Selanjutnya, ‘parade artis migas’ itu meliputi Menko Ekuin Aburizal (“Ical”) Bakrie, Menaker Fahmi Idris, dan mantan Menteri Urusan BUMN Sugiarto. Di masa kediktatoran Soeharto, adikadik Ical ikut membangun perusahaan-perusahaan perdagangan minyak anak-anak dan adik sepupu Soeharto di Hong Kong dan Singapura, di bawah nama “Mindo”, “Permindo”, dan “Terrabo”. Setelah Soeharto dilengserkan oleh gabungan kekuatan IMF, tentara, dan gerakan mahasiswa, Ical dan adik-adiknya melepaskan diri dari kelompok Mindo itu, setelah Pertamina menutup keran perusahaan-perusahaan tersebut. Belum jelas apakah perkongsian antara keluarga Bakrie dan keluarga Soeharto di pabrik pipa PT Seamless Pipe Indonesia Jaya, di perusahaan perkebunan PT Bakrie Sumatra Plantations, dan di Bank Nusa, juga telah berakhir.
•Sebelum berakhirnya era kepresidenan Soeharto,Bakrie Bersaudara sudah berhasil membangun imperium bisnis migas mereka sendiri. Indra Usmansyah Bakrie, adik Ical, tercatat sebagai Presiden Komisaris Kondur Petroleum S.A., perusahaan swasta yang berbasis di Panama. Perusahaan itu dimiliki oleh PT Bakrie Energi, yang 95 % milik Bakrie Bersaudara dan 5% milik Pan Asia, yang pada gilirannya milik Rennier A.R. Latief, CEO dan Presdir Kondur Petroleum SA. Di Indonesia, perusahaan ini bergerak di bawah nama PT Energi Mega Perkasa Tbk., yang sejak tahun 2004 terdaftar di Bursa Efek Jakarta, dan juga dipimpin oleh Renier Latief. Perusahaan ini sekarang menjadi perusahaan migas swasta nasional kedua terbesar setelah Medco Group. Di mancanegara, kendaraan bisnis minyak Bakrie bersaudara ini tetap bergerak dengan nama Kondur Petroleum SA, dan beroperasi di Kroasia, Uzbekistan, Yaman dan Iran. Tapi sebelumnya, sebagai operator Kawasan Production Sharing Selat Malaka (KPSSM), Kondur telah berbisnis dengan Shell, yang menampung minyak mentah itu untuk dimurnikan di Australia. Selain di Kondur Petroleum SA, Bakrie Bersaudara juga memiliki saham dalam PT Bumi Resources Tbk, yang sedang mengalihkan usahanya dari sektor perhotelan ke pertambangan, khususnya pertambangan migas dan bahan baku enerji yang lain. Hampir 22% saham perusahaan itu milik Minarak Labuan, maskapai minyak milik Nirwan Dermawan Bakrie, yang telah menanamkan 33 juta dollar AS di Yaman. Diversifikasi usaha itu dilakukan dengan membeli 40% saham Korean National Oil Corporation (KNOC), yang menanam 4,4 juta dollar AS dalam unit pengolahan minyak TAC Sambidoyong di Cirebon. Selain di Indonesia, KNOC melakukan eksplorasi migas di sebelas negara lain, termasuk Libya, Afrika Selatan, Yaman, Vietnam, Venezuela, Peru dan Argentina. Dominasi ekonomi politik Aburizal Bakrie, walaupun sudah digeser dari Menko Ekuin ke Menko Kesra, dapat kita lihat dari alotnya penyelesaian ganti rugi bagi korban-korban lumpur PT Lapindo Brantas, yang sahamnya sebagian milik PT Energi Mega Persada. Sebagian lagi sahamnya milik kelompok Medco, yang akan dibahas sebentar lagi.
•••
Fahmi Idris, yang sekarang Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, adalah anggota Grup Kodel (“Kelompok Delapan”), yang berkongsi dengan perusahaan migas AS, Golden Spike Energy. Kodel sendiri juga bergerak dalam bidang pertambangan migas, melalui anak perusahaannya, PT FMC Santana Petroleum Equipment Indonesia, yang berkongsi dengan kelompok Nugra Santana milik keluarga Ibnu Sutowo almarhum. Sebelum perombakan kabinet SBY-JK yang terakhir, Sugiarto, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Urusan BUMN, adalah mantan Direktur Keuangan PT Medco Energi Internasional Tbk, perusahaan swasta Indonesia terbesar di bidang migas, milik Arifin Panigoro dan keluarganya. Kelompok Medco itu pada awalnya ikut berkembang karena perkongsiannya dengan besan Soeharto, Eddy Kowara Adiwinata (mertua Siti Hardiyanti Rukmana) dan salah seorang Menteri, yakni Siswono Judohusodo. Ekspansinya ke negara-negara Asia Tengah eks-Uni Soviet dilakukan dengan membonceng ekspansi pengusaha muda yang waktu itu masih termasuk keluarga Cendana, yakni Hashim Djojohadikusumo. Sesudah berakhirnya masa kepresidenan Soeharto, manuvermanuver politik Arifin Panigoro, yang spontan mendukung gerakan reformasi, menyelamatkan kelompok bisnis ini, yang muncul sebagai penyandang dana PDI-P dan berhasil mengorbitkan Megawati Soekarnoputri ke kursi RI-1. Setelah pudarnya bintang Megawati Soekarnoputri, Arifin Panigoro keluar dari PDI-P dan mendirikan partai baru, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) bersama Laksamana Sukardi. Sementara itu, Medco semakin berkembang, dan berusaha melakukan diversifikasi ke sektor pembangkitan tenaga listrik geothermal maupun tenaga nuklir, setelah berkongsi dengan Pertamina menyadap sumber-sumber migas di Sulawesi Tengah dan sedang mengambil ancang-ancang menjadi produsen migas No. 2 terbesar di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dengan demikian, kelompok Medco dan unit-unit migas dari kelompok Bakrie, dapat digolongkan sebagai maskapai transnasional (TNC) juga.
•••• Mantan Menteri Perhubungan & Telekomunikasi yang kini menjabat sebagai Sekretaris Negara, M. Hatta Rajasa, pernah menjadi eksekutif Medco (1980-3), sebelum mendirikan perusahaan konsultan manajemen, PT InterMatrix Bina Indonesia, yang bekerja sama dengan Pertamina dan perusahaan-perusahaan perminyakan asing. Sebagai anak Palembang, Insinyur Pertambangan lulusan ITB itu tidak asing dengan dunia perminyakan. Mertuanya salah seorang staf Stanvac, ketika Hatta jatuh cinta kepada Okke, dokter gigi yang kini sebagai isterinya.
• Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) sendiri, Purnomo Yusgiantoro, adalah Wakil Pemimpin Perusahaan PT Resource Development Consultant, di mana M.S. Kaban, Menteri Kehutanan, menjadi konsultan. Entah apa bidang bisnis PT itu. Namun embelembel “resource development” jatuhnya tidak jauh dari sumber-sumber daya energi juga.
• Bagaimana dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri? Kedekatan SBY dengan Letjen (Purn.) T.B. Silalahi, staf ahli Presiden bidang sekuriti, sangat rentan dimanfaatkan oleh Tomy Winata, pimpinan kelompok Artha Graha. Soalnya, T.B. Silalahi orang kunci di Artha Graha. Kenyataannya, Artha Graha, yang sebagian saham banknya milik Yayasan Kartika Eka Paksi, lengan bisnis TNI/AD, juga ikut mengadu untung di Blok Cepu. Dalam rush para pelaku bisnis top di Indonesia untuk mendapat bagian dalam pengeboran minyak bumi di blok Cepu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, nama Tomy Winata. Selain dia, pengusaha yang sudah menampakkan minatnya untuk ikut menggarap blok Cepu adalah Surya Paloh, melalui perusahaannya, PT Surya Energi Raya, Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar, yang digandeng oleh PT Asri Dharma milik Pemkab Bojonegoro; Dahlan Iskan, boss Grup Jawa Pos; serta Ilham Habibie, putra sulung mantan presiden B.J. Habibie; Letjen (Purn.) A.M. Hendropriyono, mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara); Hartati Murdaya, pimpinan kelompok CCM (Central Cakra Murdaya); Laksdya Sudibyo Rahardjo; serta Susanto (“Tono”) Supardjo, menantu Jusuf Kalla.
••Hampir semua nama itu merupakan tokoh lama di bidang politik dan ekonomi. Sudibyo Raharjo, mantan Dubes R.I. untuk Singapura dan mantan penasehat Otorita Batam, adalah mertua Thareq Kemal Habibie, putra kedua B.J. Habibie. Setahu saya, purnawirawan perwira TNI/AU itu tidak terlalu dekat dengan SBY. Berbeda halnya dengan ‘trio’ Hendropriyono, Tomy Winata, dan Hartati Murdaya. Trio itu punya pertalian bisnis yang berputar di seputar keluarga Hendropriyono. Di masa jayanya sebagai Kepala BIN, Hendropriyono juga masuk dalam kelompok Artha Graha, karena menjadi Presiden Komisaris PT Kia Motors Indonesia (KMI), yang termasuk kelompok Artha Graha. Tomy Winata pribadi, menjadi salah seorang pemegang saham PT KMI. Sedangkan seorang putera Hendro, Ronny Narpatisuta Hendropriyono, menjadi salah seorang direktur PT KMI, bersama Fayakun Muladi, putera mantan Menteri Kehakiman Muladi. Ronny, pada gilirannya, juga komisaris PT Hartadi Inti Plantations, penguasa areal konsesi kelapa sawit seluas 52 ribu hektar di Kabupaten-kabupaten Buol dan Toli-Toli di Sulawesi Tengah. Berarti, keluarga Hendropriyono punya hubungan bisnis yang cukup erat dengan Tomy Winata maupun dengan Hartati Murdaya. Melihat kenyataan itu, boleh jadi trio Hendropriyono-Tomy Winata-Hartati Mudaya akan bekerjasama untuk mendapatkan bagian dari mega proyek blok Cepu itu. Dengan mengungkap semua kaitan bisnis migas keluarga dan konco-konco Presiden, Wakil Presiden dan para Menteri, baik yang sudah terwujud maupun yang sedang dijajagi, kita dapat memahami kepentingan mereka untuk menaikkan harga BBM, yang naik sangat tidak proporsional dengan kemampuan kocek rakyat. Bayangkan saja, harga bahan bakar minyak (BBM), yang rata-rata naik 125%, mulai 1 Oktober lalu, jelas-jelas menunjukkan bias ke arah kepentingan kelas menengah dan atas. Bensin premium ‘hanya’ naik 87,5% dari Rp 2400 menjadi Rp 4500 per liter. Solar naik 105% dari Rp. 2.100 menjadi Rp 4.300 per liter. Sedangkan minyak tanah naik 186% dari Rp 700 menjadi Rp 2000 per liter!
•••
Dari data di atas terlihat bahwa ada Menteri yang bisnis keluarganya punya kaitan dengan Shell, yakni Aburizal (“Ical”) Bakrie. ‘Kebetulan’, Ical juga penyandang dana Freedom Institute, yang ‘kebetulan’ memasang iklan kontroversial di harian Kompas, tanggal 26 Februari tahun lalu. ‘Kebetulan’, Freedom Institute dipimpin oleh Rizal Mallarangeng, yang abangnya, Alfian Mallarangeng, ‘kebetulan’ salah seorang jurubicara Presiden SBY. Lalu, betulkah semua ‘kebetulan’ itu memang ‘kebetulan’? Ataukah tangan-tangan Shell memang begitu kuat mencengkeram ke dalam berbagai celah pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia? Siapa pelobi masuknya Shell ke pemasaran BBM? Ini dapat ditelisik dari lokasi pendirian pompa bensinnya yang pertama, yakni di depan Hypermart Lippo Karawaci di Tangerang. Tanah di mana SPBU Shell itu berdiri, adalah bagian dari kota satelit Lippo Karawaci seluas 500 hektar, milik PT Lippo Karawaci Tbk. James T. Riyadi (lahir di Jakarta, 7 Januari 1957), adalah pemegang saham utama perusahaan itu. Ia memimpin kelompok Lippo di Indonesia dan di AS. Sedangkan ayahnya, Mochtar Riady, memimpin usaha kelompok Lippo di Tiongkok. Kerjasama ayah dan anak ini pernah menimbulkan kontroversi di AS, ketika kelompok Lippo menyumbang satu juta dollar AS untuk dua kali pemilihan Presiden William (Bill) Clinton. Kedekatan mereka dengan Bill Clinton membuahkan hasil yang lumayan menguntungkan: sebuah pembangkit listrik raksasa yang dibangun kelompok Lippo di Tiongkok, mendapat pinjaman dari Bank Exim AS, yang sejatinya hanya meminjamkan dana kepada perusahaan-perusahaan AS.
••Tidak banyak orang yang masih ingat peranan kelompok Lippo dalam skandal korupsi Bill Clinton itu, berkat kelihaian strategi human relations kelompok itu, yang menyasar kelas menengah-atas keturunan Tionghoa yang beragama Kristen. James Riady telah menyumbang pembangunan banyak gereja di berbagai kawasan pemukiman mewah di Indonesia. Kapela (gereja kecil) di kampus UKSW, Salatiga, juga merupakan sumbangan Lippo. Ayah James, Mochtar Riady, bahkan duduk dalam kepengurusan yayasan pengelola perguruan tinggi Kristen itu, yang telah memecat Arief Budiman, cendekiawan keturunan Tionghoa, yang sangat kritis terhadap perkembangan konglomerat di Indonesia. Selain itu, kelompok Lippo dikenal sebagai salah satu donor PDI-P. PDI-P sendiri tidak dapat diharapkan mewakili aspirasi rakyat yang tidak setuju dengan kenaikan harga BBM, maupun penunjukan ExxonMobil sebagai pengelola Blok Cepu. Ini tidak terlepas dari dominannya peranan Megawati Soekarnoputri dan suaminya, Taufik Kiemas, di fraksi terbesar di DPR-RI itu. Padahal keluarga ini merupakan pedagang BBM yang semakin berjaya di wilayah DKI. Dengan memiliki 13 SPBU, keluarga Mega-Taufik sangat berhasil di bidang pemasaran BBM, dan masih terus berniat membuka pompa bensin baru, dengan merek Pertamina maupun yang lain. Akhir tahun lalu, semua SPBU milik keluarga Mega-Taufik sudah berhasil menjual lebih dari 15 ribu liter gabungan premium, pertamax dan solar. Bahkan salah satu di antaranya, yaitu yang berlokasi di kawasan Pluit, Jakarta Barat, mampu menjual 90 ribu liter sehari. Makanya, mereka sangat diuntungkan dengan keputusan pemerintah menaikkan harga BBM tahun lalu. Padahal, keluarga Taufik Kiemas bukan satu-satunya anggota parlemen yang berjualan minyak. Lalu, untuk apa mereka mau menentang masuknya maskapai migas asing, mulai dari hulu sampai ke hilir?
••POSISI KELAS KOMPRADOR DOMESTIK DALAM SIRKULASI KEKUATAN TEORI KETERGANTUNGAN
Cara-cara “de-linking”
• Andre Gunder Frank dan kolaboratornya, Marta Fuentes, optimis melihat dampak politis gerakan lingkungan terhadap proyek-proyek pembangunan skala besar yang sangat merusak lingkungan di negara-negara Selatan, seperti Brazil. Dalam tesis ketujuh dari tulisan mereka tentang sepuluh tesis gerakan-gerakan kemasyarakatan (social movements), mereka menyuarakan harapan bagi negara-negara belahan bumi Selatan. Negara-negara Selatan tidak perlu membebek pada pola pembangunan negaranegara Utara, karena gerakan-gerakan kemasyarakatan dapat “melepas kopling” (delinking) negara-negara Selatan dari negaranegara Utara. Bahkan, menurut Fuentes dan Frank, gerakan-gerakan ini mengfasilitasi transisi negara-negara Selatan menuju sosialisme.
• Pertanyaannnya adalah: bagaimana cara “melepas kopling” itu? Di samping lewat perjuangan bersenjata, sebagaimana yang dilakukan gerakan Maois di Nepal, delinking dari sistem kapitalisme dunia dapat diperjuangkan oleh gerakan-gerakan kemasyarakatan melalui tiga mekanisme: pasar, hukum, dan parlemen. (perlawanan bersenjata?)
•Contoh penggunaan mekanisme hukum adalah gugatan Oceanic Oil, perusahaan migas yang berbasis di Denver, Colorado, AS, terhadap ConocoPhillips. Oceanic Oil menuduh ConocoPhillips “mencuri” konsesi minyaknya di Laut Timor dengan menyogok pejabat Pertamina (ketika Timor Leste masih dijajah Indonesia), mantan PM Timor Leste, Mar’ie Alkatiri serta anggota kabinet dan parlemen yang berasal dari partai Fretilin. Sedangkan contoh penggunaan jalur parlementer adalah pembatalan proyek pembukaan hutan Amazonia untuk proyek Polonoro-Este di Brazil serta penurunan target transmigrasi di Indonesia demi penyelamatan hutan dan penduduk asli Papua. Ini dimungkinkan berkat gencarnya kampanye selama tiga tahun (1985-87), di mana para aktivis ornop Brazil dan Indonesia bersama rekannya dari AS melobi Ketua Komisi Anggaran Senat AS, untuk memotong alokasi dana bagi proyek Polonoro-este dan transmigrasi. Berbagai mekanisme “de-linking” itu, merupakan kekuatan pengimbang bagi kelas komprador domestik, seperti yang tergambar dalam sirkulasi kekuatan dalam teori ketergantungan Andre Gunder Frank (lihat Skema sebelumnya).
••KESIMPULAN
• Dalam setiap kegiatan advokasi pertambangan skala besar, dua perangkat mekanisme perlu dipelajari, yakni, pertama, kelas komprador domestik yang berada di balik rencana investasi tambang raksasa itu; dan kedua, mekanisme-mekanisme “delinking” yang dapat digunakan untuk memperjuangkan pembatalan rencana investasi itu.
• Misalnya, menghadapi rencana investasi tambang emas bermodal Jerman dan Polandia di Pulau Lembata, yang diperantarai oleh Jusuf Merukh, pengidentifikasian mitra-mitra asing maupun broker nasional itu dapat membantu mengarahkan advokasi anti tambang itu dengan lebih cermat dan efektif. Advokasi anti tambang itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan media, dapat juga dengan mengajak kerjasama Partai Hijau dan gerakan lingkungan di Jerman, atau dengan mengajak kerjasama Gereja Katolik di Polandia, yang punya sejarah dalam penyebaran agama Katolik di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kepustakaan:
- Aditjondro, George Junus (2002). “Burung-burung Kondor Beterbangan di atas Buni Sulawesi: Kapitalisme Ekstraktif, Imperialisme Mineral, dan peranan Kelas Komprador Domestik dalam Industri Pertambangan di Indonesia.” Kata Pengantar dalam Arianto Sangaji, Buruk Indo, Rakyat Digusur: Ekonomi Politik Pertambangan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. Ix-xxii. ————– (2005).
- Disandera kabinet pedagang migas: Membongkar kepentingan-kepentingan domestik dan internasional di balik kenaikan harga BBM di Indonesia. Makalah untuk Diskusi Publik “Refleksi Sosial Agamawan terhadap Kenaikan Harga BBM di Indonesia”, yang diselenggarakan Centre for the Study of Religious and Socio-Cultural Studies (CRSD) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Rabu, 23 November. ————– (2006).
- Penggadaian Aset Migas Rakyat, dari Hilir Balik ke Hulu: Dari Pompa Bensin Shell sampai ke penguasaan Blok Cepu oleh Exxon Mobil. Makalah pengantar diskusi untuk Seminar Nasional “Nasionalisasi Aset Untuk Kesejahteraan Rakyat”, yang diselenggarakan BEM Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), hari Kamis, 11 Mei. Biersteker, Thomas J. (1981). Distortion of Development? Contending Perspectives on the Multinational Corporation. Cambridge: The MIT Press. Frank, Andre Gunder (1974). Lumpenbourgeoisie: Lumpendevelopment: Dependence, class and politics in Latin America. New York: Monthly Review Press. ——– (1982).
- On capitalist underdevelopment. Bombay: Oxford University Press. Fuentes, Marta & Andre Gunder Frank (1989). “Ten theses on social movement,” World Development, 17 (2), hal. 179-191. JPIC-OFM (2007). Membaca Penolakan Warga atas Rencana Pertambangan Emas di Kabupaten Lembata – NTT.
Kertas Posisi JPICOFM. Jakarta: Sekretariat JPIC-OFM. •
• Sejak bulan Mei 2005, pengusaha asal Rote (NTT), Jusuf Merukh berusaha merintis pertambangan emas di Pulau Lembata, Flores Timur, melalui perusahaannya, PT Pukuafu Indah. Untuk itu, “raja kontrak karya pertambangan emas” yang memiliki saham di belasan perusahaan tambang yang beroperasi dari Aceh sampai ke Pulau Wetar, Maluku Tenggara, menggandeng beberapa mitra dari Jerman (Kupfer Produkte GmBH; Thyssen Krup Fordertechniek, dan Norddeutsche Affinerie AG), Polandia (KGHM Polska Meidz) dan Australia (OAM Australia). Hampir separuh dari luas Pulau Lembata yang 126.638 hektar direncanakan akan ditambang. Namun sejak Desember 2006, rakyat di berbagai desa menolak rencana pertambangan itu, yang dikhawatirkan akan menghancurkan alam dan lingkungan hidup mereka. Kekhawatiran ini antara lain didorong oleh pengalaman mereka dengan tambang baroid yang dilakukan oleh PT Baroid Indonesia dan PT Sumber Alam Lembata. Bertolak dari keprihatinan bersama rakyat di Pulau Lembata, pada tanggal 27 Agustus 2007 terbentuklah Koalisi Jakarta Untuk Tolak Tambang di Lembata, yang beranggotakan beberapa lembaga dan organisasi, yakni JPIC-OFM, PADMA Indonesia, Institute of Ecosoc Rights, PMKRI, Ikatan Mahasiswa Nusa Bunga Jakarta (IMNBJ) dan Keluarga Besar Lembata Jakarta (KBMJ).
• Dalam makalah singkat ini, penulis berusaha menempatkan dukungan dan penolakan terhadap rencana pertambangan emas di Pulau Lembata ini, dalam bingkai ekonomi politik, dibekali teori ketergantungan ilmuwan Brazil kelahiran Jerman, Andre Gunder Frank. Ada dua konsep yang akan dimanfaatkan secara khusus, yakni konsep “kelas komprador domestik” dari Thomas J. Biersteker (1981), yang telah dimodifikasi oleh penulis, serta konsep “de-linking” dari Marta Fuentes dan Andre Gunder Frank (1989).
ASAL USUL KONSEP KELAS KOMPRADOR DOMESTIK
• Dalam literatur teori ketergantungan dipakai istilah strata, kelaskelas, atau kelompok-kelompok “borjuis komprador”, yang kepentingan dan kegiatannya sejajar dengan kepentingan maskapai-maskapai transnasional yang menanamkan modalnya di negara-negara Dunia Ketiga.
• Istilah comprador, yang dalam bahasa Portugis berarti “pembeli”, awalnya digunakan dalam pembahasan tentang perdagangan, dan diterapkan terhadap para pedagang perantara, yang mengurus masuknya para pedagang asing ke pasaran setempat. Dalam kasus investasi masakapai-maskapai minyak asing ke Nigeria, negara kaya minyak di Afrika, ada hubungan segitiga antara maskapaimaskapai transnasional, komprador swasta, dan komprador negara, yakni birokrat-birokrat yang mengfasilitasi masuknya perusahaan-perusahaan asing itu. • (lihat Biersteker 1981).
Dominasi Maskapai-maskapai tambang AS di Nusantara, baik tambang mineral maupun tambang migas
Mulai dari perusahaan tambang tembaga-perak-emas Freeport McMoran di Papua Barat, perusahaan tambang emas Newmont di Minahasa (Sulut) & Sumbawa (NTB), perusahaan tambang migas ChevronTexaco (d/h Caltex) di Riau dan juga menguasai produksi geothermal di Jawa Barat (setelah Unocal lebur ke dalam ChevronTexaco), s/d perusahaan tambang migas ExxonMobile yang sudah menguras Aceh kini diizinkan menghisap kekayaan Blok Cepu. Kegiatan eksplorasi perusahaan-perusahaan tambang itu didukung oleh perusahaan-perusahaan jasa konstruksi industri migas AS, seperti kelompok Halliburton (Kellog, Brown & Root) yang bermitra dengan PT PP Berdikari milik yayasan-yayasan Soeharto, dan McDermott, yang bermitra dengan Bob Hasan, seorang kroni Soeharto.
Kelas Komprador Pertambangan di Nusantara
• • • • Orang-orang Kunci di bidang Pertambangan, di luar Menteri Pertambangan dan aparat formalnya, adalah: – Seksi Ekonomi Kedubes AS, yang merupakan pelobi kepentingan perusahaan-perusahaan migas AS, yang berperan dalam alokasi konsesi migas ConocoPhillips di Celah Timor; – IMA (Indonesian Mining Association), lama dikuasai oleh Benny Wahyu dari INCO; – Jantje Lim Poo Hien (Yani Haryanto), pemimpin Harita Group, kroni mendiang Presiden Soeharto (tetangga di seberang rumah Soeharto di Jl. Cendana), pemilik 10% saham dalam PT Kelian Equatorial Mining (KEM), mitra Rio Tinto & penyandang dana bagi Kent Bruce Crane, bekas operator CIA dan pemasok senjata api kecil bagi pemerintah AS dan negara-negara lain; – Jusuf Merukh, bergelar “Raja Kontrak Karya Emas”, pemegang saham minoritas dalam belasan kontrak karya tambang emas dari Aceh s/d Maluku Tenggara; pernah dekat dengan Megawati Soekarnoputri. – James Riady, boss Lippo Group yang mengfasilitasi masuknya pompa bensin Shell pertama di kompleks Lippo Karawaci.
• •KABINET INDONESIA BERSATU = KABINET PEDAGANG MIGAS BERSATU
Paling tidak tiga orang di antara segelintir decision maker ekonomi Indonesia atau keluarga dekat mereka ikut mengeruk rezeki berlimpah dari minyak dan gas bumi, sebelum mereka bergabung ke dalam Kabinet ‘Indonesia Bersatu’ pimpinan SBY. Di puncak anak tangga tentunya perlu disebutkan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla sendiri, yang keluarganya adalah pemilik Nuansa Group. Menantu JK, Soesanto (“Tono”) Soepardjo, yang menikah dengan putri tertua Jusuf Kalla, Muchlisah Kalla, diserahi memimpin PT Kalla Inti Kalla Nuansa Group, salah satu investor yang tertarik menggarap sumur minyak di Blora, Jawa Tengah. – Di luar urusan Blok Cepu, kelompok Bukaka yang dipimpin oleh Ahmad Kalla, adik kandung sang Wakil Presiden, punya hubungan bisnis dengan salah satu raksasa migas dari AS, ConocoPhillips. Berkongsi dengan perusahaan daerah Batam, PT Bukaka Barelang Energy sedang membangun pipa gas alam senilai 750 juta dollar AS – setara Rp. 7,5 trilyun – untuk menyalurkan gas alam dari Pagar Dewa, Sumatera Selatan, ke Batam. Nama perusahaannya, PT Bukaka Barelang Energy. Gas alamnya sendiri berasal dari ladang ConocoPhillips di Sumatera Selatan.
•Selanjutnya, ‘parade artis migas’ itu meliputi Menko Ekuin Aburizal (“Ical”) Bakrie, Menaker Fahmi Idris, dan mantan Menteri Urusan BUMN Sugiarto. Di masa kediktatoran Soeharto, adikadik Ical ikut membangun perusahaan-perusahaan perdagangan minyak anak-anak dan adik sepupu Soeharto di Hong Kong dan Singapura, di bawah nama “Mindo”, “Permindo”, dan “Terrabo”. Setelah Soeharto dilengserkan oleh gabungan kekuatan IMF, tentara, dan gerakan mahasiswa, Ical dan adik-adiknya melepaskan diri dari kelompok Mindo itu, setelah Pertamina menutup keran perusahaan-perusahaan tersebut. Belum jelas apakah perkongsian antara keluarga Bakrie dan keluarga Soeharto di pabrik pipa PT Seamless Pipe Indonesia Jaya, di perusahaan perkebunan PT Bakrie Sumatra Plantations, dan di Bank Nusa, juga telah berakhir.
•Sebelum berakhirnya era kepresidenan Soeharto,Bakrie Bersaudara sudah berhasil membangun imperium bisnis migas mereka sendiri. Indra Usmansyah Bakrie, adik Ical, tercatat sebagai Presiden Komisaris Kondur Petroleum S.A., perusahaan swasta yang berbasis di Panama. Perusahaan itu dimiliki oleh PT Bakrie Energi, yang 95 % milik Bakrie Bersaudara dan 5% milik Pan Asia, yang pada gilirannya milik Rennier A.R. Latief, CEO dan Presdir Kondur Petroleum SA. Di Indonesia, perusahaan ini bergerak di bawah nama PT Energi Mega Perkasa Tbk., yang sejak tahun 2004 terdaftar di Bursa Efek Jakarta, dan juga dipimpin oleh Renier Latief. Perusahaan ini sekarang menjadi perusahaan migas swasta nasional kedua terbesar setelah Medco Group. Di mancanegara, kendaraan bisnis minyak Bakrie bersaudara ini tetap bergerak dengan nama Kondur Petroleum SA, dan beroperasi di Kroasia, Uzbekistan, Yaman dan Iran. Tapi sebelumnya, sebagai operator Kawasan Production Sharing Selat Malaka (KPSSM), Kondur telah berbisnis dengan Shell, yang menampung minyak mentah itu untuk dimurnikan di Australia. Selain di Kondur Petroleum SA, Bakrie Bersaudara juga memiliki saham dalam PT Bumi Resources Tbk, yang sedang mengalihkan usahanya dari sektor perhotelan ke pertambangan, khususnya pertambangan migas dan bahan baku enerji yang lain. Hampir 22% saham perusahaan itu milik Minarak Labuan, maskapai minyak milik Nirwan Dermawan Bakrie, yang telah menanamkan 33 juta dollar AS di Yaman. Diversifikasi usaha itu dilakukan dengan membeli 40% saham Korean National Oil Corporation (KNOC), yang menanam 4,4 juta dollar AS dalam unit pengolahan minyak TAC Sambidoyong di Cirebon. Selain di Indonesia, KNOC melakukan eksplorasi migas di sebelas negara lain, termasuk Libya, Afrika Selatan, Yaman, Vietnam, Venezuela, Peru dan Argentina. Dominasi ekonomi politik Aburizal Bakrie, walaupun sudah digeser dari Menko Ekuin ke Menko Kesra, dapat kita lihat dari alotnya penyelesaian ganti rugi bagi korban-korban lumpur PT Lapindo Brantas, yang sahamnya sebagian milik PT Energi Mega Persada. Sebagian lagi sahamnya milik kelompok Medco, yang akan dibahas sebentar lagi.
•••
Fahmi Idris, yang sekarang Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, adalah anggota Grup Kodel (“Kelompok Delapan”), yang berkongsi dengan perusahaan migas AS, Golden Spike Energy. Kodel sendiri juga bergerak dalam bidang pertambangan migas, melalui anak perusahaannya, PT FMC Santana Petroleum Equipment Indonesia, yang berkongsi dengan kelompok Nugra Santana milik keluarga Ibnu Sutowo almarhum. Sebelum perombakan kabinet SBY-JK yang terakhir, Sugiarto, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Urusan BUMN, adalah mantan Direktur Keuangan PT Medco Energi Internasional Tbk, perusahaan swasta Indonesia terbesar di bidang migas, milik Arifin Panigoro dan keluarganya. Kelompok Medco itu pada awalnya ikut berkembang karena perkongsiannya dengan besan Soeharto, Eddy Kowara Adiwinata (mertua Siti Hardiyanti Rukmana) dan salah seorang Menteri, yakni Siswono Judohusodo. Ekspansinya ke negara-negara Asia Tengah eks-Uni Soviet dilakukan dengan membonceng ekspansi pengusaha muda yang waktu itu masih termasuk keluarga Cendana, yakni Hashim Djojohadikusumo. Sesudah berakhirnya masa kepresidenan Soeharto, manuvermanuver politik Arifin Panigoro, yang spontan mendukung gerakan reformasi, menyelamatkan kelompok bisnis ini, yang muncul sebagai penyandang dana PDI-P dan berhasil mengorbitkan Megawati Soekarnoputri ke kursi RI-1. Setelah pudarnya bintang Megawati Soekarnoputri, Arifin Panigoro keluar dari PDI-P dan mendirikan partai baru, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) bersama Laksamana Sukardi. Sementara itu, Medco semakin berkembang, dan berusaha melakukan diversifikasi ke sektor pembangkitan tenaga listrik geothermal maupun tenaga nuklir, setelah berkongsi dengan Pertamina menyadap sumber-sumber migas di Sulawesi Tengah dan sedang mengambil ancang-ancang menjadi produsen migas No. 2 terbesar di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dengan demikian, kelompok Medco dan unit-unit migas dari kelompok Bakrie, dapat digolongkan sebagai maskapai transnasional (TNC) juga.
•••• Mantan Menteri Perhubungan & Telekomunikasi yang kini menjabat sebagai Sekretaris Negara, M. Hatta Rajasa, pernah menjadi eksekutif Medco (1980-3), sebelum mendirikan perusahaan konsultan manajemen, PT InterMatrix Bina Indonesia, yang bekerja sama dengan Pertamina dan perusahaan-perusahaan perminyakan asing. Sebagai anak Palembang, Insinyur Pertambangan lulusan ITB itu tidak asing dengan dunia perminyakan. Mertuanya salah seorang staf Stanvac, ketika Hatta jatuh cinta kepada Okke, dokter gigi yang kini sebagai isterinya.
• Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) sendiri, Purnomo Yusgiantoro, adalah Wakil Pemimpin Perusahaan PT Resource Development Consultant, di mana M.S. Kaban, Menteri Kehutanan, menjadi konsultan. Entah apa bidang bisnis PT itu. Namun embelembel “resource development” jatuhnya tidak jauh dari sumber-sumber daya energi juga.
• Bagaimana dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri? Kedekatan SBY dengan Letjen (Purn.) T.B. Silalahi, staf ahli Presiden bidang sekuriti, sangat rentan dimanfaatkan oleh Tomy Winata, pimpinan kelompok Artha Graha. Soalnya, T.B. Silalahi orang kunci di Artha Graha. Kenyataannya, Artha Graha, yang sebagian saham banknya milik Yayasan Kartika Eka Paksi, lengan bisnis TNI/AD, juga ikut mengadu untung di Blok Cepu. Dalam rush para pelaku bisnis top di Indonesia untuk mendapat bagian dalam pengeboran minyak bumi di blok Cepu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, nama Tomy Winata. Selain dia, pengusaha yang sudah menampakkan minatnya untuk ikut menggarap blok Cepu adalah Surya Paloh, melalui perusahaannya, PT Surya Energi Raya, Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar, yang digandeng oleh PT Asri Dharma milik Pemkab Bojonegoro; Dahlan Iskan, boss Grup Jawa Pos; serta Ilham Habibie, putra sulung mantan presiden B.J. Habibie; Letjen (Purn.) A.M. Hendropriyono, mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara); Hartati Murdaya, pimpinan kelompok CCM (Central Cakra Murdaya); Laksdya Sudibyo Rahardjo; serta Susanto (“Tono”) Supardjo, menantu Jusuf Kalla.
••Hampir semua nama itu merupakan tokoh lama di bidang politik dan ekonomi. Sudibyo Raharjo, mantan Dubes R.I. untuk Singapura dan mantan penasehat Otorita Batam, adalah mertua Thareq Kemal Habibie, putra kedua B.J. Habibie. Setahu saya, purnawirawan perwira TNI/AU itu tidak terlalu dekat dengan SBY. Berbeda halnya dengan ‘trio’ Hendropriyono, Tomy Winata, dan Hartati Murdaya. Trio itu punya pertalian bisnis yang berputar di seputar keluarga Hendropriyono. Di masa jayanya sebagai Kepala BIN, Hendropriyono juga masuk dalam kelompok Artha Graha, karena menjadi Presiden Komisaris PT Kia Motors Indonesia (KMI), yang termasuk kelompok Artha Graha. Tomy Winata pribadi, menjadi salah seorang pemegang saham PT KMI. Sedangkan seorang putera Hendro, Ronny Narpatisuta Hendropriyono, menjadi salah seorang direktur PT KMI, bersama Fayakun Muladi, putera mantan Menteri Kehakiman Muladi. Ronny, pada gilirannya, juga komisaris PT Hartadi Inti Plantations, penguasa areal konsesi kelapa sawit seluas 52 ribu hektar di Kabupaten-kabupaten Buol dan Toli-Toli di Sulawesi Tengah. Berarti, keluarga Hendropriyono punya hubungan bisnis yang cukup erat dengan Tomy Winata maupun dengan Hartati Murdaya. Melihat kenyataan itu, boleh jadi trio Hendropriyono-Tomy Winata-Hartati Mudaya akan bekerjasama untuk mendapatkan bagian dari mega proyek blok Cepu itu. Dengan mengungkap semua kaitan bisnis migas keluarga dan konco-konco Presiden, Wakil Presiden dan para Menteri, baik yang sudah terwujud maupun yang sedang dijajagi, kita dapat memahami kepentingan mereka untuk menaikkan harga BBM, yang naik sangat tidak proporsional dengan kemampuan kocek rakyat. Bayangkan saja, harga bahan bakar minyak (BBM), yang rata-rata naik 125%, mulai 1 Oktober lalu, jelas-jelas menunjukkan bias ke arah kepentingan kelas menengah dan atas. Bensin premium ‘hanya’ naik 87,5% dari Rp 2400 menjadi Rp 4500 per liter. Solar naik 105% dari Rp. 2.100 menjadi Rp 4.300 per liter. Sedangkan minyak tanah naik 186% dari Rp 700 menjadi Rp 2000 per liter!
•••
Dari data di atas terlihat bahwa ada Menteri yang bisnis keluarganya punya kaitan dengan Shell, yakni Aburizal (“Ical”) Bakrie. ‘Kebetulan’, Ical juga penyandang dana Freedom Institute, yang ‘kebetulan’ memasang iklan kontroversial di harian Kompas, tanggal 26 Februari tahun lalu. ‘Kebetulan’, Freedom Institute dipimpin oleh Rizal Mallarangeng, yang abangnya, Alfian Mallarangeng, ‘kebetulan’ salah seorang jurubicara Presiden SBY. Lalu, betulkah semua ‘kebetulan’ itu memang ‘kebetulan’? Ataukah tangan-tangan Shell memang begitu kuat mencengkeram ke dalam berbagai celah pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia? Siapa pelobi masuknya Shell ke pemasaran BBM? Ini dapat ditelisik dari lokasi pendirian pompa bensinnya yang pertama, yakni di depan Hypermart Lippo Karawaci di Tangerang. Tanah di mana SPBU Shell itu berdiri, adalah bagian dari kota satelit Lippo Karawaci seluas 500 hektar, milik PT Lippo Karawaci Tbk. James T. Riyadi (lahir di Jakarta, 7 Januari 1957), adalah pemegang saham utama perusahaan itu. Ia memimpin kelompok Lippo di Indonesia dan di AS. Sedangkan ayahnya, Mochtar Riady, memimpin usaha kelompok Lippo di Tiongkok. Kerjasama ayah dan anak ini pernah menimbulkan kontroversi di AS, ketika kelompok Lippo menyumbang satu juta dollar AS untuk dua kali pemilihan Presiden William (Bill) Clinton. Kedekatan mereka dengan Bill Clinton membuahkan hasil yang lumayan menguntungkan: sebuah pembangkit listrik raksasa yang dibangun kelompok Lippo di Tiongkok, mendapat pinjaman dari Bank Exim AS, yang sejatinya hanya meminjamkan dana kepada perusahaan-perusahaan AS.
••Tidak banyak orang yang masih ingat peranan kelompok Lippo dalam skandal korupsi Bill Clinton itu, berkat kelihaian strategi human relations kelompok itu, yang menyasar kelas menengah-atas keturunan Tionghoa yang beragama Kristen. James Riady telah menyumbang pembangunan banyak gereja di berbagai kawasan pemukiman mewah di Indonesia. Kapela (gereja kecil) di kampus UKSW, Salatiga, juga merupakan sumbangan Lippo. Ayah James, Mochtar Riady, bahkan duduk dalam kepengurusan yayasan pengelola perguruan tinggi Kristen itu, yang telah memecat Arief Budiman, cendekiawan keturunan Tionghoa, yang sangat kritis terhadap perkembangan konglomerat di Indonesia. Selain itu, kelompok Lippo dikenal sebagai salah satu donor PDI-P. PDI-P sendiri tidak dapat diharapkan mewakili aspirasi rakyat yang tidak setuju dengan kenaikan harga BBM, maupun penunjukan ExxonMobil sebagai pengelola Blok Cepu. Ini tidak terlepas dari dominannya peranan Megawati Soekarnoputri dan suaminya, Taufik Kiemas, di fraksi terbesar di DPR-RI itu. Padahal keluarga ini merupakan pedagang BBM yang semakin berjaya di wilayah DKI. Dengan memiliki 13 SPBU, keluarga Mega-Taufik sangat berhasil di bidang pemasaran BBM, dan masih terus berniat membuka pompa bensin baru, dengan merek Pertamina maupun yang lain. Akhir tahun lalu, semua SPBU milik keluarga Mega-Taufik sudah berhasil menjual lebih dari 15 ribu liter gabungan premium, pertamax dan solar. Bahkan salah satu di antaranya, yaitu yang berlokasi di kawasan Pluit, Jakarta Barat, mampu menjual 90 ribu liter sehari. Makanya, mereka sangat diuntungkan dengan keputusan pemerintah menaikkan harga BBM tahun lalu. Padahal, keluarga Taufik Kiemas bukan satu-satunya anggota parlemen yang berjualan minyak. Lalu, untuk apa mereka mau menentang masuknya maskapai migas asing, mulai dari hulu sampai ke hilir?
••POSISI KELAS KOMPRADOR DOMESTIK DALAM SIRKULASI KEKUATAN TEORI KETERGANTUNGAN
Cara-cara “de-linking”
• Andre Gunder Frank dan kolaboratornya, Marta Fuentes, optimis melihat dampak politis gerakan lingkungan terhadap proyek-proyek pembangunan skala besar yang sangat merusak lingkungan di negara-negara Selatan, seperti Brazil. Dalam tesis ketujuh dari tulisan mereka tentang sepuluh tesis gerakan-gerakan kemasyarakatan (social movements), mereka menyuarakan harapan bagi negara-negara belahan bumi Selatan. Negara-negara Selatan tidak perlu membebek pada pola pembangunan negaranegara Utara, karena gerakan-gerakan kemasyarakatan dapat “melepas kopling” (delinking) negara-negara Selatan dari negaranegara Utara. Bahkan, menurut Fuentes dan Frank, gerakan-gerakan ini mengfasilitasi transisi negara-negara Selatan menuju sosialisme.
• Pertanyaannnya adalah: bagaimana cara “melepas kopling” itu? Di samping lewat perjuangan bersenjata, sebagaimana yang dilakukan gerakan Maois di Nepal, delinking dari sistem kapitalisme dunia dapat diperjuangkan oleh gerakan-gerakan kemasyarakatan melalui tiga mekanisme: pasar, hukum, dan parlemen. (perlawanan bersenjata?)
•Contoh penggunaan mekanisme hukum adalah gugatan Oceanic Oil, perusahaan migas yang berbasis di Denver, Colorado, AS, terhadap ConocoPhillips. Oceanic Oil menuduh ConocoPhillips “mencuri” konsesi minyaknya di Laut Timor dengan menyogok pejabat Pertamina (ketika Timor Leste masih dijajah Indonesia), mantan PM Timor Leste, Mar’ie Alkatiri serta anggota kabinet dan parlemen yang berasal dari partai Fretilin. Sedangkan contoh penggunaan jalur parlementer adalah pembatalan proyek pembukaan hutan Amazonia untuk proyek Polonoro-Este di Brazil serta penurunan target transmigrasi di Indonesia demi penyelamatan hutan dan penduduk asli Papua. Ini dimungkinkan berkat gencarnya kampanye selama tiga tahun (1985-87), di mana para aktivis ornop Brazil dan Indonesia bersama rekannya dari AS melobi Ketua Komisi Anggaran Senat AS, untuk memotong alokasi dana bagi proyek Polonoro-este dan transmigrasi. Berbagai mekanisme “de-linking” itu, merupakan kekuatan pengimbang bagi kelas komprador domestik, seperti yang tergambar dalam sirkulasi kekuatan dalam teori ketergantungan Andre Gunder Frank (lihat Skema sebelumnya).
••KESIMPULAN
• Dalam setiap kegiatan advokasi pertambangan skala besar, dua perangkat mekanisme perlu dipelajari, yakni, pertama, kelas komprador domestik yang berada di balik rencana investasi tambang raksasa itu; dan kedua, mekanisme-mekanisme “delinking” yang dapat digunakan untuk memperjuangkan pembatalan rencana investasi itu.
• Misalnya, menghadapi rencana investasi tambang emas bermodal Jerman dan Polandia di Pulau Lembata, yang diperantarai oleh Jusuf Merukh, pengidentifikasian mitra-mitra asing maupun broker nasional itu dapat membantu mengarahkan advokasi anti tambang itu dengan lebih cermat dan efektif. Advokasi anti tambang itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan media, dapat juga dengan mengajak kerjasama Partai Hijau dan gerakan lingkungan di Jerman, atau dengan mengajak kerjasama Gereja Katolik di Polandia, yang punya sejarah dalam penyebaran agama Katolik di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kepustakaan:
- Aditjondro, George Junus (2002). “Burung-burung Kondor Beterbangan di atas Buni Sulawesi: Kapitalisme Ekstraktif, Imperialisme Mineral, dan peranan Kelas Komprador Domestik dalam Industri Pertambangan di Indonesia.” Kata Pengantar dalam Arianto Sangaji, Buruk Indo, Rakyat Digusur: Ekonomi Politik Pertambangan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. Ix-xxii. ————– (2005).
- Disandera kabinet pedagang migas: Membongkar kepentingan-kepentingan domestik dan internasional di balik kenaikan harga BBM di Indonesia. Makalah untuk Diskusi Publik “Refleksi Sosial Agamawan terhadap Kenaikan Harga BBM di Indonesia”, yang diselenggarakan Centre for the Study of Religious and Socio-Cultural Studies (CRSD) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Rabu, 23 November. ————– (2006).
- Penggadaian Aset Migas Rakyat, dari Hilir Balik ke Hulu: Dari Pompa Bensin Shell sampai ke penguasaan Blok Cepu oleh Exxon Mobil. Makalah pengantar diskusi untuk Seminar Nasional “Nasionalisasi Aset Untuk Kesejahteraan Rakyat”, yang diselenggarakan BEM Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), hari Kamis, 11 Mei. Biersteker, Thomas J. (1981). Distortion of Development? Contending Perspectives on the Multinational Corporation. Cambridge: The MIT Press. Frank, Andre Gunder (1974). Lumpenbourgeoisie: Lumpendevelopment: Dependence, class and politics in Latin America. New York: Monthly Review Press. ——– (1982).
- On capitalist underdevelopment. Bombay: Oxford University Press. Fuentes, Marta & Andre Gunder Frank (1989). “Ten theses on social movement,” World Development, 17 (2), hal. 179-191. JPIC-OFM (2007). Membaca Penolakan Warga atas Rencana Pertambangan Emas di Kabupaten Lembata – NTT.
Kertas Posisi JPICOFM. Jakarta: Sekretariat JPIC-OFM. •
Selasa, 18 November 2014
Penguasa MIgas Indonesia
Siapa penguasa minyak dan gas (migas) di Indonesia? Pemerintah
Indonesia ataukah perusahaan asing? Jika pertanyaan tersebut ditujukan
kepada Asosiasi Perminyakan Indonesia (API), maka jawabnya adalah
Pemerintah Indonesia-lah yang mendominasi migas.
Bahkan menurut Presiden API Elisabeth Proust, industri migas telah memberi kontribusi signifikan ke Indonesia. Di antaranya, menghasilkan lebih dari 25 persen total pendapatan pemerintah, yakni sekitar 35 milyar dollar AS berupa pembayaran pajak dan royalti pada tahun 2011. “Yang terjadi saat ini adalah ada salah persepsi publik bahwa industri migas (minyak dan gas) didominasi perusahaan asing,” katanya mengelak.
Selain itu, Elisabeth beralasan, industri migas juga memberi kontribusi hingga 7 persen dari pendapatan domestik bruto. Bahkan menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 30.000 pekerja langsung serta lebih dari 300.000 pekerja tidak langsung. ”Industri migas juga membelanjakan ratusan juta dolar AS per tahun untuk peralatan dan jasa serta mengembangkan infrastruktur utama untuk konsumsi energi domestik,” ujarnya.
Elisabeth boleh saja berargumen membela kepentingan asing. Namun jika melihat fakta, data menyebutkan justru hampir 74 persen kegiatan usaha hulu atau pengeboran minyak dan gas (migas) di Indonesia dikuasai perusahaan asing. Perusahaan nasional cuma menguasai 22 persen dan sisanya konsorsium asing dan lokal.
Sementara untuk kegiatan hilir migas perusahaan nasional masih dominan dengan penguasaan sebesar 98 persen. Adapun perusahaan asing menguasai sisanya. Ini wajar karena memang SPBU di Indonesia masih dikuasai Pertamina.
Di Indonesia ada 60 kontraktor Migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok. Pertama, Super Major yang terdiri dari ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen Indonesia. Kedua, Major (Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen). Ketiga, perusahaan independen (menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen).
Dengan data tersebut, terbukti bahwa perusahaan multinasional-lah yang menguasai migas di Indonesia. Karena itu jangan heran, jika negeri dengan sumber daya alam migas yang berlimpah ruah, justru meradang saat harga migas di pasar internasional melonjak.
Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) yang berpatokan dengan harga minyak dunia ikut tergoncang. Karena itu setiap harga minyak dunia naik, selalu ada pemikiran untuk menaikkan harga BBM subsidi. Alasannya, karena beban subsidi di APBN terlalu berat. Semua itu karena migas yang ada di Indonesia ‘mengalir’ ke luar negeri.
Padahal di Indonesia terdapat sekitar 60 cekungan minyak dan gas bumi. Dari jumlah tersebut baru sekitar 38 yang telah dieksplorasi. Dalam cekungan tersebut terdapat sumberdaya sebanyak 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas.
Potensi cadangannya sebanyak 9,67 miliar barel minyak dan 156,92 TCF gas. Semua itu baru dieksplorasi hingga tahun 2000 sebesar 0,46 miliar barel minyak dan 2,6 triliun TCF gas. Karena itu, jika menilik angka volume dan kapasitas BBM, sebenarnya Indonesia mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri.
Liberalisasi migas di Indonesia juga tidak lepas dari keberadaan Undang-undang (UU) 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam UU tersebut, pemerintah justru melepas tanggung jawab dalam pengelolaan migas. Terlihat dari beberapa klausul dalam Pasal UU tersebut. Misalnya, pemerintah membuka peluang pengelolaan migas dan privatisasi perusahaan migas nasional.
Selain itu, pemerintah juga memberikan kewenangan kepada perusahaan asing maupun domestik untuk mengeksplorasi dan eksploitasi minyak. Lebih parahnya lagi, pemerintah membiarkan perusahaan asing dan domestik menetapkan harga sendiri. Sangat jelas bahwa UU tersebut sangat liberal. (Joe lian)
Tabel. Perusahaan Migas di Indonesia
Bahkan menurut Presiden API Elisabeth Proust, industri migas telah memberi kontribusi signifikan ke Indonesia. Di antaranya, menghasilkan lebih dari 25 persen total pendapatan pemerintah, yakni sekitar 35 milyar dollar AS berupa pembayaran pajak dan royalti pada tahun 2011. “Yang terjadi saat ini adalah ada salah persepsi publik bahwa industri migas (minyak dan gas) didominasi perusahaan asing,” katanya mengelak.
Selain itu, Elisabeth beralasan, industri migas juga memberi kontribusi hingga 7 persen dari pendapatan domestik bruto. Bahkan menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 30.000 pekerja langsung serta lebih dari 300.000 pekerja tidak langsung. ”Industri migas juga membelanjakan ratusan juta dolar AS per tahun untuk peralatan dan jasa serta mengembangkan infrastruktur utama untuk konsumsi energi domestik,” ujarnya.
Elisabeth boleh saja berargumen membela kepentingan asing. Namun jika melihat fakta, data menyebutkan justru hampir 74 persen kegiatan usaha hulu atau pengeboran minyak dan gas (migas) di Indonesia dikuasai perusahaan asing. Perusahaan nasional cuma menguasai 22 persen dan sisanya konsorsium asing dan lokal.
Sementara untuk kegiatan hilir migas perusahaan nasional masih dominan dengan penguasaan sebesar 98 persen. Adapun perusahaan asing menguasai sisanya. Ini wajar karena memang SPBU di Indonesia masih dikuasai Pertamina.
Di Indonesia ada 60 kontraktor Migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok. Pertama, Super Major yang terdiri dari ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen Indonesia. Kedua, Major (Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen). Ketiga, perusahaan independen (menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen).
Dengan data tersebut, terbukti bahwa perusahaan multinasional-lah yang menguasai migas di Indonesia. Karena itu jangan heran, jika negeri dengan sumber daya alam migas yang berlimpah ruah, justru meradang saat harga migas di pasar internasional melonjak.
Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) yang berpatokan dengan harga minyak dunia ikut tergoncang. Karena itu setiap harga minyak dunia naik, selalu ada pemikiran untuk menaikkan harga BBM subsidi. Alasannya, karena beban subsidi di APBN terlalu berat. Semua itu karena migas yang ada di Indonesia ‘mengalir’ ke luar negeri.
Padahal di Indonesia terdapat sekitar 60 cekungan minyak dan gas bumi. Dari jumlah tersebut baru sekitar 38 yang telah dieksplorasi. Dalam cekungan tersebut terdapat sumberdaya sebanyak 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas.
Potensi cadangannya sebanyak 9,67 miliar barel minyak dan 156,92 TCF gas. Semua itu baru dieksplorasi hingga tahun 2000 sebesar 0,46 miliar barel minyak dan 2,6 triliun TCF gas. Karena itu, jika menilik angka volume dan kapasitas BBM, sebenarnya Indonesia mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri.
Liberalisasi migas di Indonesia juga tidak lepas dari keberadaan Undang-undang (UU) 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam UU tersebut, pemerintah justru melepas tanggung jawab dalam pengelolaan migas. Terlihat dari beberapa klausul dalam Pasal UU tersebut. Misalnya, pemerintah membuka peluang pengelolaan migas dan privatisasi perusahaan migas nasional.
Selain itu, pemerintah juga memberikan kewenangan kepada perusahaan asing maupun domestik untuk mengeksplorasi dan eksploitasi minyak. Lebih parahnya lagi, pemerintah membiarkan perusahaan asing dan domestik menetapkan harga sendiri. Sangat jelas bahwa UU tersebut sangat liberal. (Joe lian)
Tabel. Perusahaan Migas di Indonesia
No | Nama Perusahaan | Blok | Kontrak akhir | ||
1 | Operator Expan Nusantara | Kampar Block | 5 Juli 2013 | ||
2 | Expan Nusantara | Sumatra Selatan Extension | 5 Juli 2013 | ||
3 | Chevron Pacific Indonesia | Siak | 28 Nopember 2013 | ||
4 | Intermega Sabaku | Salawati (A and D Salawati | 9 Januari 2015 | ||
5 | JOB Pertamina-Costa Intl Group | Gebang | 29 Nopember 2015 | ||
6 | ConocoPhillips Indonesia | Corridor | 7 September 2016 | ||
7 | Total E&P Indonesie | Mahakam | 30 Maret 2017 | ||
8 | Chevron Indoneisa Company | Attaka | 31 Maret 2017 | ||
9 | ExxonMobil Oil Indonesia | “B” Block | 1 Agustus 2017 | ||
10 | PetroChina | Kepala Burung | 15 Oktober 2016 | ||
11 | JOB Pertamina-PetroChina | Tuban, Jawa Timur | 28 Februari 2018 | ||
12 | JOB Pertamina-Talisman | Ogan Komering | 28 Februari 2018 | ||
13 | PetroChina | Tuban | 28 Februari 2018 | ||
14 | VICO Indonesia | Sanga-sanga | 7 Agustus 2018 | ||
15 | CNOOC SES | South East Sumatera | 6 September 2018 | ||
16 | Maxus South East Sumatera BV, | South East Sumatera | 6 September 2018; | ||
17 | Mobil Exploration Indonesia | NSO and NSO Extension Block | 16 September 2018 | ||
18 | ConocoPhillips Indonesia | South Natuna Sea Block “B | 16 Oktober 2018 | ||
19 | Chevron Indonesia Company | Pasir Barat | 25 Oktober 2018 | ||
20 | Putra Kencana Diski Petroleum | Blok (Diski), | 16 Nopember 2018 | ||
21 | Intermega Sabaku Linda | A, B, C/G and Sele | 1 Mei 2019 | ||
22 | JOB Pertamina-Golden Spike Indonesia | Raja Block | 6 Juli 2019 | ||
23 | Kalrez Petroleum | Renewal-Bula Block, Seram | 31 Oktober 2019 | ||
24 | JOB Pertamina-PetroChina | Salawati | 23 April 2020 | ||
25 | Lapindo | Brantas | 23 April 2020 | ||
26 | Kondur Petroleum SA | Malacca Strait Block | 4 Agustus 2020 |
Ironi Lapangan Minyak Blok Cepu
Ungkapan Kolonel Potts tahun 1888, bahwa jika salah satu dari tiga sektor utama bisnis minyak, yaitu produksi, distribusi, dan pemasaran, dikuasai, maka dua sektor lain akan dikuasai pula, telah menjadi sumber inspirasi bagi John D Rockefeller dalam mengelola perusahaannya, Standard Oil, yang merajai bisnis perminyakan pada awal abad ke-20.
Nama Standard Oil sekarang sudah tidak ada, tetapi jelmaan perusahaan minyak raksasa Amerika itu masih tetap menguasai bisnis yang menentukan dinamika politik dan perekonomian dunia hingga sekarang.
Rockefeller pantas bersumpah serapah ketika dikenai undang-undang antimonopoli (Antitrust Act) oleh Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1911 sehingga dia terpaksa memecah perusahaannya menjadi 35 buah, yang kebanyakan dengan nama singkatan SO, seperti SOHIO untuk Ohio, SOCONY untuk New York, Esso yang kemudian berubah menjadi Exxon, dan lain-lain. Perusahaan-perusahaan pecahan itu di kemudian hari mengalami merger lagi, seperti Exxon dan Mobil (gabungan SOCONY dan Vacuum Oil) menjadi ExxonMobil pada tahun 2000.
Rockefeller hingga anak keturunannya sampai sekarang telah menguasai ketiga sektor bisnis minyak secara keseluruhan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang 90 persen lebih produksi minyak mentahnya dikuasai asing.
Menguasai transportasi
Rockefeller memulai bisnisnya di Cleveland, Ohio, pada akhir 1800-an dengan menyewakan ratusan truk tangki pengangkut minyak mentah kepada perusahaan pengeboran minyak dari sumur minyak yang baru ditemukan saat itu. Perusahaan Rockefeller, Union Tanker Car, yang memiliki paten desain truk tangki (seperti yang sekarang digunakan Pertamina untuk mengangkut BBM), menguasai transportasi minyak mentah dari lokasi pengeboran di daerah Ohio ke tempat pengilangan minyak di New York.
Rockefeller sebenarnya bukanlah seorang ahli perminyakan. Dia hanyalah menyewakan truk tangki dan memperoleh keuntungan dari membeli ladang minyak dan kilang minyak dengan harga yang dipaksakan. Hal itu baru ketahuan setelah beberapa dekade kemudian.
Truk tangki buatan Union Tanker Car menjadi mesin uang saat itu menggantikan truk bak terbuka dari kayu, yang banyak dipakai sebelum tangki minyak ditemukan. Beberapa bulan setelah produksi dan pengangkutan mulai berjalan, dan setelah perusahaan-perusahaan pengilangan minyak baru selesai membangun kilang baru untuk menampung aliran minyak yang melimpah, Union Tanker membatalkan kontrak penyewaan angkutan tangkinya. Karena tidak ada perusahaan penyewaan lain, dalam beberapa bulan setelah melakukan investasi besar-besaran banyak perusahaan pengeboran dan pengilangan minyak yang terancam mengalami kebangkrutan. Kemudian Rockefeller mendatangi perusahaan-perusahaan yang dalam kondisi sekarat itu dan membelinya dengan harga yang sangat murah melalui lembaga keuangan Standard Oil.
Antara tahun 1900-1910 Standard Oil menguasai hampir seluruh ladang minyak di California, Texas, Arkansas, New Jersey, Ohio, dan beberapa negara bagian lain. 90 persen bisnis minyak Amerika saat itu berhasil dimiliki atau dikuasainya.
Untuk menghadapi undang-undang antimonopoli Pemerintah Amerika, Rockefeller kemudian mengambil sebagian besar asetnya untuk membentuk 12 bank, yang kemudian disebut Federal Reserve (The Feds), pada tahun 1911. Dua tahun kemudian dia berhasil menjual ke-12 bank itu kepada Kongres Amerika. Sejak tahun 1913 seluruh pajak negara dibayar melalui bank swasta dalam sistem Federal Reserve.
Dengan demikian, meskipun Standard Oil telah dipecah-pecah, Rockefeller masih tetap menguasai aset yang cukup untuk mendikte permainan politik Amerika dan dunia selama abad ke-20. Menurut Marshall Douglas Smith dalam tulisannya yang berjudul Black Gold Hot Gold (2001), perpolitikan dunia selama abad ke-20 sarat dengan skandal minyak. Dikatakan, Perang Dunia I dan II tidak lain juga hasil konspirasi Standard Oil bersama Shell dan British Petroleum (BP) untuk membagi-bagi peta ladang minyak dunia. Shell dan BP Oil sendiri juga merupakan perusahaan hasil merger atau telah diambil alih asetnya oleh pecahan perusahaan Standard Oil.
Perang Irak tidak lain juga merupakan sandiwara para pengusaha minyak raksasa multinasional. Majalah The Observer, yang terbit di London, menulis pada tanggal 26/1/2003, �Chev- ronTexaco kemungkinan akan melaporkan kenaikan sebesar 300 persen.� Chevron pernah merekrut hawkish Condoleezza Rice, Penasihat Keamanan Nasional Bush (sekarang Menlu AS), sebagai salah seorang anggota komisaris. Chevron sendiri awalnya juga merupakan gabungan dari dua pecahan perusahaan Standard Oil, yaitu Standard Oil California dan Standard Oil Kentucky.
Blok Cepu
Ceritanya beralih pada kasus Blok Cepu yang melibatkan ExxonMobil, yang merupakan penjelmaan Standard Oil 100 tahun yang lalu. Blok Cepu awalnya diusahakan oleh PT Humpuss Patra Gas (HPG) melalui technical assistance contract (TAC) dengan Pertamina. Dengan alasan tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk mengeksploitasi cadangan minyak di blok itu, HPG kemudian melepas 49 persen sahamnya kepada Ampolex pada tahun 1997. Ampolex adalah perusahaan minyak yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh ExxonMobil.
Kontrak TAC HPG kemudian berubah menjadi TAC plus karena melibatkan investor asing. Menurut Kepala Badan Pengelolaan dan Pengawasan Kontraktor Asing (BPPKA) PT Pertamina Zuhdi Pane (Kompas, 28/2/ 2006), pelibatan investor asing dalam TAC sebenarnya tidak diperbolehkan secara peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, pihak Ampolex melakukan pendekatan terhadap pemerintah Soeharto untuk diloloskan.
Dalam perkembangannya kemudian, Mobil Oil mengambil alih 100 persen saham Humpuss di Cepu melalui Ampolex dan kemudian merger dengan Exxon menjadi ExxonMobil. Setelah selesai kontrak tahun 2010, semestinya Blok Cepu 100 persen menjadi milik Pertamina. Padahal, dengan berlakunya UU Migas 22/2001, TAC yang ada tidak boleh diperpanjang lagi (Petroleum Report 2003, US Embassy).
Kenapa pihak ExxonMobil ’ngotot’ untuk mengambil alih Blok Cepu dari PT HPG dan ingin memperpanjangnya hingga 30 tahun?
Cadangan prospektif Blok Cepu di kedalaman kurang dari 1.700 meter mencapai 1,1 miliar barrel, sedangkan cadangan potensial di kedalaman di atas 2.000 meter diperkirakan 11 miliar barrel. Dengan demikian, Blok Cepu mengandung cadangan minyak terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia melampaui cadangan minyak di Indonesia secara keseluruhan, yang diperkirakan selama ini hanya sekitar 9,7 miliar barrel. Pihak ExxonMobil sudah barang tentu mengetahui hal ini. Adakah ExxonMobil lewat lobinya ke Pemerintah AS ikut menekan Indonesia hingga terjadi amandemen UUD 1945?
Tanggal 19 Mei 2003 majalah Time menulis, Selama lebih dari setengah abad, politik luar negeri AS yang berkaitan dengan minyak secara tipikal selalu manipulatif atau menyeleweng. Pola intrik yang dilancarkan AS mulai dari penulisan undang-undang secara rahasia hingga bentuk pelengseran sebuah pemerintahan yang mempunyai tingkat kebebasan terlalu tinggi dalam menangani penjualan minyaknya.
Menurut Marshall Douglas Smith juga, sebanyak 38 presiden Amerika terakhir seluruhnya adalah orang Standard Oil kecuali satu, Jimmy Carter.
Kontroversi Blok Cepu bukanlah pengecualian dari bentuk pola bisnis yang dikembangkan oleh ExxonMobil. Sungguh ironis, para pemimpin nasional kita menolak penguasaan Blok Cepu oleh bangsanya sendiri.
URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0603/08/opini/2494271.htm
Langganan:
Postingan (Atom)