Aktivis 98 yang juga Ketua Umun PB HMI 1999-2001, Fakhrudin menyampaikan dalam berita pada http://nasional.inilah.com/read/detail/2098519/prabowo-berjasa-di-era-militer-anti-islam bahwa umat Islam Indonesia sejatinya berutang budi kepada Prabowo yang berjasa di era militer cenderung anti Islam
Berikut kutipan selengkapnya
****** awal kutipan ******
INILAHCOM,
Jakarta – Aktivis 98 yang juga Ketua Umun PB HMI 1999-2001, Fakhrudin,
mengatakan sebaiknya umat Islam tidak gampang terprovokasi gencarnya
pemberitaan yang menyudutkan capres dari Gerindra, Prabowo Subianto.
Bagaimanapun ada peran besar Prabowo saat militer Indonesia cenderung
anti-Islam.
“Jangan gampang dikecoh,” kata Fakhrudin
dalam pembicaraan telepon dengan Inilahcom. Menurut dia, umat Islam
Indonesia sejatinya berutang budi kepada Prabowo. “Prabowo adalah
prajurit yang secara terbuka berani berhadapan dengan faksi militer yang
fasis dan anti Islam, di bawah mendiang Benny Moerdani.”
Prabowo-lah,
kata Fakhrudin, yang berani mengambil risiko di saat kelompok Moerdani
tengah kuat-kuatnya. “Dia tak rela umat Islam terus dikorbankan demi
kepentingan politik mereka,” kata dia.
Berkenaan dengan
penculikan sejumlah aktivis, Fakhrudin juga yakin segala sesuatu harus
dilihat dalam kontek kekuasaan saat itu. “Ada dua faktor; pertama karena
pesanan rezim yang berkuasa, kedua karena adanya pertarungan di elite
militer. Jadi faksionalisasi di internal militer menjadi pemicu untuk
saling mendiskeditkan sesama mereka.”
Keyakinan Fakhrudin
bahwa isu HAM sudah jadi sekadar dagangan politik, karena waktu
Megawati berkuasa, toh soal itu tak dimasalahkan. Ia menilai, mungkin
karena Megawati pun tak lepas dari kedekatan dengan militer. Sayangnya,
kata dia, Megawati lebih akomodatif kepada sayap militer yang
anti-Islam. “Lihat figur-figur tentara yang di lingkaran Mega. Hampir
sebagian besar loyalis Beny ada di sana. Ini menunjukkan bahwa PDIP
kurang sensitif terhadap perasaan ummat Islam,” kata dia.
Menurutnya,
kalau Megawati konsisten dengan penegakan HAM, kenapa dia tidak tampil
untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM saat mendapat
mandat dari rakyat. “Jangankan pelanggaran HAM, penculikan, kasus
priuk, tragedi lampung, kejadian di Aceh dan lain lain, kasus 27 Juli
saja dia tidak bisa selesaikan dengan tuntas.” [dsy]
******* akhir kutipan *******
Sebagaimana arsip berita pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/06/13/ada-orang-lain/ Rachmawati Soekarnoputripun bertanya kepada kakaknya, mengapa mau bersekutu dengan Benny Moerdani
***** awal kutipan *****
Bagi
saya , kisah Mega dan Orde Baru bukan hal baru.Begitu juga soal
hubungan antara Mega dengan bekas Pangab L.B. Moerdani dan faksi faksi
yang bertikai ditubuh TNI, pun bukan hal baru.
Makanya,
waktu mendengar bekas Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
RO Tambunan membongkar informasi yang diberikan Benny Moerdani kepada
Mega sebelum terjadi tragedi 27 juli 1996 terjadi, saya cuma manggut
manggut.Saya sudah memperkirakan itu yang akan terjadi.Mega cuma jadi
alat dari pertikaian di tubuh TNI, khususnya Angkatan Darat.
Benny
Moerdani mulai mendekati keluarga Bung Karno awal 1980-an. Suatu
ketika, pertengahan 1980-an, dalam sebuah acara keluarga Bung Karno di
Bandung , Benny Moerdani datang. Katanya dia mau mengenal lebih jauh dan
berteman dengan anak anak Bung Karno.Kami persilahkan saja. Tapi saat
itu saya sudah waspada. Pasti ada apa apanya nanti.
Waktu itu Benny Moerdani mulai pecah kongsi dengan Soeharto.
Hubungan mereka tidak harmonis lagi. Padahal sebelumnya, Benny Moerdani ini anak buah yang baik bagi Soeharto.
Dalam
acara keluarga itu, saya sempat ngomong ngomong dengan
dia.Kelihatamnya Benny Moerdani memang sedang sakit hati dengan
Soeharto. Dia dicopot dari posisi Pangab dan tidak dipakai Soeharto
lagi. Ibarat wayang, oleh sang dalang Benny Moerdani dimasukin kotak.
Ia
mengakui, dirinya menyimpan obsesi untuk menjadi orang kedua di
republik ini. Tapi dia kecewa ambisi itu bagai menggantang asap.
Menurutnya dia tidak mungkin tampil sebagai wakil presiden. Sebab dia
beragama non muslim.Dan memang walau pun Benny Moerdani menggosok gosok
namanya, tahun 1988 Soeharto memilih Soedharmono yang dikenal sebagai
arsitek sekretariat negara dan orang top di Golkar, menjadi wakil
presiden.
Saya sampai dipanggil ketek sama Soeharto.
Waktu mau dicopot pun, saya tidak diberi tahu sebelumnya. Saya diberi
tahu akan dicopot dari posisi Pangab cuma satu hari sebelumnya, begitu
dia mengeluh.
Dulu, akhir 1970-an, kami, anak anak Bung
Karno membuat kesepakatan bersama. Dikenal dengan konsensus keluarga
Bung Karno. Isinya, kami tidak akan terjun ke dunia politik. Kami tidak
mau anak dan keturunan Bung Karno dimanfaatkan oleh Orde Baru untuk
kepentingan mereka Kami tidak mau dijebak
Tapi sejak
bergaul dengan Benny Moerdani, Mega mulai terlihat hendak keluar dari
consensus keluarga. Dan akhirnya Mega memang keluar. Dia bergabung
dengan PDI. Memang tidak tiba tiba . Sebelumnya Mega, juga suaminya
Taufik Kiemas, aktrif di Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI).
Nah,
Mas Guntur sebagai anak tertua, yang tadinya saya harap bisa mencegah
langkah Mega itu, ternyata memilih untuk diam saja. Bahkan cenderung
untuk mendukung. Saat itu saya mulai was-was. Langkah Mega mendekati
faksi Moerdani dalam tubuh Orde Baru akan merugikan, tidak cuma
keluarga Bung Karno , tapi juga seluruh Bangsa ini. Saat itu saya
membaca, mereka tengah mempersiapkan tampilnya seorang anak Bung Karno
untuk memenangkan ambisi politik mereka.
Dijadikan alat LB Moerdani, kok bangga
Sebelum
mendekati Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya terlebih
dahulu. Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI.
Permintaan orang dekat dan tangan kanan Soeharto itu jelas saya tolak,
Bagi saya, PDI itu cuma alat hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri
oleh Soeharto tahun 1973. Coba renungkan, untuk apa jadi pemimpin
boneka.
Orang orang PDI yang dekat dengan Benny Murdani,
seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho, pun ikut mengajak saya
gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak.
Tapi Mega tidak
begitu, tidak seperti saya. Dia menuruti permintaan itu dan dan senang
pula. Ajakan itu diartikannya sebagai dukungan dan kepercayaan dari
orang banyak, kaum Marhaen, kepada dirinya untuk memimpin PDI. Padahal
motivasi di balik ajakan ajakan itu sama sekali tidak ada hubungannya
dengan aspirasi kaum Marhaen.
Nah, pintu yang dipakai
kelompok ini untuk mendekati Mega adalah Taufik Kiemas, suaminya.
Taufik memang dekat dengan kelompok itu. Hari ini pun, desas desus soal
kedekatan Taufik Kiemas dengan kelompok Benny Murdani beredar luas.
Di
awal 1990-an , Mega semakin larut kejebak dalam skenario pembusukan
itu. Tahun 1993, dalam kongres luar biasa (KLB) PDI, di Surabaya, dia
mendeklarasikan dirinya sebagai ketua umum PDI.
Beberapa
saat kemudian , dalam Munas PDI di Jakarta, deklarasi itu dikukuhkan.
Benny Moerdani mengerakahkan orang orangnya untuk memback up Mega dalam
suksesi di tubuh PDI itu. Beberapa orang yang terlibat mengamankan
Mega dalam fase itu sekarrang ini mendapat posisi enak di kabinet.
Di
tahun 1993 pula saya sebelum KLB Surabaya , saya sempat bertemu dengan
Mega. Saksi pertemuan itu Panda Nababan. Saya tanya Mega, mengapa mau
bersekutu dengan Benny Moerdani. Tapi dia tidak menjawab sepatah
katapun pertanyaan itu.
Saya katakan lagi kepadanya,
untuk melawan Orde Baru kita harus melihat lihat siapa kawan yang bisa
digandeng. Dan orang macam Benny Moerdani tidak bisa dijadikan kawan
abadi, Suatu saat mereka akan balik menyerang. Jangan mau terjebak dalam
pertarungan antara Benny Moerdani dan Soeharto. Saya tanya lagi Mega,
mengapa kamu mau menari di atas gendang orang orang lain. Mengapa kamu
mau diperalat.
Tiga jam saya bicara dengan Mega. Tapi
tak satu patahpun dia menjawab pertanyaan saya. Saya kira dia sudah
tidak peduli lagi dengan nasehat nasehat saya. Terakhir ya itu, saya
dengar dia sudah mengantongi dukungan Benny Moerdani untuk memimpin PDI.
Anggota
keluarga Bung Karno lainnya tetap bungkam ketika Mega jadi ketua umum
PDI. Mereka tidak membaca situasi yang berkembang saat itu seperti
saya. Mas Guntur juga diam. Alasannya semua anak Bung Karno sudah
dewasa.
Tapi apakah menggadaikan dan menggunakan nama Bung Karno untuk kepentingan politik sesaat adalah sikap dewasa?
Saya yakin , Mega pun tidak akan menjawab pertanyaan itu.
***** akhir kutipan *****
Peniliti
Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (Insist),
Adian Husaini menceritakan sejarah awalnya era reformasi di mulai era
akhir dekade 1980-an, rezim Orde Baru mengubah pendekatannya kepada
umat Islam dari pola antagonistik menjadi pola akomodatif yang ditandai
dengan penyerapan (akomodasi) berbagai aspirasi Islam ke dalam sistem
dan kehidupan kenegaraan sebagaimana yang ditulisnya pada http://adianhusaini.com/index.php/daftar-artikel/10-15-tahun-reformasi-indonesia?catid_doc=10&page=1
Sebagai
contoh adalah dicabutnya larangan berjilbab di sekolah-sekolah umum,
didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), didirikannya
Bank Muamalat Indonesia, juga disahkannya sejumlah Undang-Undang yang
sebelumnya ditentang habis-habisan oleh kelompok non-Islam dan sekuler:
seperti UU Peradilan Agama (No. 7 tahun 1989), UU Pendidikan Nasional
(No. 2 tahun 1989), UU Perbankan (No.7 tahun 1992) yang mengakomodasi
Bank Syariah, dan sebagainya.
Terlepas dari motif
politiknya, politik akomodatif rezim Orde Baru merupakan hal yang
positif dan disambut oleh kalangan Islam, yang selama dua dekade
sebelumnya menjadi obyek deislamisasi dan sekulerisasi rezim Orde Baru.
Sebagaimana yang diberitakan pada http://news.detik.com/read/2006/10/04/130218/688872/10/
Mayjen (Purn) Kivlan Zein menjelaskan bahwa peristiwa jatuhnya
Soeharto dan naiknya Habibie menjadi presiden, sebenarnya merupakan
pertarungan antara kanan dan kiri.
“Yang kiri itu
Kristen, yang kanan itu Islam. Ada yang mengatakan kiri itu nasionalis,
yaitu kubu Benny Moerdani dan Pak Harto,” ujar Kivlan
“Para
perwira muda ini berharap janganlah Orde Baru ini anti Islam, paling
tidak netral. Maka berkumpullah para perwira yang eks-PII (Pelajar
Islam Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Prabowo, walaupun
dia sempat ikut KAPPI, ya ikut saya. Kemudian Adityawarman, kemudian
Sjafrie Sjamsoeddin. Ini kita yang perwira mudalah, kita yang Akabri 70
ke atas. Kemudian ada Muchdi PR dan Syamsul Maarif. Semua perwira-wira
muda itu,” jelas dia.
Berikut kutipan selanjutnya
***** awal kutipan *****
Beberapa
saat kemudian di tahun 1984, Kivlan bertemu Prabowo di Malang.
“Prabowo yang sakit hati dikeluarkan dari Den 81, ketemulah sama kita,
saya, Sjafrie Sjamsoeddin, Ismet Huzairi, dan banyak yang lain, sampai
terbentuklah grup 7 untuk melawan Benny Moerdani,” terang dia.
Gerakan penolakan terhadap gerakan Benny ini terus berjalan hingga pada tahun 1988. Bagaimana cara menyaingi grup Benny?
“Kita
naikkanlah Pak Wiranto yang saat itu Asisten Operasi Timor Timur dan
batalyon yang dipimpin Prabowo, serta Ismet Huzairi. Terus bagaimana
caranya Prabowo bisa sukses? Kita kasih perlengkapan tempur, helikopter
yang bagus, peralatan yang lengkap.
Pak Wiranto
diusulkan sama Prabowo disusupkan sebagai ajudan Pak Harto. Okelah, kata
saya. Jadilah dia (Wiranto) sebagai ajudan Soeharto,” kata dia.
Namun,
Kivlan dan Prabowo cs kok melihat Wiranto semakin lama semakin dekat
dengan Benny. Akhirnya, pihaknya mencari jenderal baru yang bisa
mengimbangi Benny Moerdani. Dapatlah nama ZA Maulani, yang rencananya
akan diusahakan sebagai KSAD terlebih dulu. Tapi, ZA Maulani tidak
berani. “Lantas, kita carilah yang lain, ketemu nama Feisal Tanjung.
Saya diminta Prabowo menemui Feisal Tanjung untuk menyampaikan pesannya.
Saat itu, Feisal masih di Timor Timur. Setelah pesan Prabowo saya
sampaikan, Feisal terkejut: masak letkol dan mayor menawarkan saya
(jabatan panglima). Feisal yang saat itu Dan Seskoad yang telah
dimasukkan kotak oleh grup Benny Moerdani, kita angkat,” terang Kivlan.
Pada bulan Januari 1989, Kivlan dkk berencana mempertemukan Feisal Tanjung dengan Habibie.
“7
Perwira naik pesawat terbang dari Halim sekitar 28 Januari 1989 untuk
ketemu Habibie. Sunarto (angkatan 68), saya, Ismet Huzairi, Prabowo,
Sjafrie Sjamsoeddin, Ampi Nur Kamal, Suaedy Marasabesy. 7 Perwira itu
terbang ke IPTN Bandung malam-malam,” ujar dia.
Habibie
yang saat itu masih menjabat sebagai Menristek menerima mereka. “Kita
sampaikan kepada Pak Habibie bahwa Pak Harto ingin ada yang bisa
mengimbangi Benny, dan Feisal Tanjung yang kita majukan. Kita mengatakan
hal itu agar Feisal diangkat,” kata dia. Setelah itu, Kivlan dkk
mempertemukan Habibie dan Feisal Tanjung dalam acara Seskoad tahun 1989.
Tapi, setelah pertemuan itu hingga tahun 1992, tidak ada kabar dari
Habibie kalau Feisal Tanjung punya peluang untuk diangkat sebagai
Panglima TNI.
Akhirnya, Feisal Tanjung pun menanyakan hal
itu kepada Habibie. “Nah, pada tahun 1991, muncullah peristiwa Dili.
Kejadian ini merupakan kesempatan kita untuk mengajukan Feisal Tanjung
sebagai Ketua Dewan Kehormatan (untuk memeriksa pelanggaran TNI itu).
Bertemulah dengan Pak Harto. Di situ, Prabowo meminta agar Feisal
ditunjuk sebagai ketua DK. Nah di DK itulah, dicopotlah Sintong
Panjaitan sebagai Pangdam. Sakit hatinya Sintong Panjaitan,” ujar dia.
Hingga 3 Juni 1992, tidak ada kabar bahwa Feisal Tanjung bisa naik
menjadi panglima.
Tanggal 5 Juni 1992, kubu Kivlan
menghadap Pak Harto saat acara peresmian Stasiun Gambir. “Saya dihubungi
Pak Azwar Anas, disetujui bahwa Feisal Tanjung akan naik. Jam 09.00
dia dilantik menjadi letjen, dilantiklah dia jadi bintang 3. Kemudian,
tanggal 11 Juni 1992, ketemulah dengan Habibie, naiklah dia jadi Kasum
ABRI,” ujar dia.
Upaya untuk menaikkan Feisal Tanjung
terus dilakukan. Saat Sidang Umum MPR tahun 1993, Feisal belum juga
dilantik menjadi panglima. Saat itu, jabatan Panglima ABRI masih
dirangkap oleh Jenderal Edi Sudradjat yang menjabat sebagai KSAD dan
Menhankam. “Tapi, itulah pintarnya Pak Harto. Tanggal 15 Juni,
diangkatlah Feisal Tanjung sebagai Panglima ABRI, dan jabatan KSAD
diberikan kepada Wismoyo Arismunandar,” jelas dia. Setelah itu hubungan
Feisal Tanjung dengan Habibie semakin dekat. Januari 1998, terjadilah
pertemuan tokoh-tokoh masyarakat dengan Kopassus untuk menaikkan Habibie
sebagai wakil presiden.
“Reaksi dari Singapura ribut,
perwira yang tak senang yang berada di grup Benny juga ribut,” tutur
dia. Dan akhirnya, tanggal 2 Maret 1998, dengan dukungan Fraksi ABRI dan
Panglima ABRI, Habibie diangkat sebagai wakil presiden.
“Saya
sampaikan di kantor Habibie tanggal 2 Maret 1998. Saya yang menjadi
penghubung. Itulah kejadiannya mengapa dia menjadi wakil presiden. Dia
menjadi wakil presiden, karena dirancang oleh perwira-perwira muda ini,”
jelas mayjen purnawirawan mantan Kepala Staf Kostrad ini.
Dengan
fakta ini, Kivlan mempertanyakan mengapa Habibie malah melupakan para
perwira muda ini. “Kalau mau dicopot, copotlah. Jangan dibilang kudeta.
Jadi, memang Habibie ini naiknya oleh perwira muda.
Pengangkatan
Feisal Tanjung kita rancana untuk menghadang Benny, karena Benny sejak
1988 ingin jadi wapres, tapi terus kita gagalkan,” tegas dia.
Tentang
Gerakan Benny Kivlan menceritakan bahwa pada tahun 1988, ada kabar
Benny Moerdani ingin jadi presiden. Isu panas ini dibahas oleh Kivlan
dan Prabowo cs di Restoran Rindu Alam, 12 Februari 1988. “Saya bilang,
Wo (Prabowo-Red), kamu hadap Pak Harto, (minta) copot Benny jadi Pangab
sebelum SU MPR tanggal 1 November 1988,” kata Kivlan kepada Prabowo
saat itu.
“Wah bahaya, nanti dia kudeta,” ujar Prabowo.
“Kalau dia kudeta, kita balas dengan kudeta. Saya pegang satu batalyon,
si Ismet satu batalyon, Sjafrie satu batalyon, kau satu batalyon. Kalau
dia kudeta, kita kontrakudeta. Kita rebut semua ini,” kata Kivlan saat
itu.
Tidak berapa lama kemudian, terbuktilah semua ini.
Isu keinginan Benny menjadi presiden didengar Soeharto. “Setelah pulang
dari Yugoslavia, Pak Harto bilang biar menteri, biar jenderal, kalau
dia inkonstitusional akan saya gebuk. Itu laporan saya, karena dia
(Benny) mau melakukan kudeta. Tahun 1989, Benny pun diberhentikan,”
ungkap dia. Kasus Benny ini, kata Kivlan, berlanjut saat Habibie naik
menjadi wakil presiden.
“Habibie naik jadi wakil
presiden, maka tidak senanglah Singapura. Dirancanglah bagaimana supaya
Soeharto jatuh, Habibie ikut jatuh. Koalisi Nasional pimpinan Barnas,
di belakangnya Benny Moerdani, di depan ada Ratna Sarumpaet. Itulah
duduk soalnya mengapa terjadi kerusuhan,” kata dia.
***** akhir kutipan ******
Kivlan
Zein dalam penjelasan di atas menyatakan bahwa “Singapura Link” yang
merancang kejatuhan Suharto salah satunya karena ketidak-senangan
terhadap Habibi menjadi wakil presiden dari kalangan cendekiawan Islam
adalah wujud Islam Phobia
“Singapura Link” yang merancang
kejatuhan Suharto menjawab sebuah analisa yang mengatakan bahwa
kejatuhan Suharto (semula “a good boy” Amerika) karena adanya
kemungkinan jika kekuasaan Suharto “diperpanjang” maka akan terjadi
kebangkitan Islam di Indonesia. Untuk itu Rakyat Indonesia harus
“diusik” dengan sesuatu.
Amerika semakin “terusik” oleh
kelakuan Suharto yang berubah dari pola antagonistik menjadi pola
akomodatif yakni penyerapan (akomodasi) berbagai aspirasi Islam ke dalam
sistem dan kehidupan kenegaraan
Diawali pada tahun
1992, gerakan Non Blok putuskan untuk mengirim utusan Palestina ke
negara-negara Arab adalah untuk langsung terlibat dalam
negosiasi-negosiasi yang mendukung usaha Palestina memperoleh haknya
kembali yang mana keputusan yang diambil oleh Ketua GNB – Presiden
Soeharto mendapat dukungan dari Menlu Palestina Farouk Kaddoomi seusai
sidang Komite Palestina GNB di Bali yang dalam hal ini menurutnya
keputusan tersebut menunjukkan dukungan Gerakan Non Blok kepada rakyat
Palestina dalam memperoleh haknya kembali dan akan berusaha membuat
warga Israel mundur dari kawasan yang diduduki. Komite Palestina GNB
terdiri dari Aljazair, India, Bangladesh, Senegal, Gambia, Zimbabwe,
Palestina dan Indonesia, komisi GNB untuk Palestina diketuai oleh
Indonesia.
Para Futurolog memprediksikan pada abad ke-21 Islam akan bangkit mendunia yang diawali dari timur (Indonesia/Malaysia).
Oleh
karena Soeharto (selaku kepala negara mayoritas muslim terbesar di
dunia) merangkul Islam maka sesegera mungkin sebelum memasuki abad ke-21
rezim Orba harus diturunkan.
Langkah pertama yang
diambil adalah menciptakan krisis moneter, lalu krisis ekonomi, lalu
merembet pada krisis kepercayaan, lalu menggelombang menjadi krisis
politik nasional yang mendesak untuk dilakukannya penjatuhan rezim dan
reformasi total. Fakta krisis ini disetting dalam konteks kawasan, bukan
semata Indonesia, sehingga tampak gelombang krisis ini bukan karena
skenario tapi gelombang internasional yang bersifat natural.
Ada
pihak yang berpendapat lebih spesifik dari sekedar “Soeharto jatuh
karena krisis ekonomi”. Mereka berpendapat “Soeharto jatuh karena IMF?”
Pendapat
ini antara lain dikemukakan Prof. Steve Hanke, penasehat ekonomi
Soeharto dan ahli masalah Dewan Mata Uang atau Currency Board System
(CBS) dari Amerika Serikat.
Menurut ahli ekonomi dari
John Hopkins University itu, Amerika Serikat dan IMF-lah yang
menciptakan krisis untuk mendorong kejatuhan Soeharto. Ini dibuktikan
dari pengakuan Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus sendiri.
Dalam
wawancara “perpisahan” sebelum pensiun dengan The New York Times,
Camdessus yang bekas tentara Prancis ini mengakui IMF berada di balik
krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
“Kami menciptakan
kondisi krisis yang memaksa Presiden Soeharto turun,” ujarnya.
Pengakuan ini tentu saja menyambar kesadaran banyak orang. Tak dinyana,
krisis di Indonesia ternyata bukan semata kegagalan kebijakan ekonomi
Soeharto, tapi juga berkat “bantuan” IMF. Sumber: http://www.antara.co.id/print/1210836368
“Singapura
Link” tampaknya berkeinginan NKRI dipimpin oleh orang yang “baik”
seperti SBY atau Jokowi namun kurang “kuat” untuk mewujudkan angan-angan
kemakmuran rakyat Indonesia. Sehingga “Singapura link” menjadikan NKRI
sebagai pasar dan investasi bagi kemakmuran mereka
Sebagaimana contoh berita pada http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/05/21/pengamat-kondisi-politik-penyebab-melemahnya-rupiah
bahwa analisa pengamat pasar uang terhadap pelemahan rupiah terhadap
dollar AS sejalan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang memerah
karenanya adanya kondisi politik yang membuat keraguan para investor.
Investor condong kepada Jokowi daripada ke Prabowo.
Berikut kutipan tulisan Adian Husaini selanjutnya dari link di atas
***** awal kutipan *****
Setelah
tumbangnya Soeharto yang disambut dengan suka cita saat itu. Kehidupan
politik semakin bergairah. Sistem politik Orde Baru yang serba
tertutup, monolitik dan sentralistik digugat habis-habisan. Era
reformasi dan demokratisasi dicanangkan dan terus digelindingkan.
Berbagai
jenis paham pemikiran bebas berkeliaran di benak publik. Penguasaan
akses-akses informasi yang sangat kuat di tangan non-muslim dan kaum
sekular menyebabkan semakin maraknya paham-paham sekuler-liberal di
tengah masyarakat.
Pada era seperti inilah, berbagai
benih paham sesat dengan leluasa dan tanpa banyak rintangan tersebar dan
bersemi di tengah masyarakat Muslim Indonesia.
Salah
satu paham yang sangat marak menyebar di Indonesia di era reformasi
adalah paham liberalisme di kalangan umat Islam, yang dikenal sebagai
paham “Islam liberal”.
Paham ini telah sangat meresahkan
umat Islam Indonesia, sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun
2005 mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham SEKULARISME,
PLURALISME, DAN LIBERALISME – yang kemudian dikenal dengan singkatan
paham “Sipilis”. Cakupan paham ini sangat luas, meliputi liberalisasi di
bidang aqidah, al-Quran, dan syariat Islam.
Kebebasan Kebablasan
Di
era reformasi, isu Hak Asasi Manusia (HAM) semakin ramai digunakan
untuk menyuarakan berbagai jenis kebebasan. Sayangnya, isu HAM ini
seringkali digunakan untuk menjadi dasar penyebaran paham sesat dan
penetapan peraturan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Sebagai
contoh, tahun 2010, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
mendukung dicabutnya Undang-undang (UU) No 1/PNPS/1965, sebab UU
tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama
sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 18
tentang Kebebasan Beragama.
Padahal, UU No 1/PNPS/1965
mengatur tentang penodaan agama di Indonesia. Menurut UU ini, sesiapa
saja yang melakukan penafsiran atas ajaran agama yang menyimpang dari
ajaran-ajaran pokok suatu agama yang diakui di Indonesia (enam agama:
Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghuchu), maka
dinyatakan telah melakan pidana (jinayat) dan dapat dipenjara selama
lima tahun.
Jika UU No. 1/PNPS/1965 itu dicabut, maka
berbagai aliran sesat mendapatkan peluang yang makin besar untuk
berkembang di Indonesia. Kita berharap, para aktivis HAM bersedia
meletakkan al-Quran lebih tinggi ketimbang kitab Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, sehingga tidak meletakkan prinsip kebebasan tanpa
batas, sampai melanggar ajaran Islam. Alhamdulillah, gugatan kaum
liberal itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga UU No
1/PNPS/1965 tetap berlaku.
Meskipun gagal dalam mendukung
pembatalan UU No 1/PNPS/1965, Komnas HAM masih melakukan pembelaan
terhadap prinsip-prinsip HAM sekuler, misalnya dalam memperjuangkan hak
tiap warga negara untuk melakukan praktik perkawinan sejenis (homoseks
dan lebisn) dan melakukan perkawinan beda agama. Komnas HAM telah
secara terbuka mendukung praktik nikah beda agama (NBA).
Tahun
2005, bekerjasama dengan Indonesian Conference on Religion and Peace
(ICRP), Komnas HAM menerbitkan sebuah buku berjudul: Pernikahan Beda
Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan, dan Analisis Kebijakan (editor:
Ahmad Nurcholish dan Ahmad Baso). Tahun 2010, buku ini diterbitkan lagi
untuk edisi kedua.
“Bagi ICRP, pernikahan adalah hak
asasi manusia yang tidak boleh dirintangi oleh siapa pun dan dengan
alasan apa pun, sepanjang di dalamnya tidak ada unsur pemaksaan,
eksploitasi, dan diskriminasi,” tulis Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Ketua
Umum ICRP.
Komnas HAM meminta Kementerian Agama untuk
mengimplementasikan penghapusan praktik segala bentuk diskriminasi atas
dasar etnis, ras, budaya dan agama, terutama pencatatan perkawinan bagi
pemeluk agama dan keyakinan. Komnas HAM juga meminta agar Kompilasi
Hukum Islam (KHI) No. 1 tahun 1991 dirumuskan ulang, sehingga dapat
mengakomodasi pernikahan antara muslimah dengan laki-laki non-muslim.
Atas
nama HAM, Komnas HAM juga memberikan dukungan terhadap gerakan
Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT). Tahun 2006, pakar HAM
internasional yang berkumpul di Yogyakarta menghasilkan “Piagam
Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles) yang mendukung pelaksanaan
hak-hak kaum LGBT.
Walhasil, menjelang 15 tahun
perjalanan reformasi, kita kaum Muslim Indonesia, patut merenungkan
dengan serius dan mengevaluasi apa yang telah dan sedang terjadi.
Salah
satu pelajaran penting: tidak sepatutnya kita dipatuk ular pada lobang
yang sama. Seyogyanya tokoh-tokoh Muslim menentukan sendiri tujuan,
sasaran, konsep, dan agenda-agenda perubahan, sesuai dengan amanah
risalah Nabi Muhammad SAW.
Tidaklah patut kaum Muslim
terjebak lagi ke dalam agenda yang seolah-olah menjanjikan kebebasan
dan kemajuan, padahal jelas-jelas merusak masyarakat dan mengadu domba
sesama Muslim.
Jargon-jargon reformasi yang digulirkan kadang tampak indah. Tapi, makna “reformasi” itu sendiri tidaklah jelas acuannya.
Bagi
Muslim, reformasi – atau perubahan apa pun – akan sia-sia jika tidak
berdasarkan pada konsep Tauhid dan bertujuan membentuk manusia dan
masyarakat yang adil dan beradab.
Umat Islam jangan
sampai tertipu dengan jargon dan janji-janji “reformasi” yang ternyata
membawa agenda liberalisasi di berbagai bidang.
Orang
Muslim yang paham dan sadar akan agenda-agenda liberalisasi, pasti tidak
rela menukar iman dan kedaulatan negaranya dengan kebebasan dan
kenikmatan duniawi yang semu. Wallahu a’lam bish-shawab
***** akhir kutipan ****
Jadi
jelaslah bahwa yang perlu diwaspadai oleh kaum muslim adalah kaum
liberal dibelakang Jokowi-JK karena sudah ada fatwa Majelis Ulama
Indonesia No: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang kesesatan paham
pluralisme, liberalisme dan sekuarisme agama
Sebelumnya
sejumlah aktivis Liberal seperti Zuhairi Misrawi dan Hamid Basyaib
bergabung ke lembaga underbow PDIP Baitul Muslimin Indonesia (BMI)
sebagaimana berita pada http://news.detik.com/read/2011/10/14/203542/1744557/10/
***** awal kutipan *****
Sejumlah
tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) bergabung ke Baitul Muslimin Indonesia
(Bamusi), organisasi keagamaan sayap PDI Perjuangan. Mereka antara
lain, Idham Cholied, Hamid Basyaib dan Zuhairi Misrawi.
Idham,
yang sebelumnya menjabat sekjen Partai Kebangkitan Nasional Ulama
(PKNU) ini mengatakan, alasannya bergabung ke PDI Perjuangan karena
secara kultural basis pemilih partai itu dan NU sama.
Sementara
itu, Hamid Basyaib dikenal sebagai pemimpin perusahaan konsultan
politik, mantan wartawan dan pemikir Islam Liberal. Zuhairi dikenal
sebagai direktur Moderate Muslim Society.
****** akhir kutipan ******
Kini
dedengkot liberal lainnya, Siti Musdah Mulia, akhirnya merapat juga ke
lingkaran PDIP dengan menjadi Direktur Megawati Institute. sebagaimana
yang diberitakan pada http://nasional.kompas.com/read/2013/10/09/1228038/Musdah.Mulia.Jadi.Direktur.Megawati.Institute
**** awal kutipan ****
“Hasil
rapat Pleno DPP kemarin, atas kesediaan Ibu Musdah, kami kukuhkan Ibu
Musdah sebagai Direktur Megawati Institute,” kata Tjahjo.
Tjahjo
mengatakan, Megawati Institute di bawah kepemimpinan Musdah diharapkan
terus membumikan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Seperti
diketahui, Musdah adalah aktivis perempuan, dosen, peneliti, penulis
di bidang keagamaan di Indonesia. Ia aktif dalam isu-isu demokrasi,
HAM, pluralisme, perempuan, dan civil society.
****** akhir kutipan *****
Musdah Mulia adalah professor yang menghalalkan homoseksual sebagaimana yang diberitakan pada http://insistnet.com/prof-uin-jakarta-halalkan-homoseksual/
****** awal kutipan ******
Harian
The Jakarta Post, edisi Jumat (28/3/2008) pada halaman mukanya
menerbitkan sebuah berita berjudul Islam ‘recognizes homosexuality’
(Islam mengakui homoseksualitas). Mengutip pendapat dari Prof. Dr. Siti
Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, koran berbahasa Inggris itu
menulis bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan
diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam.
Menurut
Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada
alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap
homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama aurus utama dan
kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit
terhadap ajaran Islam.
****** akhir kutipan *****
Perjuangan reformasi di Indonesia pada kenyataannya ada dua kubu.
Ditengarai
kubu orang-orang yang menginginkan Megawati menjadi presiden ketika
negeri kita dipimpin oleh Gus Dur adalah kubu orang-orang yang
menginginkan Jokowi menjadi presiden pada saat ini.
Pada
waktu itu Amin Rais dkk ditengarai terhasut kubu orang-orang yang
menginginkan Megawati sebagai Presiden sehingga “melengserkan” Gus Dur
Pada
saat sekarang tampaknya Amin Rais menyadari bahwa arah reformasi yang
berjalan sekarang tidak sesuai dengan visi dan misi maupun platform
partai politik PAN yang didirikannya sehingga memutuskan untuk mendukung
kubu Prabowo karena adanya kesesuaian dengan visi dan misi Gerindra.
Sehingga terlihatlah tokoh reformasi “kubu lain” yang menolaknya seperti Goenawan Mohamad sebagaimana berita pada http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/05/15/goenawan-muhammad-mundur-dari-pan
“Latar berlakang” perjuangan reformasi kubu Goenawan Muhammad dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/05/goenawan-muhammad-background.pdf
Tulisan
tersebut ditulis berdasarkan buku yang berjudul, “Kekerasan Budaya
Pasca 1965″ karya Wijaya Herlambang yang terbit November 2013 lalu yang
mengungkapkan bahwa Goenawan Muhammad dibiayai lembaga filantropi mulai
: Ford Fondation, Rockefeller Fondation, Asia Fondation Open Society
Institue, USAID juga tokoh Yahudi George Soros.
Berikut kutipannya
***** awak kutipan *******
Goenawan
Mohamad sejak Tempo diberangus rezim Soeharto (1994) menempatkan diri
sebagai pelawan orde baru yang handal. Dengan lenyapnya Tempo GM
membangun Komunitas Utan Kayu (KUK) yang bermarkas di Jalan Utan Kayu
Jakarta Timur. Lembaga ini kemudian melahirkan serenceng lembaga
kebudayaan mulai AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia), Jaringan Islam
Liberal (JIL), Teater Utan Kayu (TUK) yang diplesetkan bulletin
Boemiputra menjadi Tempat Umbar Kelamin, sekaligus agen imperialis
Barat.
Kehadiran JIL dirasakan umat Islam terbesar
sebagai alat penghancuran Islam di negeri ini. Karena itu JIL disebut
dibiayai lembaga filantropi Barat mencapai 150.000 USD/tahun.
Pendek
kata KUK melalui lobby GM ke sejumlah orang-orang teras USAID,
berhasil menguras dananya sebesar 100.000 -200.000 USD, sehingga
menempatkan KUK sebagai agen Barat. Termasuk mendirikan ISAI (Institut
Studi Arus Informasi) pada 1995 dan belakangan membangun Salihara di
kawasan Pasar Minggu sebagai pusat budaya.
Yang sangat
dirasakan menyakitkan bagi kelompok Islam mainstream, kehadiran KUK di
bawah GM, misalnya Radio FM 68, JIL, bahkan berbagai penerbitan bawah
tanahnya seperti Bergerak, X-Pos hingga Tempo majalah dan Koran Tempo
yang kini sejak era reformasi, kembali terbit, kesemua produk GM ini
cenderung menghantam aspirasi Islam.
Kini terbongkar
melalui buku Wijaya Herlambang, semua ini tidak aneh, GM sejatinya
seorang komprador sejati, yang diakuinya sendiri, dia memang dibiayai
serenceng lembaga filantropi Barat dan Asia termasuk Asia Foundation
dan Japan Foundation, termasuk tokoh Yahudi Gerge Soros itu.
Memang
Herlambang belum menyajikan ulasan bagaimana peranan GM saat rezim
Soeharto jatuh di mana Soros ikut memainkan peranan menghancurkan
ekonomi Indonesia. Hanya dikutip sekilas GM bersama Adnan Buyung
Nasution terlihat menonjol di saat itu namun bukanlah dua orang itulah
sejatinya yang memainkan peranan terpenting dalam reformasi Mei 1998
itu.
Yang jelas melalui seluruh penampilannya, GM
cenderung berlawanan arus dengan Islam. Tatkala umat Islam makin
bersikeras menentang eksistensi aliran sesat Ahmadiyah dan mendesak
pemerintah membubarkannya, awal 2008, GM dan kelompoknya menentangnya
dan mendirikan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan) dan memajang iklan di harian Kompas menunjukkan
eksistensinya seraya mengecam umat Islam mainstream yang dituduhnya
melanggar hak-hak asasi warga Ahmadiyah, mengancam kebhinekaan,
sekaligus menyebar kebencecian, kekerasan, dan ketakutan di tengah
masyarakat.
******* akhir kutipan ******
Dari
“latar belakang” tersebut kita dapat simpulkan bahwa kubu Goenawan
Muhammad adalah pejuang reformasi yang membawa misi pihak asing untuk
menegakkan hak asasi manusia dengan semangat kebebasan (liberalisme.
pluralisme, sekularisme) termasuk kebebasan memahami Al Qur’an dan As
Sunnah dengan semangat kebebasan (liberalisme)
Jadi pada
kenyataannya orde baru telah melakukan reformasi dari pola
antagonistik, anti Islam (deislamisasi) atau Islam Phobia menjadi pola
akomodatif yang ditandai dengan penyerapan (akomodasi) berbagai aspirasi
Islam ke dalam sistem dan kehidupan kenegaraan yang sebelumnya
ditentang habis-habisan oleh kelompok non-Islam radikal dan kelompok
sekuler.
Sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/06/24/perbedaan-kedua-capres/ bahwa perbedaan utama dari kedua capres adalah
Prabowo
adalah pemimpin partai dan sekaligus pemimpin partai koalisi sehingga
Prabowo yang memimpin orang-orang dibelakangnya sesuai kebijakan sang
pemimpin.
Kita bisa saksikan dalam debat capres putaran
dua di Hotel Gran Melia, Jakarta Selatan, Ahad (15/6). Prabowo pernah
mengatakan “maaf ya, kali ini saya tidak mengikuti para penasehat saya”.
Hal
ini memberi penjelasan yang sangat kuat kepada kita bahwa Prabowo
tidak mudah untuk bisa dipengaruhi oleh orang disekitarnya sekalipun,
bahwa Prabowo tidak mudah untuk dijadikan boneka oleh pihak-pihak
tertentu, apalagi pihak asing.
Sedangkan Jokowi
sebagaimana yang ditegaskan oleh Megawati adalah sebagai petugas partai
sehingga Jokowi dalam memimpin akan dipengaruhi oleh orang-orang
dibelakangnya seperti kebijakan partai yang merupakan keluaran dari
aspirasi dan kepentingan partai.
Petugas partai dalam
memimpin akan membawa aspirasi dan kepentingan partai dan mereka
mengatakan bahwa partai itu berfungsi sebagai wadah penyaluran aspirasi
dan kepentingan rakyat.
Apakah benar aspirasi dan kepentingan partai mereka adalah aspirasi dan kepentingan rakyat Indonesia yang mayoritas muslim ?
Berikut contoh aspirasi dan kepentingan partai yang akan dibawa oleh petugas partai?
“Kami
satu-satunya partai yang dengan gagah berusaha agar RUU (pornografi)
itu tidak diundangkan dan tidak diberlakukan,” kata Megawati sebagaimana
yang diberitakan pada http://news.detik.com/read/2009/06/27/171232/1155093/700/mega-cerita-kegagahan-pdip-tolak-ruu-pornografi
“Sebagai
bangsa yang pluralis, dengan keanekaragaman suku bangsa, agama dan
etnis. Tidak mungkin hal itu diberlakukan,” tegas Mega.
Contoh lainnya yang terekam sejarah pada http://nasional.kompas.com/read/2008/10/30/13264812/akhirnya.ruu.pornografi.disahkan
****** awal kutipan *****
JAKARTA,
KAMIS — Setelah melalui proses sidang yang panjang, Kamis (30/12)
siang, akhirnya RUU Pornografi disahkan. RUU tersebut disahkan minus dua
Fraksi yang sebelumnya menyatakan walk out, yakni Fraksi PDS dan
Fraksi PDI-P.
Menteri Agama Maftuh Basyuni mewakili pemerintah mengatakan setuju atas pengesahan RUU Pornografi ini.
Menurutnya,
RUU ini nondiskriminasi tanpa menimbulkan perbedaan ras, suku, dan
agama. Substansi RUU juga dirasa tepat dan definisi dirasa sangat jelas.
RUU ini untuk melindungi masyarakat dan sebagai tindak lanjut UU
perlindungan anak dan penyiaran.
****** akhir kutipan ******
Jadi jelaslah bahwa Fraksi PPDI-P “sepemahaman” dengan Fraksi PDS
Contoh salah seorang menyampaikan alasan walk out Fraksi PDI-P dan Fraksi PDS adalah seperti
***** awal kutipan *****
Penyeragaman
budaya RUU ini juga dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat
Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama.
RUU
dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika
seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah
laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara
Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka
ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan
cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila.
Selain
mendiskreditkan perempuan dan anak-anak, RUU pornografi secara
sistematik juga bertentangan dengan landasan kebhinekaan karena
mendiskriminasikan pertunjukan dan seni budaya tertentu dalam kategori
seksualitas dan pornografi.
Dari sudut pandang hukum, RUU
Pornografi dinilai telah menabrak batas antara ruang hukum publik dan
ruang hukum privat. Hal ini tercermin dari penggebirian hak-hak
individu warga yang seharusnya dilindungi oleh negara sendiri. RUU
pornografi mengabaikan kultur hukum sebagai salah satu elemen dasar
sistem hukum. Hukum merupakan hasil dari nilai-nilai hidup yang
berkembang secara plural di masyarakat.
***** akhir kutipan *****
Seni,
budaya, adat istiadat, kebhinekaan, keberagaman, hak asasi manusia ,
kepercayaan, cara pandang, etika, norma, hak individu, kultur hukum,
hukum publik, hukum privat, hukum buatan manusia harus berlandaskan
hukum Allah sebagai konsekwensi berketuhanan yang Maha Esa
Allah
Azza wa Jalla yang menciptakan manusia tentulah Dia lebih mengetahui
mana yang baik dan mana yang buruk bagi manusia sehingga manusia
diberikan petunjukNya dalam bentuk hukum Allah
Allah Azza
wa Jalla hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena
hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian
wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan
wilayah halal sangatlah luas.
Firman Allah Azza wa Jalla
yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang
tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa
dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas
(nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf
[7]: 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak
kalian ketahui yang Ia ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah
Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan
sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka.
Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan
atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi
supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak
turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Tidak ada
yang perlu dikhawatirkan bagi non muslim jika sistem pemerintahan dan
hukum-hukum buatan manusia berlandaskan hukum Allah karena sejak zaman
Rasulullah yang menerapkan hukum Allah, kaum non muslim tetap
mendapatkan perlindungan, kebebasan beragama dan perlakuan yang baik.
Jadi
kalau muslim yang koruptor, teroris atau muslim yang menindas adalah
oknum muslim yang salah memahami Al Qur’an dan Hadits karena tujuan
beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul
karimah meneladani Rasulullah sebagaimana yang telah disampaikan dalam
tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/04/11/sanad-dan-akhlak/
Pihak
yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad
(mujahidin) atau jahat (teroris) hanyalah ulil amri setempat yakni para
fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal
muslimin) tidak terbebas dari fitnah sebagaimana yang telah disampaikan
dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/04/28/tegakkan-syariat-islam/
Sedangkan
sebaliknya kaum muslim yang berada di negeri non muslim, pada
kenyataannya ada kita temukan tidak mendapatkan kebebasan beragama.
Jadi bagi siapa saja yang mengingkari hukum Allah maka dia termasuk anti Islam.
Contoh
lainnya yang “anti Islam” adalah Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi
ketika menolak sertifikasi halal produk Farmasi dalam Rancangan
Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Alasannya, hampir semua
obat dan vaksin mengandung babi.
Berikut kutipan dari http://www.kompasislam.com/2014/03/02/menkes-minta-ruu-halal-ditunda-tengku-zulkarnaen-menkes-mboi-seperti-orang-anti-islam/
****** awal kutipan ******
Menkes Minta RUU Halal Ditunda,
Tengku Zulkarnaen : Menkes Mboi seperti Orang Anti-Islam
Jakarta
(KompasIslam.com) – Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Tengku
Zulkarnen menyoroti sikap kementerian kesehatan yang meminta pembahasaan
RUU Produk Halal ditunda. Menkes kristen Nafsiah Mboi dinilai tidak
pro-perlindungan konsumen terhadap informasi bahan kimia di dalam
obat-obatan.
“Menkes ini seperti orang anti Islam.
Seperti pembagian kondom, lalu tidak menghapuskan pelayanan khitan
wanita di rumah sakit negeri, dan sekarang mempertimbangkan aturan halal
terhadap obat-obatan,” kata tengku Zulkarnaen, Sabtu (1/3/2014).
Padahal,
dia menilai, perusahaan farmasi saja belum tentu menolak jika
produknya harus melalui proses sertifikasi. Karenanya, kenapa justru
dia yang keberatan.
Ia pun mempertanyakan, komitmen kemenkes dalam menerbitkan produk obat-obatan yang aman dikonsumsi masyarakat.
Sebelumnya
ramai diberitakan, Menteri Kesehatan kristen RI Nafsiah Mboi menolak
sertifikasi halal produk Farmasi dalam Rancangan Undang-undang Jaminan
Produk Halal (RUU JPH). Alasannya, hampir semua obat dan vaksin
mengandung babi.
“Contohnya, walaupun bahan vaksin tidak
mengandung babi, tapi katalisatornya itu mengandung unsur babi.
Sehingga tidak bisa dinilai kehalalannya,” kata Mboi sok tau di Jakarta,
Selasa (3/12/2013) akhir tahun lalu.
Dia menyebut bahwa
produk farmasi seperti obat dan vaksin memang mengandung barang haram
sehingga tidak bisa disertifikasi halal. Sehingga menurut Mboi produk
farmasi perlu dipisahkan dari makanan dan minuman dalam RUU JPH.
Mboi
juga membenarkan adanya penggunaan minyak babi pada katalisator dalam
pembuatan obat. Mboi berdalih, bila sertifikasi halal itu diterapkan,
vaksin yang mengandung babi itu tidak akan bisa digunakan karena tidak
memiliki sertifikasi halal.
“Kita menolak sertifikasi halal itu untuk vaksin dan obat-obatan,” timpalnya.
***** akhir kutipan ******
Presiden
SBY pemimpin paling tinggi di negeri ini, tidak mampu “mengendalikan”
seorang menteri kesehatan agar rakyat Indonesia yang mayoritas muslim
mendapat perlindungan konsumen produk Farmasi untuk mendapatkan
informasi mana yang halal dan mana yang haram.
Walikota
Padang Mahyeldi Ansharullah menilai wacana yang diusung oleh Jokowi-JK
yang akan melarang perda bernuansa syariat Islam bertentangan dengan
otonomi daerah dan adat Minangkabau sebagaimana kabar pada http://www.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/06/08/n6ulik-penghapusan-perda-syariah-oleh-jokowijk-bertentangan-dengan-adat-minang
***** awal kutipan ******
“Ada
falsafah adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah. Syarak mengato
adat memakai. Itulah yang berlaku di tanah Minang” katanya.
Karena
adat Minangkabau berlandaskan nilai-nilai keislaman, maka nilai-nilai
inilah yang menjadi keseharian masyarakat. Karena itu,pemerintah daerah
di Sumatra Barat berkewajiban untuk melindungi nilai-nilai tersebut
yang dikuatkan landasan hukumnya dalam peraturan daerah.
“Keseharian
masyarakat di tanah Minang ini seperti berpakaian yang menutup aurat
atau budaya orang Minang yang suka mengaji ke surau dan masjid harus
kita dorong dan dikuatkan dalam peraturan daerah. Toh ini kan juga sudah
membudaya bagi masyarakat Minang,” katanya.
Menurut
Mahyeldi, peraturan daerah yang berlandaskan syariat Islam seperti itu
tidaklah sempit dan menakutkan. Karena pada hakikatnya, Islam mengatur
tentang kehidupan yang membawa kepada kebaikan dalam hubungan
bermasyarakat.
“Islam tidak hanya terkait masalah halal
dan haram. Ketika ada aturan tertib lalu lintas itu kan juga syariat
Islam. Ketika ada aturan berlaku jujur dan tidak korupsi ini kan intinya
syariat Islam,” katanya.
****** akhir kutipan *******
Begitupula
pada tahun 2006 yang lalu. Ketika itu, sejumlah anggota DPR mendatangi
Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno dari PDIP untuk menolak
perda-perda bernuansa syariah.
“Kami minta pimpinan DPR
segera menyurati Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) agar mencabut
perda-perda itu,” kata Ketua Fraksi Partai Damai Sejahtera Constant
Ponggawa
Menurut Ponggawa, ketika itui ada sekitar 22
kota dan kabupaten yag memberlakukan Perda bernuansa Syariah Islam.
Padahal pembentukan perda-perda tersebut harus mendapat persetujuan dari
Depdagri. “Seharusnya Depdagri juga proaktif menyikapi perda-perda
tersebut,” harap dia.
Menanggapi keberatan sejumlah
anggota dewan itu, anggota Komisi II DPR RI dari F-KB Saifullah Ma’shum
menyatakan usulan sejumlah anggota DPR yang menolak penerapan Praturan
Daerah (Perda) yang khas Syari’at Islam karena ada kesalahpahaman
terhadap pengertian Syari’at Islam.
Selain itu, katanya,
pemahaman soal Syari’at Islam belum merata. “Jadi ada kesalahpahaman,
bahwa Syari’at Islam itu sesuatu yang menghantui atau menakutkan,” ujar
Saifullah Ma’shum.
Menurutnya, agar Perda-perda khas
Syari’at Islam diterima, maka sebaiknya sebelum perda-perda diterapkan,
dilakukan diskusi publik yang berkomprehensif dan mendalam. Sehingga
semua stakeholder itu paham tentang perda dan posisi syariat Islam.
Dengan
demikian, maka Perda-perda khas Syari’at Islam itu tidak dipersoalkan
lagi. “Intinya kalau disepakati anggota dewan di daerah, Perda tersebut
tidak bermasalah,” tegasnya.
Apa yang mereka
permasalahkan dan akan larang jika mereka berkuasa dalam pemerintahan,
sudah pula ditanggapi oleh Majelis Ulama Indonesia sebagaimana arsip
berita pada http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=78283
Pada tahun 2006, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma`ruf Amin menyatakan sebagai berikut
****** awal kutipan ******
Syariah
Islam sama sekali tak bertentangan dengan Pancasila ataupun UUD 1945,
dan mengingatkan bahwa Pancasila merupakan ideologi relijius yang
dicerminkan dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa,
“Kalau perda itu dimaksudkan untuk kebaikan masyarakat mengapa harus dilarang?
Pihak-pihak
yang mencoba mempertentangkan Pancasila dengan Islam adalah pihak yang
ingin menjauhkan Pancasila dari agama,” katanya.
Sebuah
peraturan yang sesuai dengan ajaran Islam, ujarnya, jangan dianggap
Islamisasi, karena masyarakat Indonesia memang sudah hidup dalam budaya
Islam dan menginginkan kebaikan sesuai ajaran agamanya.
“Mengapa
kalau budaya global boleh, budaya lokal boleh tetapi begitu budaya
Islam diminta supaya dilarang, padahal Islam sudah menjadi bagian dari
masyarakat Indonesia sejak lebih dari 500 tahun lalu,” kata Ma`ruf.
Ia
juga menampik anggapan kelompok tertentu bahwa perda bernuansa syariah
seperti Perda Pencegahan Maksiat di Gorontalo, merupakan bentuk
penerapan negara Islam di Indonesia.
Negara Kesatuan RI
dan Pancasila itu sudah kesepakatan bersama dan sudah final, sehingga
tak perlu ada negara Islam, kata kyai Nahdlatul Ulama itu.
Perda-perda
itu jangan dibelokkan menjadi tuduhan bahwa umat Islam ingin keluar
dari NKRI atau mengubah Pancasila atau tak menghargai kebhinekaan,
ujarnya.”
Syariah Islam itu nilai-nilai Islam yang hidup
dalam masyarakat lalu diserap dalam suatu peraturan, tidak berbeda
dengan nilai global atau nilai lokal yang menjadi aturan,” katanya.
Jadi
semua perda itu semua, ujarnya, bagian dari NKRI, bagian dari
kebhinekaan, dan bagian dari demokrasi yang disusun oleh pemda dan DPRD
sendiri, artinya oleh rakyat sendiri.
Perda-perda anti
maksiat, lanjutnya, justru akan memperkokoh Pancasila yang selama ini
memang selalu menyerap dari berbagai sumber.
***** akhir kutipan *****
Jadi
yang dimaksud dengan perda syariah adalah perda yang mengatur
ketertiban umum dimana substansinya sesuai dengan syariah Islam
contohnya perda pelarangan pelacuran dan miras
Mantan
Bupati Bulukumba, Andi Partabai Pobokori, mengungkapkan, penerapan perda
bernuansa syariat Islam di wilayahnya disambut umat non-Muslim. Mereka
merasa tenteram dengan diberlakukannya perda-perda bernuansa syariat
Islam.
“Umat non Muslim juga mendukung penerapan
Perda-perda bernuansa syariah di Bulukumba. Ketika ada Kongres Umat
Islam di sana, mereka ikut membentangkan spanduk dukungan,” ujar
Pobokori.
Ia mengungkapkan, sejak diterapkannya Perda
bernuansa syariat Islam pada 2001, tingkat kriminalitas di Bulukumba
turun hingga 85%.
“Tidak ada lagi warung yang menjual
minuman keras serta tidak ada lagi perkelahian pelajar. “Angka
pembunuhan dan pemerkosaan yang dulu tinggi, sekarang menurun drastis,”
paparnya.
Klaim itu dibuktikan Lukman bin Ma’sa, melalui
penelitian berjudul Penerapan Syari’at Islam Melalui Peraturan Daerah
(Studi Kasus Desa Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba
Provinsi Sulawesi Selatan).
Dalam skripsi setebal 142
halaman yang diajukan pada 11 April 2007 untuk meraih gelar sarjana
strata satu pada Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir, Jakarta,
ini, Lukman mengemukakan dampak positif Perda bernuansa syariat Islam di
Desa Padang. Misalnya membuat lenyap penjualan miras dan
mabuk-mabukan. Bahkan angka kriminalitas setempat dalam setahun
terakhir turun drastis hingga 99% dari sebelum penerapan perda
tersebut.
Hingga kini, sekitar 33 kota dan kabupaten sudah memberlakukan Perda bernuansa Syariat Islam.
Adanya
kepentingan yang sama yang mempersatukan partai-partai politik
berbasis ormas Islam yang disimpulkan dalam gerakan yang diberi nama
“selamatkan Indonesia” sebagaimana yang mereka uraikan pada http://selamatkanindonesia.com/
Oleh
karena sistem pemilihan langsung maka misi “selamatkan Indonesia”
harus dapat tersosialisaikan kepada seluruh rakyat pemilih dalam waktu
relatif singkat sehingga dapat merebut hati dan meyakinkan rakyat
pemilih.“
“Rakyat harus dibimbing dan didampingi untuk
benar-benar bisa memilih dengan rasional. Jangan sampai angan yang
begitu besar saat SBY muncul akan terulang kepada Jokowi, itu yang
harus disadari rakyat Indonesia” ujar pengamat Politik dari LIPI, Siti
Zuhro pada http://poskotanews.com/2014/03/18/rakyat-indonesia-terjebak-pencitraan-jokowi/
Kalau
upaya sosialisasi “selamatkan Indonesia” gagal maka akan terpilih
“petugas partai” memimpin negeri dengan membawa aspirasi dan kepentingan
partai
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tidak ada komentar:
Posting Komentar