ads

Sabtu, 18 Juni 2016

REKLAMASI TELUK JAKARTA ANCAMAN BAGI SISTEM PERTAHANAN IBUKOTA JAKARTA

Akhir tahun 2014, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memberikan izin kepada sejumlah pengusaha swasta untuk mengerjakan proyek reklamasi di pantai utara Jakarta dan perairan Teluk Jakarta.Pemberian izin tesebut dikukuhkan denganSurat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014. Keputusan tersebut menuai kritik dari berbagai pihak, dari instansi pemerintah pusat, hingga para aktivis lembaga swadaya masyarakat. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, merasa terusik. Sebab sebagai kawasan strategis nasional, menurut UU No. 1 tahun 2014, pengelolaan wilayah pantai dan Teluk Jakarta tidak boleh sembarangan. Mesti dengan kajian mendalam, melibatkan banyak pihak dan harus berada dalam koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pendapat sama juga datang dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dengan tegas menolak proyek reklamasi jika tanda ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang menyeluruh.
.
Sudah banyak pakar, praktisi, dan pemerhati pembangunan memaparkan analisis dan tanggapannya terhadap pelaksanaan proyek reklamasi tersebut. Terutama kemungkinan dampak buruk yang terjadi akibat reklamasi, baik dari aspek ekologi, sosiologi, ideology, politik, ekonomi dan budaya. Sementara sekelompok pengusaha juga terus menerus mempromosikan peluang meraup profit dari hasil reklamasi pesisir utara dan perairan Teluk Jakarta. Namun satu sisi yang jarang disinggung adalah dampak reklamasi pesisir pantai dan Teluk Jakarta terhadap pertahanan dan keamanan negara, khususnya menyangkut efektivitas fungsi dari berbagai instalasi pertahanan dan keamanan negara yang terdapat di wilayah tersebut.
.
INSTALASI VITAL & STRATEGIS
.
Sejak dulu, di sepanjang pesisir pantai Ibukota Jakarta terdapat instalasi strategis dan vital,baik bagi pertahanan dan keamanan ibukota, maupun dalam pengendalian sistem pertahanan dan keamanan negara dalam arti luas.Di pesisir pantai Muara Karang Pluit, misalnya,terdapat PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang terkoneksi dalam jaringan listrik Jawa Bali. Tentu, jika operasional instalasi pembangkit listrik ini terganggu, maka bakal berampak terhadap penyediaan listrik tidak hanya bagi Ibukota Jakarta tapi juga bagi seluruh pulau Jawa dan Bali.
.
Sedangkan instalasi dan fasilitas pertahanan dan keamanan negara yang terdapat di pantai Ibukota Jakarta antara lain :
.
a.Pangkalan Satuan Pasukan Katak TNI Angkatan Laut di Pondok Dayung.
.
b.Pangkalan Armada Barat TNIAngkatan Laut
.
c.Pangkalan Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) Tanjung Priok
.
d.Pangkalan Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil)
.
e.Pangkalan Armada Polisi Perairan dan Udara (Polairud) Mabes Polri
.
f.Pangkalan Brigade 1Marinir TNI Angkatan Laut.
.
g.Kantor Dinas Hydrofrafi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut
.
h.Pangkalan Armada Kapal Patroli Bea dan Cukai, Departemen Keuangan.
.
i.Pangkalan Armada Kapal Kesatuan Pengamanan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan.
.
j.Pangkalan Armada Kapal Pengawas Kementerian kelautan dan Perikanan.
.
k.Kantor Imigrasi Tanjung Priok.
.
l.Pangkala Batalyon Air (Angratmil) TNI AD
.
m.Komando Terminal (Koterm) TNI AD
.
n.Perbengkelan Pusat Angkutan (Bengpusang)_ TNI
.
Untuk kepentingan proyek reklamasi pada tahun 2010 pemerintah memang sudah berniat memindahkan berbagai instalasi dan fasilitas system pertahanan dan keamanan tersebut dari Pantai Utara Jakarta. Namun hal itu tidak mudah dan tentu perlu kajian lebih cermat dan mendalam.
.
Beberapa instalasi dan fasilitas tersebut memang dapat direlokasi ke tempal lain di luar Jakarta, namun sebagian sulit untuk direlokasi mengingat fungsinya sebagai bagian dari system pertahanan dan keamanan ibukota negara.
.
Selain itu, di dasar perairan Teluk Jakarta juga terdapat jaringan kabel telekomunikasi bawah laut yang juga penting bagi operasional system pertahanan dan keamanan negara.
.
Di sejumlah instalasi pertahanan dan keamanan tersebut terdapatberbagai elemen peralatan utama system senjata (alutsista), seperti berbagai jenis kapal perang dan kapal patroli termasuk piranti persenjataannya. Menilik fungsinya untuk menangkal serangan lawan, baik dalam bentuk terbuka maupun tertutup (subversive), maka dibutuhkan ruang laut terbuka yang memungkinkan kapal-kapal dan peralatan lainnya dapat bergerak leluasa agar penggelaran pasukan dapat berjalan efektif dan dalam waktu singkat.
.
REKLAMASI PANTAI JAKARTA
.
Jadi masalah, untuk memenuhi permintaan pasar di sektor property, sejak tahun 1995 Pemerintah DKI Jakarta mencanangkan proyek reklamasi pantai Teluk Jakarta, yakni dengan menimbun sebagian perairan laut untuk dijadikan daratan.
.
Pelaksanaan proyek ini awalnya tersendat-sendat karena selain faktor krisis ekonomi, juga adanya penolakan dari banyak kalangan. Namun, belakangan realisasi proyek tersebut memperoleh momentumnya yakni dengan kamuflase “Pembangunan Tanggul Pantai Jakarta,” yang memang dibutuhkan untuk melindungi wilayah Jakarta dari hantaman rob dan untuk mengantisipasi kenaikan paras air laut sebagai dampak pemanasan global.
.
Pembangunan tanggul yang semula hanya berada sepanjang tepi pantai, kini dimajukan ke tengah laut, dan ruang antara tanggul dan tepi pantai diuruk dijadikan daratan. Jika proyek ini terwujud, maka antara tanggul dan tepi pantaihanya menyisakan kolam laut yang kecil. Berbagai fasilitas pertahanan dan keamanan yang terdapat di tepi pantai terkepung daratan reklamasi dengan berbagai property milik swasta.
.
Dapat dibayangkan, betapa sulit berbagai unsur alutsista memadati kolam laut yang sempit. Dalam kondisi demikian, tentu tidak mudah kapal-kapal melakukan olah gerak (manufer) menuju laut lepas. Disisi lain, semakin mudah pihak lawan melancarkan sabotase terhadap peralatan dan fasilitas pertahanan dan keamanan yang terdapat di pantai Jakarta. Cukup dengan menutup celah yang menjadi pintu keluar dari kolam laut menuju laut lepas dengan tebaran bom rakitan, sudah cukup menjadikan perairan tersebut sebagai area pembantaian (killing area) yang efektif melumpuhkan system kerja dari unsur-unsur alutsista.
.
Tentu dengan menyempitnya pintu masuk pelabuhan (pangkalan) akan menimbulkan kesulitan pula bagi kapal-kapal perang dan patroli melakukan pembekalan secara cepat dalam waktubersamaan.
.
SITUASI KRITIS
.
Jika semua instalasi pertahanan dan keamanan tersebut sudah dalam kondisi di atas, maka pertahanan Ibukota Jakarta bakal berada pada tingkat rawan dan kritis.
.
Karena itu wajar jika banyak kalangan bertanya-tanya, mengapa pihak otoritas pertahanan dan keamanan negara cenderung membiarkan proyek yang cuma menguntungkan pihak developer itu berjalan tanpa kritik dan koreksi.
.
Apakah badan-badan intelijen negara kecolongan ?
.
Apakah Lembaga Ketahanan Nasional, lalai sehingga tak menaruh perhatian terhadap masalah ini ?
.
Mantan Menteri Pertahanan dan juga mantan Gubernur Lemhanas, Prof. Dr. Yuwono Soedarsono dalam acara diskusi dengan wartawan Kementerian Lingkungan Hidup 6 tahun silam, sempat mengeluhkan melemahnya posisi tawar negara terhadap swasta. “Tantangan utama bagi lingkungan hidup, bukan pencemaran dan kerusakan lingkungan melainkan kuatnya dominasi swasta dalam penentuan kebijakan pembangunan,” kata Yuwono Soedarsono.
.
Karena itu jadi pertanyaan : Haruskah kita membiarkan negara dikalahkan??
.
PAULUS LONDO, Ketua LS2LP/SUAR

Dajjal Kapitalis-Liberal Memutar-balik Logika

Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Kemenag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas.
Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam – harus mengalah dan wajib kalah.
Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen.
Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.
Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam.
Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam.
Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau Amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen.
Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.
“Agama” yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis.
Cara mengukur siapa dan bagaimana yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam.
Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.
Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia... Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.
Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.
Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur’an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia... Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.
Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi.
Seorang teman menyapa: “Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis ‘gitu…”
Lho kok Arab bukan etnis?
Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam.
Sama- sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.
Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah “Yarim Wadi-sakib…”, itu universal namanya.
Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.
Itulah matahari baru yang kini masih semburat.
Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradaban yang fasiq dan penuh dhonn (prasangka) kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya.
Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam.
Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.
"Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri.
Endapan-endapan dalam kalbu kolektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor – maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera merevisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama.
Kita perlu menyelenggarakan ‘sidang pleno’ yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.

E. Ainun Najib